Sambungan dari tulisan berjudul Berani Benar Saya Menerima Ajakan Baca Puisi di Depan Banyak Orang!
Untuk
memusatkan perhatian pada suara almarhum Rendra dari sebuah video di Youtube, saya
memejamkan mata. Video itu diambil pada konser Petarung Hidup Sawung Jabo di
Surabaya pada tanggal 12 Maret tahun 2009. Tak banyak perubahan intonasi pada
suara Rendra namun baru beberapa baris merasakan puisi Maskumambang itu, hati
saya tergetar. Bulu kuduk saya meremang. Tak berapa lama, kedua mata saya
terasa membasah. Saya jatuh cinta pada puisi ini!
Segera
saya googling lirik puisi
Maskumambang itu. Ternyata tak sulit menemukannya. Usai meminta tolong Mas
Anton – staf Regus yang sehari-hari duduk di front desk mem-print-kannya,
saya membaca bait demi baitnya. Beruntung saya sedang berada di Regus. Selain bebas minum teh atau kopi,
di sini tersedia printer dan
peralatan kantor lainnya (seperti scanner
dan mesin foto kopi). Tinggal meminta tolong pada Mas Anton dan membayar
seharga lembaran hasil print out yang
diminta, saya sudah bisa mempelajari puisi yang berisi kegelisahan seorang
Rendra pada puisi ini.
Maskumambang
–
W.S. Rendra
Kabut fajar menyusup dengan perlahan
bunga Bintaro berguguran di halaman perpustakaan
di tepi kolam, di dekat rumpun keladi
aku duduk diatas batu melelehkan airmata
Cucu-cucuku
zaman macam apa,
peradaban macam apa
yang akan kami wariskan kepada kalian.
Jiwaku menyanyikan lagu maskumambang
kami adalah angkatan pongah
besar pasak dari tiang.
kami tidak mampu membuat rencana menghadapi masa depan,
karena kami tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa lalu
dan tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa kini
maka rencana masa depan hanyalah spekulasi, keinginan, dan
angan-angan
Cucu-cucuku
negara terlanda gelombang zaman edan
cita-cita kebajikan terhempas batu
lesu dipangku batu
tetapi aku keras bertahan
mendekap akal sehat dan suara jiwa
biarpun tercampak di selokan zaman
Bangsa kita kini
seperti dadu terperangkap dalam kaleng hutang
yang dikocok-kocok oleh bangsa adi kuasa
tanpa kita bisa melawannya
semuanya terjadi atas nama pembangunan
yang mencontoh tatanan pembangunan di zaman penjajahan
Tatanan kenegaraan dan tatanan hukum
juga mencontoh tatanan penjajahan
menyebabkan rakyat dan hukum hadir tanpa kedaulatan
Yang sah berdaulat hanya pemerintah dan partai politik
o comberan peradaban,
o martabat bangsa yang kini compang-camping
negara gaduh, bangsa rapuh
Kekuasaan kekerasan meraja lela
Pasar dibakar, kampung dibakar,
gubuk-gubuk gelandangan dibongkar
tanpa ada gantinya
semua atas nama tahayul pembangunan.
restoran dibakar, toko dibakar, gereja dibakar,
atas nama semangat agama yang berkobar
Apabila agama menjadi lencana politik
maka erosi agama pasti terjadi
karena politik tidak punya kepala,
tidak punya telinga, tidak punya hati,
politik hanya mengenal kalah dan menang
kawan dan lawan,
peradaban yang dangkal
Meskipun hidup berbangsa perlu politik,
tetapi politik
tidak boleh menjamah kemerdekaan iman dan akal
didalam daulat manusia
namun daulat manusia
dalam kewajaran hidup bersama di dunia
harus menjaga daulat hukum alam,
daulat hukum masyarakat
dan daulat hukum akal sehat
Matahari yang merayap naik dari ufuk timur
telah melampaui pohon dinding
udara yang ramah menyapa tubuhku
menyebarkan bau bawang yang digoreng di dapur
berdengung sepasang kumbang yang bersenggama di udara
Makna Maskumambang
Saya googling lagi. Mencari makna maskumambang. Istilah yang sangat aneh
di telinga saya. Ooh, ternyata maskumambang
itu pembuka dalam kelompok tembang macapat dalam kebudayaan Jawa. Tembang
macapat maskumambang banyak digunakan
untuk mengungkapkan perasaan nelangsa, sedih, ketidakberdayaan, maupun harap-harap cemas dalam menyikapi kehidupan.
Harap-harap cemas dalam menyikapi
kehidupan! Klik dan
klop sekali dengan saya. Di blog ini saya membuat kategori khusus bernama Pesan
dari Masa Lalu. Dalam kategori ini juga ada beberapa kegelisahan saya mengenai
bagaimana anak-cucu saya kelak menyikapi kehidupannya! Beberapa isinya mirip
dengan konten puisi Maskumambang. Salah satunya bisa dibaca pada tulisan saya
yang berjudul Catatan
Galau Usai Menonton Berita Pagi di Televisi.
Gambaran
kegelisahan Rendra mengenai keadaan pada tahun 2009 pada puisi ini masih mirip dengan
gambaran pada keadaan sekarang, seperti pada bagian ini:
Bangsa kita kiniseperti dadu terperangkap dalam kaleng hutangyang dikocok-kocok oleh bangsa adi kuasatanpa kita bisa melawannyasemuanya terjadi atas nama pembangunan
Dan
juga di bagian ini:
Pasar dibakar, kampung dibakar,gubuk-gubuk gelandangan dibongkartanpa ada gantinyasemua atas nama tahayul pembangunan. restoran dibakar, toko dibakar, gereja dibakar,atas nama semangat agama yang berkobar
Spontan,
saya googling lagi. Kali ini mencari
jumlah utang negara kita di tahun ini. Ternyata jumlahnya masih fantastis: Rp.
3.438 triliun (dari sebuah artikel yang dirilis 25 September 2016). Terkejut
tapi kata ahli, itu masih aman karena masih di bawah 33 persen dari produk
domestik bruto (PDB). Iya, masih di bawah 33%, tepatnya “baru” 27,7% dari PDB. “Hanya
tinggal” 6 poin lagi!
Sampai
di sini, saya hanya bisa berharap agar tahun depan, utang itu berkurang secara
signifikan dan semoga 7 tahun ke depan sudah ada perubahan yang lebih positif
sehingga puisi ini tidak relevan lagi pada kondisi saat itu. Saya menjadi tidak
sabar menunggu hari pembacaan puisi itu tiba.
Makassar, 26 November 2016
Share :
0 Response to "Maskumambang: Karya Rendra yang Masih Relevan Setelah 7 Tahun"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^