Beberapa ruas jalan di kota Makassar lengang. Saya mengamatinya
saat berkendara di siang dan sore hari, pada sehari sebelum lebaran.
Beberapa kendaraan yang akan berkonvoi untuk takbir keliling |
Seperti
pada tahun-tahun sebelumnya, saya mengambil pesanan burasa’ (makanan khas Bugis yang terbuat dari beras, dimasak dengan
santan dan dibungkus daun pisang) di Pasar Baru. Di perjalanan pergi, kami (saya
dan suami) berpapasan dengan kendaraan hias dari kelurahan Rappocini yang
hendak ikut takbiran keliling kota Makassar.
Kendaraan
hias itu bergerak menuju samping kiri Fort Rotterdam. Di sinilah
kendaraan-kendaraan hias dari seluruh kelurahan yang ada di kota ini berkumpul
lalu kemudian bergerak bersama-sama keliling kota sembari mengumandangkan
takbiran.
Sisi kiri
Fort Rotterdam letaknya berhadapan dengan Pasar Baru. Saat tiba di Pasar Baru,
baru sedikit kendaraan yang berkumpul di situ.
Saya
mengambil pesanan burasa’ dan ketupat
hasil masakan istri Pak Irfan di warung pasangan suami-istri itu. Sudah
beberapa tahun terakhir ini kami berlangganan pada Pak Irfan. Masih sama
seperti tahun lalu, tahun ini harga ketupat dan burasa’-nya lima ribu rupiah per buah dan per ikat.
Sebenarnya
di Pasar Maricaya ada juga yang jual dua jenis makanan pokok dalam daun itu. Harganya
lebih murah. Namun dari segi rasa dan ukuran, masih lebih menonjol bikinan Bu
Irfan. Makanya kami kembali lagi membeli kepadanya di tahun ini. Dibela-belai,
meski jaraknya dari rumah tidak bisa dibilang dekat.
Sekelompok pengemis di jalan Arief Rate |
Menuju
Pasar Baru, kembali rasa miris menyeruak. Sejumlah pengemis berjajar di jalan Achmad
Saleh (eks jalan Durian), jalan Arief Rate, dan di sekitar taman kota di jalan
Sultan Hasanuddin. Ini juga merupakan pemandangan yang sama seperti tahun-tahun
lalu. Untungnya sampah sudah tidak sebanyak beberapa tahun lalu.
Kalau
di jalan Achmad Saleh, para pengemis kelihatannya sudah menetapkan ruas jalan
itu sebagai tempat mangkal sehari-harinya. Selain hari itu, saya sering melihat
mereka di tempat itu. Yang di jalan Arief Rate dan jalan Jendral Sudirman maraknya
menjelang lebaran ini.
Entah,
ya, apakah mereka masuk ke dalam 3 golongan yang disebutkan dalam hadits
berikut ini ataukah tidak:
“Meminta-minta tidaklah halal kecuali untuk tiga golongan : Orang fakir yang sangat sengsara, orang yang terlilit hutang, dan orang yang berkewajiban membayar diyat” (HR Abu Dawud no 1398).
Mudah-mudahan
saja di tahun mendatang masalah pengemis sudah bisa benar-benar diatasi oleh
pemerintah kota. Data terakhir menyebutkan, jumlah gelandangan, pengemis,
termasuk anak jalanan di Makassar adalah sekira 42.986 orang (dari antarasulsel
dot com). Orang-orang yang meminta-minta di antara mereka ini bukan hanya
menimbukan masalah perkotaan. Bukan hanya bikin hati dilema, antara menolong (yang
katanya membiarkan mereka terus menjadi pengemis) atau menolak (yang bikin rasa
berdosa muncul), mereka juga bisa menyebabkan pendermanya mendapatkan hukuman
kurungan atau denda yang besar jika ketahuan.
Makassar, 18 Juli 2016
Catatan:
Diyat (Arab) adalah denda yang diwajibkan kepada pembunuh yang sengaja/ merusak anggota badan seseorang dan dimaafkan. diyat merupakan denda berupa materi (pengertiandiyat.blogspot.com/).
Share :
Itu ngemis? Masih muda kelihatannya
ReplyDeleteIya Jiah :(
Deletedi tempat saya kalo puasa ramadhan sudah masuk, pengemis jadi semakin banyak mba...
ReplyDeletekalau di daerah saya burasa itu mungkin seperti buras, terbuat dari beras dan santan di bungkus daun pisang dimakannya dgn sambal kacang dan bakwan :)
Sama ternyata problemnya ya Mbak.
DeleteWow ada buras juga di sana? Unik ya, makannya pakai sambal kacang dan bakwan :)
Kota Mataram juga lengang sekali jadinya. Soalnya yang kerja di Mataram kebanyakan orang-orang dari Lombok Barat, Lombok Timur dan lainnya.
ReplyDeleteOoh, ke depannya bisa kayak Makassar, kira-kira ya ... kota metropolitan.
Deletesaya lebaran di kampung mba, ga sempat lihat pengemis karena satu kampung banyak bersaudara dan saling kirim menjelang lebaran :)
ReplyDeleteAlhamdulillah :)
Delete