Saat
ini sedang marak dibicarakan mengenai artis-artis yang buka toko kue, seperti di
kota Makassar. Di Makassar ada Bosang (milik Ricky Harun) dan Makassar Baklave (milik Irfan Hakim). Saya menghadiri undangan soft launching kedua
toko kue yang mengusung brand yang
sama dengan nama toko kuenya tersebut. Sebagai undangan, saya sangat menghargai tuan
rumah dan seperti biasa, saya menuliskannya ke dalam blog ini. Tentu saja saya
tak akan menjelek-jelekkan tuan rumahnya tetapi saya berusaha menuliskan review dengan jujur. Kalau enak, pasti
saya bilang enak. Kalau ada ganjalan terkait rasa, akan saya tuliskan juga.
Sambut Sisi Positifnya
Saya
pribadi menganggap masuknya usaha-usaha artis ini positif. Walau ada beberapa
pertanyaan yang megganjal, menggugat tak akan menghasilkan apa-apa kecuali
buang-buang energi. Saya menaruh apresiasi besar ketika pada peresmian Makassar
Baklave, saya menyaksikan sendiri kerja sama antara toko kue kepunyaan Irfan
Hakim itu dengan CCBC (Celebes Cooking and Baking Community), sebuah komunitas
yang beranggotakan para pemiliki usaha kue-kuean skala kecil di Makassar. Selain itu, saya
juga menyaksikan bentuk kerja sama Makassar Baklave dengan para pendukung film
Silariang yang merupakan film produksi orang-orang Makassar. Salut buat ketiga
pihak – CCBC, Silariang, dan Makassar Baklave. Selain itu, baik Makassar
Baklave maupun Bosang juga membuka lapangan kerja baru dan memberi tambahan
ragam kuliner di kota ini.
Atraksi Tarian 4 Etnis pada peresmian toko Makassar Baklave |
Beberapa
hari setelah dua brand yang dimiliki
aktor terkenal meresmikan tokonya, lini masa media-media sosial saya ramai
dengan perbincangan mengenai hal ini. Mulai dari yang menyambut dengan tangan
terbuka hingga yang sarkastis.
Menggugat Kata Kunci, Adakah Manfaatnya?
Sebagian
orang terusik, mempertanyakan, atau mempermasalahkan istilah “oleh-oleh khas Makassar” yang sesekali muncul melengkapi brand
yang baru masuk kota. Apa kabar kuliner asli daerah? Begitu kira-kira
pertanyaan besarnya.
Saya
pribadi memaklumi strategi marketing yang
digunakan dengan istilah “oleh-oleh khas Makassar”. Sah-sah saja. Selama ini
tidak ada hukum yang melarang penggunaan kata kunci meski penggunaannya tidak
permisi dulu pada warga asli daerah yang dimaksud. Saya pun memaklumi, mengapa
orang-orang terusik, mempertanyakan, atau mempermasalahkan istilah “oleh-oleh
khas Makassar” itu. Sah-sah saja.
Bagi
sebagian orang, kuliner khas Makassar yang bisa menyandang istilah “oleh-oleh
khas Makassar” itu hanyalah jalangkote’, taripang, bannang-bannang, pallumara,
palubasa, pisang ijo dan lain-lain penganan tradisional. Hanya itu. Tak lain
dan tak bukan.
Namun
yang tak bisa kita abaikan adalah trend sekarang adalah globalisasi.
Banyak terjadi pergeseran pengertian pada banyak hal. Oleh-oleh khas bukan lagi
berarti oleh-oleh berupa sesuatu yang asli berakar sejak bertahun-tahun di
daerah itu. Dan sebenarnya pula, istilah khas
sendiri, merujuk kepada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti khusus; teristimewa. Jadi oleh-oleh
khas dari sebuah daerah berarti oleh-oleh yang khusus atau teristimewa ada
(berasal) di daerah itu.
Dahulu
saya mengira otak-otak merupakan makanan khas Makassar karena otak-otak Ibu
Elly mejadi salah satu oleh-oleh yang disukai pendatang. Ternyata saya salah,
penganan yang terbuat dari daging tenggiri cincang yang dibungkus dengan daun
pisang, dipanggang, dan disajikan dengan kuah asam pedas itu merupakan makanan
Melayu yang populer di Indonesia, Singapura, dan Malaysia.
Salah satu kreasi Batik Lontara. Sumber: fan page Batik Lontara Sulawesi (@workshopbatiklontara) |
Cerita
lain adalah, ibu saya suka sekali mengoleh-olehi kerabat kami kue kering
melinjo. Sebagian orang mengiranya sebagai oleh-oleh khas Makassar karena
seringnya Ibu memberikannya kepada kerabat padahal kue kering ini sudah lebih
dulu ada di Surabaya. Seorang sahabat saya malah mengatakan, ketika iparnya ke
Surabaya, dia selalu minta dibawakan kue kering melinjo tersebut sebagai
oleh-oleh.
Beberapa
tahun ini, saya melihat ada materi promosi produk “abon gulung khas Makassar”.
Padahal setahu saya, abon gulung itu oleh-oleh kekinian khas Manokwari yang
bertahun-tahun lalu sudah sering menjadi oleh-oleh saudari ipar saya yang
berdomisili di sana kepada kami.
Kue
pia pun, sudah ada kue pia khas Makassar. Jenis produk ini bagi saya seperti
sandingan bagi kue pia khas Gorontalo. Kerabat saya di Gorontalo sering mengirimi oleh-oleh kue pia khas Gorontalo untuk Ibu. Padahal kue pia pun bukan penganan asli/tradisional di Gorontalo dan Makassar.
Kembali
kepada oleh-oleh kekinian yang lagi jadi buah bibir, terkait nama brand yang mirip, yang di Makassar
namanya Makassar Baklave. Dua kata itu dengan huruf e sebagai pengganti a untuk
membedakannya dengan baklava asal Turki. Penamaan Makassar Baklave (bukan Baklava) menyerupai
penamaan “Batik Lontara” dan “Batik Toraja” yang kini menjadi salah satu oleh-oleh
khas Makassar. Adapun pemakaian nama itu bukan karena hendak mengklaim baklava dari Turki ataupun batik dari Jawa.
Walau
tanpa kata kunci “oleh-oleh khas Makassar”, otak-otak, kue kering melinjo, abon
gulung, kue pia, Batik Lontara, dan Batik Toraja bisa dianggap penerimanya sebagai barang khas dari kota ini kalau dari kota ini
ada yang senang mengoleh-olehi kerabat mereka dengan produk-produk tersebut. Terlepas
dari pertanyaan apakah benar-benar khas atau tidak.
Ikan bakar. Salah satu makanan tradisional yang selalu bikin saya ngiler. |
Metamorfosa Kota Wisata Kuliner
Pada
kenyataannya, dunia nyata kita
mengglobal. Kalau bukan Ricky Harun dan Irfan Hakim yang masuk, akan ada
orang-orang lain yang masuk dengan mudahnya ke Makassar. Mengapa? Karena
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang sudah beberapa kali berada di atas
pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional bisa menjadi daya tarik yang seksi bagi mereka
yang bermodal besar. Selain itu, Makassar pun dikenal sebagai kota yang
transaksi online-nya tinggi.
Pada
beberapa acara yang menghadirkan wakil gubernur Sulawesi Selatan – Bapak Agus Arifin Nu’mang sebagai salah satu orang penting yang memberi kata sambutan, saya memperoleh penjelasan tentang pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang tinggi itu dan pada beberapa acara, seperti sosialisasi Serempak (website Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) dan Ngopi Bareng Tiket(dotCom),
saya peroleh pula penjelasan tentang daya tarik Makassar dari sisi transaksi online.
Pendeknya,
uang yang berputar di kota ini banyak sekali, kawan. Dan itu daya tarik besar. Sementara
kreativitas dan inovasi berkembang sangat baik di negeri ini. Begitu banyak
orang kreatif dan inovatif yang terus saja bermunculan. Dan ketika mereka
bertemu dengan pemodal. Voila, terwujudlah
peluang bisnis!
Malah saya kira,
kalau bukan Ricky Harun dan Irfan Hakim, bukan tidak mungkin beberapa tahun ke
depan di kota ini akan bertumbuh subur usaha kuliner yang dimiliki orang-orang
asing yang membawa cita rasa dari negara mereka. Mereka akan memodifikasi makanan khasnya untuk menyesuaikannya dengan lidah orang Makassar. Bisa saja, kan? Sekarang kan eranya MEA (Masyarakat
Ekonomi Asean). Peluang investasi asing makin terbuka lebar! Siapa yang bisa
membendung masuknya beragam hal baru nanti? Akan terus menggugat kata kunci? Kalau
iya, adakah gugatan itu akan membuahkan hasil yang nyata dan berdampak positif?
Bukan mustahil pula jika suatu saat nanti orang Turki bikin Turkish Burongko,
misalnya. Bisa saja, kan?
Maka
dari itu, daripada menggugat kata kunci yang membuat kita membuang energi, lebih
baik hal ini dijadikan sebagai tantangan. Mari ambil hikmahnya. Mau
tidak mau, Makassar sedang bermetamorfosa menjadi kota wisata kuliner di negara
ini. Kita harus hidup berdampingan dengan hal-hal baru. Tidak ada pilihan lain, UMKM asli daerah harus memikirkan cara jitu untuk maju,
mengantisipasi persaingan yang semakin ketat. Ini tantangan besar untuk lebih
kreatif dan inovatif lagi. Mari kita cari caranya!
Makassar, 17 Januari 2017
Share :
Salah satu daya tariknya adalah karena Makassar sebagai pintu gerbang menuju Indonesia Timur.
ReplyDeleteSetahun lalu, saat hijrah kembali ke Makassar, saya juga merasakan atmosfer heterogen masyarakat yang berdomisili di Makassar sudah mirip sama Jakarta. Ini jadi pasar yang menggiurkan bagi pebisnis.
Memang sudah banyak perubahan, Ndy.
Deleteahhh...slalu suka Sama pembahasan kak niar. slalu dalam Dan mengena
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca, Lia ^^
DeleteSaya selalu suka dgn tulisan kak Niar. Selalu mencerahkan!
ReplyDeleteTetaplah keren, kak..
Terima kasih sudah membaca, Vby ^^
DeleteJadi pengen coba turkish berongko 😂
ReplyDeleteTerima kasih sudah menuliskan ini, kaak. Rada-rada gerah liat timeline linimasa yang hanya bisa mengejek kreasi para artis ini.
Terima kasih sudah membaca, Ifa ^^
DeleteLama ka dak mampir ke blog ta. Makin keren tulisan ta. Saya lebih suka style ta yang seperti ini. 'Mugniar banget'.
ReplyDeleteEniwei, mungkin dri sisi bisnis pemberian tag 'oleh oleh khas Makassar' lebih kepada positioning. Biasanya orang2 bila bertandang ke suatu tempat dititipi pesan 'oleh oleh ya...'. Paling gampang ya bawa makanan. Cuma kadang2 orang2 yang baru datang sering bingung bagusnya bawa apa ya? Dengan penganan bertag 'Oleh Oleh khas....' urusan beres, karena penerima sudah yakin duluan 'ohh ini oleh-oleh khas kota itu'. Dari sisi penjualnya tentu itu menguntungkan krn orang2 dgn sendirinya kepikiran produknya untuk oleh2. Teman saya saja pernah bilang gini,"Itu brownies mu kasi label Oleh-Oleh Khas Makassar mi juga. Supaya enak ka bawa ki ke Bandung. Soalnya Brownies di Bandung banyak banget. Tapi kalo ko kasi label 'Khas Makassar' jadi lain ceritanya.
Hahaha.. sampe segitunya.
Nah, bahkan teman VIta berpikir begitu :)
DeleteSukaaa tulisannya kak niar �� saya juga jadi tercerahkan lhoo..hihi
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca, Alfu ^^
DeleteIya, memang ada rasa nggak terima kalau orang lain menjual yg bukan khas daerah tertentu tapi diakui sebagai khasnya. Saya pun awalnya seperti itu. Tapi, betul kata mbak Niar. Ini adalah peluang, dimana peluang ini bisa membantu oranv lain meningkatkan keuangan keluarga. Kalau sudah seperti itu, sayang kalau tidak diloloskan bisnisnya.
ReplyDeleteTapi iya, para pembisnis untuk oleh2 asli daerah tersebut, juga dituntut untuk lebih inovatif. Jangan mau kalah. Supaya khas daerah yang asli, bisa benar2 dikenal banyak orang
Yah, yang begini mau dibendung bagaimana, Mbak Ria. Toh tidak ada hukum yang bisa melarang atau menghukum yang melakukannya. Akan ada orang2 lain yang masuk. Zaman sudah seperti itu. :)
Deleteini sebagai penyemangat bagi warga Makassar untuk lebih mempopulerkan kue-kue khas Makassar, seperti barongko, cucuru bayao dan lain-lain, jadi kalau mauki kasi oleh-oleh kasi saja yang memang menjadi ciri khas Makassar dan bagi pengusaha atau pebisnis kue sudah saatnya melakukan inovasi, agar bsa bersaing dengan oleh-oleh "khas" Makassar lainnya. Hidup taripang, barongko, cucuru bayao dan teman-temannya!
ReplyDeleteNah, ayo mana orang Makassar yang mengemas taripang, barongko, cucuru bayao dengan manis kemasannya dan bisa tahan lama tapi tetap alami :)
DeleteSaya malah gak banyak tau dengan makanan Khas Makassar selain Coto Makassar. Sisanya saya baru tau di sana ada panganan kering melinjo.
ReplyDeleteJadi inget dengan Lupis Medan, sempat bingung juga emang di medan ada yang jual lupis? Karena sebagai orang Bekasi, saya penggemar lupis banget.
Untuk artis2 yang usaha kuliner. Buat saya juga sah sah aja. Soalnya di Bekasi juga gitu, ada yang jual oleh2 khas bekasi tapi yang dijual ga cuma ciri khas bekasi aja. Beragam lah.
Sudah mewabah di kota-kota besar di Indonesia, ya Ipeh.
Deletetulisannya kak niar keren terus... terus berkarya kak...
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca ^^
DeleteWah, bagus kalau ada oleh2 khas daerah. :) Semoga bisa bermanfaat dan memperbaiki ekonomi bangsa. Hehehehehe :D
ReplyDeleteHm ... Terima kasih sudah membaca, Mbak Nisa ^^
DeleteSetuju kak, malah bagus menurutku untuk perekonomian Makassar, menyerap tenaga kerja dan pilihan oleh2 khas Makassar makin beragam..
ReplyDeleteItu beberapa efeknya :)
DeleteGue cuma mau bilang, "apa kabar, Bu Mugniar yang asli Makassar?" :))
ReplyDeleteKalau dibilang asli, saya bingung kakak. Orang tua saya dua-duanya pendatang di kota ini. Bahasa mereka bukan bahasa Makassar. Saya pun tak bisa berbahasa Makassar. Saya hanya lahir dan besar di Makassar. Kalau penduduk asli ya memang benar. Yang jelas, saya suka sekali kota ini. Dan, kabar saya, alhamdulillah baik :)
Delete'Judul'nya memang sedikit nyeleneh sih buat saya. Kenapa harus memakai kata kunci 'oleh - oleh khas Makassar', tapi sudahlah tidak perlu diperdebatkan..
ReplyDeleteYang jelas, ada lagi pilihan tempat makan dengan keluarga dan sahabat.. tadi pengen mampir tapi masih rameee..
Makasih tulisannya bu..
Oh, kalo suatu saat ada Turkish Burongko, kira2 kayak apa yaa rasanya? 😊
Makasih sudah mampir di tulisan saya ya Mbak Nuniek. Apapun itu, selama masih baik, tidak melanggar hukum apalagi norma agama, yuk saja ah. Sembari mencari cara bagaimana yang memang UMKM asli daerah juga bisa ikut tumbuh, berdampingan dengan yang kekinian :)
DeleteJadi ingat oleh oleh khas Batam, yakni cake pisang. Awal mula yg bikin Orang Padang 😊
ReplyDeletePernah dengar cake pisang. Cake pisang pun makanan kekinian ya Mbak Yervi tapi bisa jadi oleh-oleh Batam juga hehehe. Saya dulu sering bikin cake pisang juga tapi sudah lamaaa sekali, kira2 16 atau 17 tahun lalu terakhir hehe *kebangetan yah*
Delete*ketahuan deh malas bikin kue*
Saya pernah dibawain oleh2 otak-otak Makassar. Gede2 ukurannya dan enak.
ReplyDeleteTerima kasih pencerahannya
Salam hangat dari Jombang
Enak kan Pakdhe. Jadi oleh-oleh Makassar yang dibawa ke Surabaya, dimakan sama orang Jombang :D
DeleteSalam hangat dari Makassar, Pakdhe.
Kak otak-otak yang dibatam (daerah melayu) sangat berbeda dengan otak-otak yang dimakassar, bukan dari ikan tenggiri + dibungkus dengan daun kelapa, baru sangat tipis pulak, gak ada kuahnya, malah lebih enak dan sukaaaa yang otak-otak makassar.
ReplyDeletetapi memang kak saya rasakan sekali kalau tiap pulang kampung ke makassar, beda sekalimi, setiap tahun itu ada saja perubahannya, semakin kesini kok, saya semakin rindu dengan makassar yang dulu :')
Ooh gitu ya, Unna ... saya ambil definisinya di Wikipedia, soalnya. Saya kira sama ji. Beda ternyata ya dengan di Batam. Unna pasti lebih tahulah, kan tinggal di Batam.
DeleteYup, banyak yang berubah di Makassar, Unna. Sudah keniscayaan. Atau bisa dibilang "tuntutan zaman" kali, yah.
Betul, Mbak. Kami pun orang Lamongan tak pernah menggugat wingko babad yang diklaim sebagai oleh-oleh khas Semarang padahal aslinya dari Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Sekarang oleh-oleh Bandung pun dijual di Surabaya, dan sebaliknya. Peluang dan tantangan harus kita pecahkan. Optimisme membuka kesempatan kerja di daerah setempat.
ReplyDeleteLintas provinsi malah ya Mas Rudi. Terima kasih sharing-nya. Inilah salah satu asyiknya ngeblog. Bisa nambah wawasan dari daerah lain.
DeleteKuncinya sepertinya pada kata khas ya... Coba oleh-oleh dari Makasar, pasti lebih banyak yang bisa menerima. Tulisannya mantab..
ReplyDeleteYaah, ada pihak yang menganggap perlu menetapkan kata kunci. Di satu pihak ada yang keberatan. Di pihak lain tak ada hukum yang melarang :)
DeleteSelalu pengen ke Makassar. Smoga jodoh deh. Ngiler sama ikan bakarnya....
ReplyDeleteHayuk Jiah, ke Makassar. Kita kopdar di Pantai Losari, yuk.
DeleteTanteku selalu bawain otak2 Makassar kalau datang, mba. Tapi Makassar memang banyak menawarkan banyak pilihan kuliner mba :)
ReplyDeleteBisa jadi oleh-oleh khas, "Otak-Otak Makassar" juga ya Mbak Lida.
DeleteIya, dan dengan masuknya kuliner kekinian, makin beragam deh pilihannya.
Duh mak, datang kemari pas jam makan siang, sukses ngiler deh ngomongin kuliner... Pebisnis kuliner jaman sekarang memang harus kreatif ya menghadapi tantangan global, saingannya udah bukan satu daerah tapi global ^_^
ReplyDeleteYup Mbak. Global .. alias mendunia. Ke depannya persaingan sepertinya akan makin sangar :)
DeleteWah itu yang dibakar bikin ngilu gigi :D pengen gigit aja ehhee
ReplyDeleteIkan bakaaaaar. :)))
Delete