Biasanya
saya tak suka keluar rumah, bahkan untuk rekreasi. Rekreasi saya adalah tidur
atau menulis. Namun kali ini saya ikut seisi rumah, siang-siang ke Tanjung
Bayang. Buat yang belum tahu, Tanjung Bayang itu nama salah satu pantai yang
ada di Makassar. Letaknya di arah barat daya Pantai Losari. Biasanya saya hanya
ke Pantai Losari. Itu pun kalau anak-anak meminta ke sana atau untuk kopdar
dengan teman blogger dari Jawa yang sedang berkunjung ke Makassar.
Perjalanan
ke Tanjung Bayang bukan disengaja. Pada pagi hari tanggal 31 Desember, adik
saya – Mirna dan suaminya – Rifai yang sedang berlibur di Makassar mengajak
ayah, ibu, beserta saya, suami dan anak-anak jalan-jalan, keliling kota.
Pilihan pertama adalah ke rumah kerabat kami, dua orang sepupu, keponakan
kandung Ayah – Kak Suja dan Kak Jaya. Setelah itu, hanya berkeliling kota saja.
Rifai
menjalankan mobilnya hingga ke pantai. Tiba-tiba saja ia mencari jalan ke
Pantai Akarena. Kami tak mendapatkan jalan ke Pantai Akarena, malah keterusan
ke Tanjung Bayang. Di perjalanan pulang baru kami memperhatikan, ternyata
Pantai Akarena sebenarnya lebih dulu didapati dari arah kota. Tadi kami
melewatinya begitu saja padahal ada rambu-rambunya di depan Mal GTC.
Kalau
sudah begini, saya merasa konyol sendiri. Rasanya bagai penduduk palsu Kota
Makassar. Menyebut diri orang Makassar tapi masih banyak hal tentang Makassar
yang tak saya ketahui. Tanjung Bayang dan Akarena saja saya tidak tahu ada di
mana. Maklum saja, ya, Kawan. Soalnya saya bukan traveler. Saya tak suka rekreasi karena rekreasi bagi saya
melelahkan. Kami tak punya ART (asisten rumah tangga) jadi kalau pulang ke
rumah, kala seisi rumah beristirahat, hanya saya yang tak (boleh) beristirahat
karena harus segera kembali menyelesaikan pekerjaan rumah seperti masak-masak,
menyiapkan makanan, cuci piring, dan cuci pakaian.
Makanya,
rekreasi hanya penghambat bagi saya. Bukannya merasa fresh, pulang ke rumah badan bakal merasa capek dua kali lipat.
Kasihan, ya Haha, jangan dikasihani. Saya tak minta dikasihani. Saya pun tak
merasa nelangsa. Biasa-biasa saja,
lha saya memang bukan tipe traveler. Saya
ini memang orang rumahan, jadi cocoklah kalau sekarang situasi dan kondisinya tanpa
ART seperti ini. Saya jadi makin punya banyak penyebab untuk tak keluar rumah.
Bisa juga menyusuri laut dengan dengan kendaraan yang di laut itu |
Penjual es krim keliling dan penyewaan ban pelampung |
Namun
tak selalu saya menolak untuk berekreasi. Kali ini saya mau saja walau sudah
tahu kalau pulang ke rumah, pasti saya harus bekerja berat lagi. Tidak mengapalah.
Sesekali melihat pemandangan lain. Saya juga sudah kangen main ke rumah sepupu-sepupu.
Sampai
di mana tadi? Oya, akhirnya kami keterusan ke Tanjung Bayang. Sebelum masuk di sana,
harus bayar retribusi dulu sebesar Rp. 10.000. Tiba di pantai, waktu
menunjukkan kira-kira pukul 11 lewat. Matahari lagi bersinar hot-hot-nya tapi banyak awan yang
menahan sebagian sinarnya turun ke bumi. Untungnya di pantai Tanjung Bayang ada
dangau-dangau yang disewakan penduduk sekitar. Di bawah atap dangau yang
terbuat dari terpal ada bale-bale. Biaya sewanya Rp. 60.000 per hari. Kalau
hanya beberapa jam seperti kami, sewanya Rp. 30.000.
Selama
di sana, saya hanya duduk-duduk di atas bale-bale, bersama Ayah, Ibu, Mirna,
dan Rifai. Ketiga anak saya dan Faqih – anak Mirna, ditemani oleh suami saya
bermain-main di pantai. Mereka semua menggulung celana panjangnya hingga lutut.
Anak-anak senang sekali. Mereka bisa bermain pasir dan berjalan-jalan tanpa mengenakan
sandal di atas pasir pantai.
Bale-bale dan gerobak mie instan |
Yang beratapkan terpal biru itu adalah jejeran dangau dengan bale- bale di bawahnya |
Dari
jauh saya memperhatikan saja. Agak takut juga kalau-kalau ada yang tercebur
sementara kami tak membawa baju ganti. Sesekali saya waswas melihat Afyad yang
tiba-tiba berlari menjauh dari bibir pantai. Kalau sudah begitu, saya berteriak
memanggil suami supaya menarik Afyad. Afyad punya kebiasaan tak terduga:
berlari kencang di tengah keramaian. Membuat kami harus mengejarnya sekuat
tenaga. Takutnya dia melakukan hal yang sama lagi.
Ibu
yang juga menonton bersama saya tak pernah tenang. Beliau memang sangat penakut
dan suka membayangkan hal-hal yang mengerikan. “Tidak apa-apa, Mam. Airnya baru
semata kaki, belum sampai di betis,” Rifai menenangkannya. “Biar. Mama takut,”
sergah Ibu. Namun tetap saja, berkali-kali kemudian beliau berteriak memanggil
Afyad.
Saya
mengamati pemandangan di Tanjung Bayang. Pantainya cukup bersih. Saat itu
pantai sepi namun sudah ada pengunjung yang akan menghabiskan malam pergantian tahun
di situ. Di belakang jejeran bale-bale ada jejeran pondok sederhana yang bisa
disewa bagi yang ingin bermalam. Bagi yang biasa hidup sederhana mungkin bisa
menerima kondisi pondok-pondok itu. Yang terbiasa nyaman dengan hotel, mungkin
tidak betah di pondok. Tapi mungkin saja ada pondok versi elitenya, hanya saya
yang tak melihatnya.
Gerobak penjual mie instan dan penyewaan ban untuk pelampung |
Langit yang berawan membuat teriknya matahari tidak terasa terlalu menusuk |
Sesekali sebuah banana boat melintas dari jarak yang tak terlalu jauh dari bibir pantai. "Kak Niar mau naik banana boat?" Rifai bertanya ini, tentunya sedang bergurau. Mana berani saya naik kendaraan itu. Saya tak bisa berenang. Bagi yang tak bisa berenang tapi mau "mengamankan" diri, di Tanjung Bayang ada ban-ban mobil bekas yang disewakan sebagai pelampung. Selain banana boat, terlihat pula kano terparkir di atas pasir pantai.
Bagi
pengunjung yang sudah puas berenang di pantai dan tidak menyewa pondok, bisa
mandi di kamar
mandi milik warga sekitar dengan peralatan mandi sendiri. Disewakan, tentu saja. Kalau untuk mandi, kalau
tidak salah ingat biayanya Rp. 5.000. Untuk
buang air kecil saja Rp. 2.000. Kamar mandinya sangat sederhana. Kalau
tingkat kenyamanan Anda akan kamar mandi adalah kamar mandi hotel, bisa
dipastikan Anda mungkin tak merasa nyaman dengan kamar mandi milik warga di
Tanjung Bayang ini.
Kalau
tak bawa bekal seperti kami, di Tanjung Bayang ada penjual mie instan dan
jagung bakar. Kalau beruntung, ada bisa menemukan penjual es bermotor. Kalau
tidak, ya ... secangkir kopi instan atau minuman cokelat plus snack berupa biskuit di warung-warung sekitar bisa jadi
penghangat tubuh usai berenang.
Suasana lengang begini bikin pantai nyaman |
Saat
itu tak ada di antara kami yang berminat makan ataupun minum di sana. Rifai dan
Mirna mengajak kami mencari makanan di kota. Tiba di tempat mobil terparkir,
seorang ibu mendekati kami. “Uang parkir lima ribu,” ujarnya seraya menyodorkan
tangan.
Makassar, 16 Januari 2016
Share :
Ini mirip pantai Teluk Awur di Jepara Mbak. Hihihihi...
ReplyDeleteMasih sepi juga, ya Mbak Susi? Kalo masih sepi, pantai mash asyik
DeletePantainya kurang terkelola dengan baik sepertinya ya mba...
ReplyDeleteMasih dikelola seadanya, Mas. Tapi justru masih asri dan alami, sebenarnya. Kalo buat saya, ini sudah asyik :)
DeleteWauuu,,, kapan2 pengen main di Tanjung Bayang, kalau di pantai Akarena sudah pernah sekali...
ReplyDeleteMakassar Im comming
Iya Mas Budhi, coba ke pantai ini juga :)
DeleteSaya termasuk suka Pantai Sayang sekali di Pontianak tidak ada sungai Paling dekat Pantai Kijing dan itu jaraknya bisa 3 jam dari pontianak. Love Beaches
ReplyDeleteWah cukup jauh juga ya Pak Asep
DeleteBenar juga ya, kl plg dari travelling pasti capeknya dua kali lipat, musti beres2, cuci pakaian Kotor..tp ttp suka sih kl sy, bikin fresh isi kepala hehehe
ReplyDeleteNah, "bikin fresh isi kepala" --> itu yang tidak mudah saya dapatkan dari jalan-jalan, lebih terasa capeknya. Tapi yangke Tanjung Bayang ini saya memang lagi mau jalan2 jadi cukup fresh-lah meski pulang dari sana di sore hari ndak bisa istirahat, langsung bergerak lagi. Istirahat seadanya, malamnya tidur jam 12 malam.
DeleteSeru yah. Lupa deh sama cuaca yang panas
ReplyDeleteCuacanya panas tapi agak adem, Mbak karena langit lumayan berawan. Trus di pantai hawanya tidak panas :)
DeleteWahhh yg terkenal cuma losari melulu ya. Pdhl ada tanjung bayang jg..
ReplyDeleteAda Akkarena juga, Mbak, selain Tanjung Bayang ini.
DeleteKalau di Pantai Losari gratis tapi cuma bisa duduk-duduk, tidak nyaman untuk berenang. Kalo mau berenang, nah Tanjung Bayang ini cocok :)
Duh, bayar melulu ya, Mbak. Uang masuk, sewa kamar mandi, parkir, makan minum.. hihihi...
ReplyDeleteBtw bener, Mbak. Habis pikinik tuh pekerjaan rumah menungguuu.. mau diem ya enggak bisa, lah. Apalagi kalo masih punya balita kayak saya. hemmm... gak bisa istirahat kalo dianya belum bobo :D
Belum pernah main ke pantai. Gak bisa renang jadi takut ke pantai, haha
ReplyDeleteSudah lama sekali tidak pernah kesini hahaha, padahal dulu sering begadang disini :D
ReplyDeleteMenarik juga nih pantainya. Jadi punya referensi kalau suatu saat berkunjung ke Makassar.. :)
ReplyDeletesaya suka pantai, yg ga suka oleh2 baju berpasirnya ><
ReplyDeleteLama banget gak ke pantai, jadi pingin ke sana. -,-
ReplyDeleteku paling males kalo jalan-jalan jauh, pasti beberes lebih lama. Gak ada pembantu pula. Cuma untungnya sebelum berangkat semua udah bersih, pas pulang ya tetep bersih, cuma tambahan kotor yang dari rekresi.
Saya dulu paling malas kalau ke Tanjung Bayang, kak :( Menurut saya sih termasuk kotor dan tidak terawat. Tapi memang selalu jadi favoritnya orang-orang karena biaya masuknya yang lebih terjangkau dibanding pantai di sekitarnya...
ReplyDeletePuanasnya Poll kalo siang-siang ke pantai...
ReplyDeletemakasih gan infonya dan salam sukses
ReplyDelete