Lanjutan dari tulisan berjudul Pengasuhan Anak ala Warteg? Oh, No!
Pada
tulisan ini, masih akan ada bahasan tentang pengasuhan anak ala “warteg”
(warung Tegal). Istilah yang menonjok namun benar adanya. Tapi sebelumnya, saya
cerita dulu mengenai apa yang di-sharing oleh
salah seorang kawan, ya. Kawan itu menceritakan mengenai harapannya agar kelak putranya menjadi hafidz. Oleh Mbak
Fitria, dikatakan bahwa keinginannya itu karena sudah mengerti
mengenai keutamaan menjadi hafidz namun bagaimana dengan putranya sendiri?
Foto: Harian Amanah |
Putranya
masih kecil (kalau tidak salah ingat baru mau TK), belum punya pemahaman
tentang apa keutamaan seorang hafidz maka harus diusahakan agar putranya
memiliki keinginan yang sama dengannya. Dikondisikan. Emosi positif dari orang tua terkait hal tersebut harus juga ditransfer kepada putranya. Perilaku
dibuat dengan perencanaan, supaya apa yang direncanakan berhasil (karena sudah menjadi keinginan anak sendiri).
“Yuk,
profesional dalam mengurus rumah tangga agar
langsung berdampak. Jangan seperti warteg!” Mbak Pipit lagi-lagi mengucapkan
hal ini. Mbak Pipit mengatakan, dalam mengurus rumah tangga jangan kalah dengan
kantor dan sekolah yang mempunyai perencanaan bagaimana supaya tujuan
pengoperasian kantor/sekolah tercapai.
Perilaku
positif yang diagendakan (baca tulisan sebelumnya), hendaknya dijadikan menu
setiap hari. Usia 0 – 10 tahun adalah masa pembangunan nilai bagi anak. Kalau pembangunan
nilai selesai pada rentang usia ini maka saat dewasa, anak akan matang (berdasarkan
teori
perilaku).
Untuk
anak sekolah dasar ada namanya “regulasi emosi”. Regulasi emosi dilakukan untuk
mengusahakan apa yang tidak dimengerti anak bisa dipahaminya. Contohnya saat
mendampingi anak nonton televisi. Orang tua bisa sambil menjelaskan apa-apa
yang tidak dimengerti anak pada tayangan itu.
Dok. pribadi |
Dalam
regulasi emosi, ada tahapannya. Pertama-tama, anak diajari untuk mengenali
emosi lalu menamainya. Perlu pula diajarkan kepada
anak perilaku yang hendak ditanamkan. Misalnya “adil” dan “tenang”. Kita tak
bisa meminta anak tenang dengan hanya meneriakkan, “Tenang .. tenang!” Namun
kita juga harus bisa mencontohkan kepada anak yang bagaimana itu tenang.
Ada 3
tahap yang harus dilakukan orang tua dalam pengasuhan anak terkait hal yang
dibicarakan ini, yaitu:
- Directing (mengetahui “mengapa”-nya).
- Coaching (misalnya dengan menunjukkan definisi tenang dalam contoh perilaku). Ajarkan anak untuk mampu mendefinisikan perasaannya.
- Supporting (dorongan positif).
Mbak
Pipit menekankan, pentingnya mendefinisikan perasaan. Tahu kan, orang Indonesia
seperti sudah memiliki budaya “tak terbiasa mendefinisikan perasaannya”. Saya
pun mengalaminya sendiri. Saya belajar bahwa mendefinisikan perasaan itu
penting setelah membaca buku tentang kecerdasan emosional setelah anak pertama
saya lahir. Saya pun dulu punya kesulitan dalam mengungkapkan perasaan dan
pikiran. Bukan hal yang mudah bagi saya melalui proses pembelajaran hingga
sampai ke saat ini, di mana saya mampu menuangkan isi pikiran dan perasaan
dalam bentuk tulisan di blog ini. Butuh proses pembelajaran yang panjang dan
tak ringan.
IIDN Makassar di Harian Amanah 19 Februari 2016 |
Ketiga
tahapan di atas harus diberikan orang tua agar anak mampu
mengetahui kebutuhannya apa. Contoh kecil saja, jika dia butuh HP maka dia tahu HP yang
bagaimana yang dia butuhkan.
Orang
tua sebaiknya mengajarkan kepada anak pentingnya anak pintar untuk dirinya
sendiri (untuk kebutuhannya), bukan untuk menyenangkan hati orang tua juga
bukan semata-mata untuk berkompetisi (saya punya, nih pengalaman terkait hal
ini, bisa di baca di tulisan berjudul Memaknai
Kelulusan, 17 Tahun Kemudian). Perlu pula ditekankan betapa team work itu penting. Kompetisi semata
bisa membuat anak tak mampu bekerja dalam tim karena mau menang sendiri.
Ada 5
kebutuhan anak berkaitan dengan perasaan:
- Dihargai.
- Dipahami.
- Bernilai.
- Disayangi.
- Aman.
Sekarang
pertanyaannya adalah: sudahkah kita (khususnya saya) memenuhi kelima kebutuhan
tersebut? Inginkah kita memberikan yang terbaik untuk anak?
Makassar, 24 Februari 2016
Selesai
Share :
5 kebutuhan anak, tepat sekali dan indikatornya pun sangat tepat. Dan alhamdulillah anak anak saya tidak pernah tertutup dan malu kepada orang tuanya.
ReplyDeleteAlhamdulillah, ya Pak Edi
DeleteMbak, maksud dari "Bernilai" pada poin tiga itu apakah anak harus tahu bahwa anak itu sangat bernilai bagi orang tuanya atau bagaimana?
ReplyDeleteIya Mbak, kata Mbak Pipit, anak harus merasakan itu. Kalo dia merasakan seperti itu, berarti dia harus tahu bahwa - salah satunya - dia bernilai bagi kita.
DeleteAnak saya perempuan hampir 14 tahun mbak, harus sabar menghadapinya karena tingkat emosinya sering naik turun :)
ReplyDeleteSedang pubertas, ya Mbak. Kita pun dulu seperti itu, ya :)
Deleteaseg kebetulan nih mak niar, pgn ngekatih emosional si ken, secara anaknya cuek bgd,tengkiu yak,
ReplyDeleteTerima kasih juga sudah mampir Mak Inda :)
DeleteTerima kasih informasinya Mba.. Saya masih harus banyak belajar utk menjadi mama yg baik..
ReplyDeleteSaya juga, Mbak.
DeleteMakasih sharingnya Niar. Amat bermanfaat
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca, ya Mbak Ade.
DeleteBahan instropeksi buat saya, apa sudah memenuhi kebutuhan anak akan kelima hal tersebut.
ReplyDeleteArtikel yang bermanfaat sekal, Mbak. Ditunggu artikel2 berikutnya, yaa ;)
ReplyDeletebetul sekali tuh 5 indikatornya, mantap mbak Niar
ReplyDeleteSetuju....semoga ke5 nya bisa dijalankan
ReplyDelete