Memang
belum terlalu banyak saya mengajari Athifah perihal keliling persegi panjang.
Lagi pula saat menanyakannya, dia sedang mondar-mandir. Saya lupa dia hendak ke
mana namun situasi saat dia bertanya itu tak memungkinkan untuk kami sama-sama
duduk tenang dan membahas mengenai keliling persegi panjang.
Siang
tadi, sepulang sekolah, Athifah mengatakan hendak belajar di rumah Suci,
bersama Rasika – kawan sekelasnya. Suci bukanlah kawan sekelasnya. Suci sudah
duduk di kelas 5 sekolah dasar sementara Athifah dan Rasika masih kelas duduk
di kelas tiga. Athifah bertemu Suci di masjid dekat rumah kemarin, pada program
tahfizh Qur’an yang diselenggarakan
oleh Pak Haryadi – pendiri TPA Babul Jannah. Rasika dan Suci tinggal tak jauh
dari rumah kami.
“Rasika
mau ajari saya Matematika, Ma. Ada yang Afifah ajari dia tadi,” Athifah memberi
penjelasan “betapa pentingnya” rencana keluar rumahnya siang ini. Afifah adalah
anak paling pandai di kelas mereka.
Walaah. Saya ini kan penyuka
matematika. Nilai-nilai matematika saya saat sekolah bagus. Saya bahkan memilih
jurusan Fisika saat duduk di bangku SMA. Dan saat SMA itu, semakin banyak
pelajaran matematikanya, makin senanglah saya. Kalau untuk mengajari anak kelas
tiga es de, saya masih bisa. Tapi anak ini, kenapa malah mau pergi ke rumah
temannya kalau hanya untuk belajar matematika?
“Kenapa
harus ke rumah Suci, sih? Suci kan sudah kelas lima?” tanya saya. Dalam benak saya,
belum tentu anak kelas lima masih mengingat pelajaran kelas tiganya.
Athifah
tak menjawab pertanyaan saya tapi ia terus saja mendesak supaya diizinkan pergi
bersama Rasika jika Rasika datang menjemputnya.
“Mama
bicarakan sama Papa dulu, ya,” hati saya mulai luluh. Sebuah kesadaran merasuki
otak saya: putri mungil ini sepertinya
sedang butuh bersosialisasi!
Suami
saya mengatakan, supaya Athifah diberikan syarat untuk istirahat dulu sebelum
pergi. Saya setuju dan menambahkan syaratnya, “Athifah, kalau mau pergi, cepat
makan, shalat, dan tidur dulu!”
“Kalau
sampai saat Rasika datang kamu belum tidur, tidak boleh pergi, ya,” tambah si
Papa.
Saya
kemudian asyik dengan laptop. Saya pikir, bila diberi ultimatum seperti itu,
Athifah akan bersungguh-sungguh melaksanakan semua persyaratannya.
Tak
lama kemudian terdengar bel pintu berbunyi. Rasika datang. Rupanya Athifah baru
hendak buru-buru makan siang. Ia belum shalat zuhur, apalagi tidur siang. Kedua
gadis kecil itu riang berkasak-kusuk. Athifah sudah ingin bersiap pergi saja.
Saya merasakan seolah-olah ada dua
tanduk yang menyembul keluar dari kepala saya ...
Segera
saya datangi Athifah di ruang makan dan menegurnya dengan amat keras, “ATHIFAH!
Mama tidak akan izinkan kamu pergi! Tadi persyaratannya adalah kamu harus sudah
makan siang, shalat, dan tidur siang kalau mau pergi. Kamu berdosa kalau mau
tetap pergi. Kalau Mama izinkan pergi sekarang, besok-besok kamu pasti
mengulanginya lagi. Kamu akan bilang kalau melanggar apa yang dikatakan Mama
tidak apa-apa karena Mama pasti akan mengizinkanmu pergi!”
Saat Athifah
shalat zuhur, saya mendengar suara yang terdengar seperti terisak. Duh. Melarang dan menjalankan
konsekuensi dari larangan yang membuat anak kecewa itu tak enak. Tapi mau
bagaimana lagi. Adalah tugas saya untuk mendidiknya agar bertanggung jawab. Dan
inilah saat yang tepat.
“Kamu
harus belajar bertanggung jawab. Makan, shalat, dan tidur itu adalah tanggung
jawabmu pada dirimu sendiri. Kalau kamu tidak bertanggung jawab pada dirimu
sendiri, bagaimana bisa bertanggung jawab pada orang lain? Makan, shalat, dan
tidur juga (merupakan) kewajibanmu. Di sekolah sudah belajar tentang hak dan
kewajiban, toh? Kamu berhak ke rumah Suci dengan catatan, kerjakan dulu
kewajibanmu! Orang boleh mendapatkan haknya setelah kewajibannya dikerjakan.
Temui Rasika dan katakan kepadanya kalau kamu tidak boleh pergi dan kenapa
tidak boleh!” dengan nada super tegas saya menceramahinya.
Athifah
enggan menemui Rasika. Dia tidak mengatakan mengapa dia tak boleh pergi. Rasika
pun pulang dengan tangan hampa setelah saya menjelaskan mengapa Athifah tak
boleh keluar rumah.
Selama
berjam-jam setelahnya, Athifah tak menegur saya. Saya pun enggan menegurnya.
Kami saling diam.
Usai menunaikan
shalat ashar, terdengar langkah kaki kecil mendekati saya. Dari arah belakang,
saat saya masih dalam posisi duduk di atas sajadah, sepasang tangan mungil
melingkar di leher saya. Sepasang tangan mungil itu milik Athifah. Putri mungil
itu memberikan ciuman-ciuman mesranya di pipi saya. Saya membalas mencium
pipinya. Kami pun kembali mesra.
Makassar, 22 Maret 2016
Share :
Mwnarik sekali Saya juga punya dua anak. Salah satunya adalah perempuan. Artikel yang baik sekali dan menjadi pencerahan bagi para orang tua. Kunjungan dinihari Salam dari Pontianak
ReplyDeleteTerima kasih ya Pak Asep, sudah berkunjung di dini hari.
DeleteTega ...
ReplyDeleteKadang kala kita harus bersikap tega demi menanamkan disiplin dan tanggung jawab pada anak-anak kita ...
Ya tak semudah bicara memang ...
apa lagi kalau sudah lihat sorot mata memohon itu ...
(hehehe)
salam saya Niar
Ah, betul sekali Om Nh. Selalu ada ujian di situ. Kebimbangan, apakah tetap konsisten dengan pernyataan semula, ataukah menuruti kemauannya.
DeleteSaat-saat itu, bukanlah saat-saat ringan -_-
Btw, terima kasih sudah berkunjung ke sini Om Nh :)
Kangen Athifah :(
ReplyDeleteSudah besar sekarang yaa..
Itu kalau ngambek gimana rupanya? Heheheh..kemarin lihat dianya ceriwis terus :D
Kalau ngambek, suka mogok bicara dia :D
DeleteKalau ngambeknya hilang, baru ceriwis lagi.
Anak saya masih 3 tahun sedikit banyak sudah saya ajari mengenai hak dan tanggung jawab. Walau kadang ia belum terlalu paham. Dari tulisan Mbak Mugniar, saya jadi belajar bagaimana tegas yang benar terhadap anak. Salam sayang untuk Athifah :)
ReplyDeletePelaksanaannya tidak selalu mudah, Mbak Mita. Anak-anak selalu punya cara untuk mencari celah kelemahan kita supaya kemauannya diikuti.
DeleteTerima kasih, Mbak. Salam juga buat buah hatinya :)
Keren mbak Niar bisa mengajarkan Athifah tanggung jawab dengan benar. Memang awalnya berat ya mbak tapi harus konsisten supaya anak terbiasa :)
ReplyDeleteKalau anak saya sendiri masalah tanggung jawab masih harus diingatkan, misalnya sholat. Duh dia benar-benar menguji kesabarab saya mbak.:)
DI awal-awal memang berat Mbak. Bisa jadi akan berlangsung lama. Mudah2an, karena terbiasa dicereweti sama kita, anak-anak mengerti dan mengerjakan secara suka rela ya, Mbak Anjar.
DeleteSikap tegas ini yg akan melatihnya menjadi pribadi yg bertanggung jawab. Melarang bukan karena tak sayang :)
ReplyDeleteSakit sama Bundanya
Yup.
DeletePasti ada rasa gimana gitu tergores di hati ini ketika melakukan hal yang membuat buah hati kecewa. Tapi .. kalau tidak dilakukan kelak dia akan membuat kita kecewa.
Terharu baca yg terakhir kak
ReplyDeleteAthifah biasanya seperti itu kalau dimarahi :)
DeleteHmmm mak, larangannya panjang amat...
ReplyDeleteTapi tapi... Setelah pelukan itu ada pembahasan tentang pelarangan tadi gak?
Belum saya bahas lagi, Mak. Ada rencana untuk membahasnya. Mungkin sepulang dia sekolah siang ini.
DeleteKagum banget sama sosok ibu yg satu ini.
ReplyDeleteIni hal yang biasa, Mukhsin Hal yang memang harus dilakukan seorang ibu :)
Deleteketegasan..itu penting ya..mba..
ReplyDeletejadi belajar buat aku..biar anak juga paham..ketegasan bukan sebuah penyiksaan.. ntar klo di ijinkan sekarang...besok hal sama akan terulang...
Benar Mbak. Mau tidak mau kita harus menekankan pada anak
DeleteApakah dia akhirnya tidur?
ReplyDeleteKemudian pergi ke rumah temannya untuk bermain ?
Dia akhirnya tidak tidur, juga tidak ke rumah temannya :)
Deletenanti lebih sulit lagi kalau sudah remaja mbak Niar. Tapi kalau kiat memang mendidik dengan benar mereka akan selalu bertanggung jawab.
ReplyDeleteHm ... pasti berbeda saat remaja ya Mbak Tira. Si sulung, kakaknya Athifah sekarang sudah remaja, masih ada yang harus selalu diingatkan padanya tapi ada juga yang dia sudah tahu harus bagaimana :)
DeleteJd berkaca-kaca. Ponakanku susyah kalo dibilangin
ReplyDeletePelan-pelan saja Jiah, lama2 juga bisa .. insya Allah. memang butuh konsistensi
DeleteMantab ni mb, memberikan didikan mengenai tanggung jawab sedari dini hihi
ReplyDeleteDulu waktu aku sd, tiap alasan belajar klompok bareng temen pasti acaranya berubah jadi main hihihi
Nah, itu sudah ketebak Mbak, emaknya kan pernah anak2 juga hehehe. Mungkin saja anak2 jadi belajar tapi kayaknya fifty-fifty deh, antara main dan belajar hehehe.
Deleteaahh..ciuman mesra Athifah..membuat tanduk di kepala sang bunda jadi menyusut kembali...
ReplyDeletekeep happy blogging always,,,salam dari banjarbaru...makassar juga dech :-D
Hehehe. Terima kasih Pak Har. Salam sama adik bayi dan ibunya :)
DeleteTau bgt kok rasanya mbak.. akupun srg negur fylly yg baru 3 thn 6 bulan.. dan krn aku memang ga sesabar papinya, kdg2 kalo negur suka terlalu keras, yg bikin ankku nangis juga.. sbnrnya jd ga tega, tapi kalo aku izinin kemauannya, ntr dia jd begitu lagi besok2.. memang hrs tegas.. kdg2 stlh dimarahin Fylly jd takut ngedekatin aku, ato memang ngambek..tp sesudahnya dia juga kok yg negur maminya duluan :D..Biasanya sih yg aku tegur itu soal ttg, menghabiskan makanan baru boleh main, ato cara dia minta tolong ke mbak ART ato baby sitternya... ttg buang sampah... soalnya anak2 seusia dia aku liat masih bnyk yg blm sadar ttg 3 hal td -__-
ReplyDeleteBegitulah Mbak. Kita sering kali harus berperang dengan diri sendiri. Yang pertama harus tega Yang kedua, harus sabar. Saya juga sering kali tidak sabar menghadapi anak2. Selalu berusaha bersabar, tapi sesekali jatuh juga dalam ketidaksabaran.
DeleteYah, mudah2an kita jadi orang tua yang baik ya mbak
note. bejal bwt aku nih kalau si ken besar nnti. tengkiu mak niar. slam sayang buat athifah :)
ReplyDeleteSip Mak Inda. Mesti belajar tegas :)
DeleteDisiplin itu memang harus diajarkan sejak dini ya Mak. Mamaku itu bebas banget tp disiplin. Begitu gede gini, beliau malah nyuruh saya dugem lha sayanya gak mau soalnya udah gak kebiasa :)) Pergi pun gak pernah sembunyi2, pasti bilang heheheh .. Penting diajarin sejak kecil :)
ReplyDeleteBagus kan efeknya ke Winda? Eh, lucu juga yah, sekarang disuruh dugem padahal harusnya ibunya khawatir wkwkwk. Hm, kayaknya itu karena Ibu percaya Winda gak bakal ngapa2in kalau dugem, paling cuma bersenang2 dengan teman2-nya :D
DeleteAda sisi tak tega sebenarnya waktu baca postingan ini tapi kalau dilihat dari sisi baiknya memang harus tegas seperti itu. Makasih untuk postingannya kak, ini bisa menjadi pelajaran juga bagi saya dan mengaplikasikannya kelak :)
ReplyDeletePelajaran berharga buat para orangtua yg ingin menanamkan disiplin dan tanggung jawab ini Mak. Kebanyakan ortu pasti jatuhnya ga tega dan lulu kalo anak udah mewek. Kayak ponakan sy suka ngeluarin senjata andalan kalo dilarang melakukan sesuatu oleh ortunya.
ReplyDeleteBoleh dan harus menanamkan disiplin kepada anak. Namun jangan sampai seperti menggenggam jemari anak sampaipatah tulangnya. Disiplin itu influen jadi tergantung perilaku kita sebagai ortu suka disiplin atau tidak.
ReplyDeletemakasih sudah diingatkan mba, saya kadang suka ga tegaan :(
ReplyDelete