Saya mungkin
tidak melihat papan yang ada tulisan aneh itu kalau bukan Athifah yang
bertanya, “Apa maksudnya itu, Mama?”
"Dilarang
mingta2",
tulisan itu tertera di persimpangan jalan Kasuari-Ratulangi. Pada sebilah
papan. Maksudnya, supaya orang tidak mengemis (meminta-minta) di situ. Kenapa
jadi mingta ditulisnya? Itu karena okkots.
Dalam
istilah gaul di Makassar, kata-kata yang kelebihan atau kekurangan “vitamin G”
seperti itu disebut okkots. Seperti
tulisan MINGTA itu. Yang dimaksudkan “minta”
yang dituliskan “mingta”.
Beberapa
jam sebelumnya saya melihat tulisan di badan sebuah mobil berbunyi "rindu terpendang".
Tentu bukan bahasa Indonesia kata terpendang
itu. Apa lagi kalau bukan okkots. Yang
dimaksud TERPENDAM yang dituliskan TERPENDANG.
Di
sebuah lapak penjual rambutan di jalan Sultan Alauddin, tertulis kalimat “Jual
rambutan lengken”. Yang dimaksud tentu saja adalah “rambutan lengkeng”,
rambutan yang rasanya manis sekali.
Saat
saya menceritakan pada pak suami tentang tulisan rindu terpendang, beliau juga punya cerita tentang pengamen yang
bernyanyi di bus. Ada kata-kata dalam lirik lagu dangdut yang dipikirnya sekian
lama karena terdengar aneh, yaitu "dendang membara". Dendang? Padanan kata “membara” kan
DENDAM, hehehe.
Okkots ini menjadi sebuah kekhasan pada
sebagian orang di Sulawesi Selatan. Pulang bisa jadi pulan. Makan bisa jadi makang.
Ikan bisa jadi ikang. Kelompok bisa
jadi kelompot. Takut bisa jadi taku’. Kalau saya bilang, sih, ini
karena pengaruh bahasa daerah. Lidah yang terbiasa atau fasih sehari-harinya
berbahasa daerah kemudian harus berbahasa Indonesia, tentu membutuhkan
penyesuaian. Semacam kalibrasi atau tuning,
begitu. Nah, untuk sebagian orang, penyesuaiannya ya dengan okkots itu. Ini pendapat saya pribadi.
Saya
yakin di semua daerah ada koq penyesuaian
seperti itu. Misalnya nih ya, orang Sunda melafalkan kata yang ada huruf F-nya
menjadi huruf P. Eh, yang ini macam orang Sulawesi Selatan juga, sih ... F bisa
jadi P, hehehe.
Dalam
bahasa Indonesia berdialek daerah, okkots
ini akan lestari jika pemakainya tidak menggunakan bahasa Indonesia baku.
Sebagian orang lantas bisa melepaskan okkots-nya
ketika harus berbahasa Indonesia baku tetapi sebagian orang lagi tidak bisa.
Saya
sendiri misalnya, sehari-harinya biasa mengucapkan kalimat ini: “Edede cepa’ maki’.” Kalau dalam bahasa
Indonesia baku, saya mengatakan, “Ayolah, cepat.” Saya bisa mengucapkan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar ketika kondisi mengharuskan saya untuk itu.
Nah, sebagian orang lagi tidak bisa.
Saya meyakini
semua daerah punya yang semacam okkots itu
karena memerhatikan kedua orang tua saya yang berbeda suku, masing-masing punya
kekhasan masing-masig. Ayah saya orang Bugis sementara ibu saya orang
Gorontalo. Walau masih sama-sama di pulau Sulawesi, bahasanya berbeda jauh.
Lidah keduanya membutuhkan penyesuaian juga dalam berbahasa Indonesia karena
mereka masih merupakan native spreaker bahasa
daerah masing-masing.
Oya,
saya punya cerita lain lagi. Sewaktu suatu hari saya pulang dari bepergian,
mendekati rumah, dua orang anak lelaki usia sekolah dasar sedang
bercakap-cakap. Dua orang bocah ini saya taksir berusia 9 – 10 tahun. Sebut
saja mereka A dan B. Percakapannya begini:
A: Ada mi temang kelompo’ nu? (Sudah ada
teman kelompokmu?)
B: Ada mi. Laki-laki semua (Sudah ada.
Laki-laki semua)
A: Eh, ndak bisa begitu. Ibu guru bilang harus ada perengpuang bede’ (Eh, tidak bisa begitu. Ibu guru bilang harus ada perempuan).
Kata perengpuang diucapkan, dengan
huruf E seperti E pada kata EMBER.
Sesampainya
saya di rumah, ibu saya sedang bercakap-cakap di telepon dengan seorang kerabat
menggunakan bahasa Indonesia dialek Gorontalo. Pada percakapannya, saya
mendengar ada kata “PEREMPUAN” disebutkan tapi cara menyebutkannya begini “PARAMPUAN”.
Nah,
punya cerita kekhasan seperti ini di daerahmu? Eksplorasi, yuk. Dengan
mengeksplorasinya, kita makin tahu kalau Indonesia itu kaya.
Makassar, 9 Oktober 2016
Share :
Indonesia memang kaya mbak, itulah mengapa negara kita diincar oleh byk para penjajah waktu dulu
ReplyDeleteHm, iya .. karena kaya rempah-rempah.
DeleteKalo karena kaya bahasa saja belum tentu :)
Dijawa timur khususnya malang, lebih aneh lagi. Kalimatnya dibalik dari belakang. Hanya orang yang sudah sering mengucapkan akan terbiasa. Aku sendiri sampai dibuatnya terplongo-plongo. tanda tidak paham.
ReplyDeleteOoh kayak NGALAM, dari kata MALANG itu yah, Mas?
DeleteMenarik mba :)
ReplyDeleteMAkasih Mbak Lia :)
DeleteHehe... okkots itu makassar banget kak... saya juga punya cerita lucu tentang okkots hehe tp nnt lah tunggu tanggal mainnya buat di rilis. Coming soon kak :)
ReplyDeleteLANGSAT TANJUN.
ReplyDeleteKarena disini banyak sekali orang bugis, suatu hari saya liat ada penjual langsat nulis 'jual langsat tanjun' saya senyum2 aja. Bukan karena dia kehilangan 'g'nya tapi saya jadi tahu itu bukan langsat tanjung, itu langsat sulawesi
(saat musim langsat biasanya yang diincar langsat tanjung --langsat dari tanjung, kalsel--rasanya manis dan lebih besar. Saingannya langsat dari Sulawesi, bentuknya lebih mungil dan lebih bulat)
Deh..kangenku mi sama okkots-okkots begitu. Lainmi logatta' di sini bela..hahahahah
ReplyDelete