Pada tanggal 12 November lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar menyelenggarakan Diskusi Media Soal Anak dan Perempuan di sebuah tempat bernama Rumah Independen, di jalan Toddopuli 7 Ruko B Nomor 23 A Makassar. Diskusi ini menghadirkan 3 orang pembicara, yaitu: Ir. Fadiah Mahmud (Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulsel), Nur Anti (Kabid Kualitas Hidup Perempuan dan Anak BPPA Sulsel), dan Muhammad Idris (Produser Celebes TV Makassar) sebagai moderator.
Ibu
Fadiah menyampaikan bahwa Beijing Platform for Action (tahun 1995)
menyebutkan: meningkatkan kesadaran mengenai tanggung jawab media massa dalam mempromosikan citra non stereotipe perempuan dan laki-laki,
termasuk penghapusan pola presentasi media massa yang menyebabkan pelecehan,
eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan. Dengan ini diharapkan dapat mendorong pengelola isi media
massa untuk merumuskan pedoman dan code
of conduct professional dalam meningkatkan kesadaran tentang pentingnya
peran media massa dalam penyediaan informasi serta pendidikan bagi masyarakat
tentang hak-hak dan isu-isu perempuan termasuk keerasan dan eksploitasi
terhadap perempuan.
Cara
pandang tentang dunia ditentukan oleh agen-agen sosialisasi seseorang di dalam
hidupnya. Memperhatikan pengelolaan media massa adalah penting mengingat media
massa dapat menjadi agen budaya yang
sangat berpengaruh terhadap pengetahuan, cara pandang, sampai pembentukan
perilaku masyarakat. Dalam pengelolaan media massa diharapkan dapat
disosialisasikan masalah-masalah anak, perempuan, dan gender kepada masyarakat yang selama ini pemahaman dan
sensitivitasnya terhadap isu tersebut masih kurang. Media massa hadir sepanjang hari. Kita
mengkonsumsi media dalam jumlah dan intensitas yang semakin besar, disebabkan
kurang berinteraksi secara langsung satu sama lain.
Piramida Pemenuhan Hak Anak. Sumber: presentasi Ibu Nur Anti |
Pemateri
kedua, Ibu Nur Anti menyampaikan mengenai pentingnya peran media, yaitu dalam penyebarluasan
informasi. Eksploitasi positif bagi media dapat menjadi dampak negatif secara
luas dan berkelanjutan.
Sejalan
dengan Ibu Fadiah, Ibu Nur Anti mengatakan, mengapa perempuan selalu menarik
jadi obyek, adalah karena memang perempuan
menarik untuk diberitakan apalagi selalu dikaitkan dengan kondisi fisik. Begitu
pun anak, anak juga menarik/lucu/aneh
untuk menjadi topik, apalagi kalau perilaku yang ditunjukkan tidak sesuai
dengan usianya.
Penting
bagi media memperhatikan hak anak dalam menulis/menyebarluaskan tentang anak,
memperhatikan hak-hak anak. Pemenuhan hak anak sebanyak 80 % psikis (mental, spiritual, psikososial) dan 20
% fisik (sandang, pangan, papan). Jika pemenuhan hak anak tidak optimal,
sebagian besar anak tetap berada dalam rumah, namun efeknya ada yang kurang
dalam tumbuh kembangnya. Apa yang menghambat/menyusahkannya akan disalurkannya
pada suatu saat, ketika sudah memiliki
kemampuan. Sebagian kecil dari mereka yang tidak terpenuhi hak-haknya
terlempar ke luar rumah. Mereka mencari kasih sayang, atau teman bercakap yang
tidak didapatkan dalam lingkungan keluarga. Sebagian kecil lagi menjadi
pembunuh, pemerkosa, narkoba, dan lain-lain. Seram, ya.
Piramida Dampak pada Anak Korban Kekerasan |
Pertemuan
ini masih berlanjut, untuk membicarakan mengenai formulasi baru dalam memberitakan
kasus perempuan dan anak yang sensitif gender,
responsif pada anak dalam bingkai HAM. Pertemuan selanjutnya berlangsung di
BaKTI pada tanggal 25 November 2016. Sayang sekali saya tidak bisa hadir pada
pertemuan yang menghadirkan Pak Rusdin Tompo sebagai nara sumber itu.
Makassar, 8 Desember 2016
Share :
AJI memang konsisten untuk membahas isu perempuan dan anak di Media mba. MIris juga karna masih banyak pelanggaran yang terjadi padhaal kode etik dan P3SPS sudah ada
ReplyDeleteIya Mbak .. masih banyak jurnalis yang belum ngerti. DI sisi lain sebenarnya sudah banayk juga yang paham. Setidaknya, yang bisa disyukuri adalah keadaan sekarang lebih baik daripada dululah dalam hal pemberitaan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Delete