Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan berjudul Meningkatkan Kapasitas Pekerja Sosial untuk Layanan Kesejahteraan Anak Integratif. Dimuat di BaKTI News No. 134, Februari - Maret 2017.
Akbar
Halim menyampaikan hasil sebuah survei yang menyatakan bahwa tempat-tempat yang
paling tidak aman bagi anak adalah sekolah dan tempat ibadah. Hal yang
mengejutkan. Untuk mengingatkan kembali pasal-pasal yang perlu digarisbawahi
oleh para pekerja sosial, Akbar Halim memaparkannya kembali. Dia mengingatkan
kembali bahwa pekerja sosial harus kuat dari sudut asesmen.
Memahami Layanan Anak Integratif untuk memperkuat Sistem Perlindungan Anak
Pada UU
(Undang-Undang) Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, Tentang Perubahan Atas UU
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa Perlindungan Anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Kemudian
pada pasal 9 ayat 1a, pada UU yang sama disebutkan bahwa “Setiap anak berhak
mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan
kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta
didik, dan/atau pihak lain”.
Akbar
Halim juga mengingatkan kembali kepada para peserta mengenai pasal-pasal
penting pada UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yaitu pasal 13
ayat 1, pasal 15, pasal 16, pasal 17
ayat 1, dan pasal 18. Pasal-pasal tersebut menjelaskan pada keadaan
bagaimana anak perlu mendapatkan perhatian serius dan perlindungan.
Prinsip dan Etika dalam Bekerja dengan Anak dan Keluarga Rentan
Melalui
materi ini para peserta diharapkan memahami konsep nilai dan prinsip etik,
nilai-nilai dan prinsip-prinsip penting serta batasan-batasannya dalam bekerja dengan anak dan keluarga
rentan. Melalui materi ini diharapkan para peserta mampu memahami, menjelaskan, dan
mempraktikkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip etik bekerja dengan anak dan
keluarga rentan dalam bekerja dengan
anak dan keluarga rentan.
Nilai-nilai
merupakan suatu bentuk keyakinan yang terletak di pusat sistem keyakinan
menyeluruh yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang tentang apa yang
dianggap berharga atau tidak berharga untuk dicapai. Etika merupakan salah satu
bagian dari nilai (values). Etika
adalah tuntunan sosial yang berdasarkan nilai-nilai yang mengatur perilaku dan
bagaimana melakukan aktivitas. Tidak semua nilai menjadi etika, hanyalah
nilai-nilai yang mewakili standard normatif perilaku atau dianggap benar
(berbasis moral) yang menjadi etika ketika diterjemahkan dalam perilaku.
Nilai-nilai normatif tersebut misalnya kejujuran, kesetiaan, kasih sayang
terhadap anak, menepati janji, dan menghargai privasi.
Sedangkan
prinsip-prinsip dasar layanan anak dan
keluarga rentan yang harus diperhatikan adalah: prinsip-berfokus pada anak, prinsip-kemitraan
dengan keluarga, prinsip kemitraan dengan masyarakat, prinsip- responsif
terhadap budaya, prinsip-menguasai kompetensi dasar, prinsip-menguasai keahlian
yang berhubungan dengan peran pekerja sosial, dan prinsip tidak merugikan.
Mengapa
nilai dan prinsip etik profesi penting? Karena semua itu dibutuhkan untuk menjaga identitas dan
keberlangsungan suatu profesi, menjamin akuntabilitas, mendukung efektivitas
layanan serta memberikan pedoman dalam menghadapi konflik atau dilema
nilai/etik.
Kolaborasi dalam Jejaring
Layanan
Perlindungan Anak Integratif merupakan kolaborasi antara penyedia layanan,
pemerintah, masyarakat bersama-sama, dilaporkan dalam bentuk standar yang
dikelola oleh Pekerja Sosial dan Tenaga Kerja Sosial (TKS). Kolaborasi yang
dimaksud adalah dengan melibatkan keluarga, komunitas, pemerintah, masyarakat
umum). Pekerja Sosial dan TKS diharapkan mampu memetakan layanan yang
dibutuhkan dan bekerja berdasarkan SOP multi layanan yang integratif. Dalam
perencanaan intervensi perlu melibatkan keluarga, komunitas, layanan pemerintah
dan masyarakat sesuai hasil asesmen.
Fasilitator
memberikan contoh kasus kepada para peserta untuk dianalisa. Kasus itu
menceritakan tentang Cempaka (nama samaran, 16 tahun) yang tinggal dengan ayah
tiri, ibu kandung, dan adik-adiknya. Seorang lelaki dewasa, kerabat keluarga
sering datang menginap di rumah mereka. Rumah kontrakan yang sempit tanpa
sekat, dan kamar mandi yang tanpa pintu, hanya berbatas tirai. Dia sering
mendapat perlakuan diskriminatif dari tetangga karena tidak memiliki ayah.
Sementara ayah tirinya memaksanya membantu berjualan di terminal di malam hari.
Sementara Cempaka tidak merasa nyaman karena sering menerima perlakuan tidak
menyenangkan dari para pembeli. Bukan hanya itu, ada berbagai masalah yang
terjadi di rumah keluarga kecil itu.
Ketika
bicara layanan perlindungan anak. Bicara pencegahan, fokusnya adalah
pengurangan risiko. Tidak bisa menanganani dengan akurat kalau tidak bisa
identifikasi dengan akurat faktor risikonya apa. Para peserta menganalisa
bersama contoh kasus tersebut. Mereka mengidentifikasi faktor risiko dan faktor
pelindung. Penting kemampuan mengidentifikasi tiap faktor risiko. Secara
cerdas, pilihlah faktor risiko mana yang akan paling berdampak untuk mengurangi
faktor risiko, Karena keterbatasan sumber daya, maka harus memilih, tidak
mengambil semuanya. Jika tiba saatnya intervensi untuk mengurangi faktor risiko,
bisa diambil tindakan yang tepat.
Dalam
meninjau faktor risiko, perhatikan adakah yang bisa dikurangi? Dalam kasus
Cempaka, usianya 16 tahun. Fisiknya sedang dalam keadaan matang-matangnya,
kenyataan ini tidak bisa diubah. Yang bisa diubah (dalam hal ini ditingkatkan)
adalah kemampuannya menjaga diri. Mengenai rumah kontrakan sempit, tak bisa diubah.
Faktor ini tak dapat dikurangi risikonya. Nah, yang mungkin dilakukan adalah
mendesain penataan rumah yang lebih aman. Faktor pelindung yang dibangun: ibu
kandung Cempaka menginginkan berada di rumah. Dia mulai mengerti tapi belum
cukup memahami kalau Cempaka membantu berjualan di terminal pada malam hari,
dampaknya akan bagaimana. Nah, faktor pelindung ini bisa ditingkatkan dengan
mengedukasi si ibu. Dalam hal ini, pekerja sosial bisa berfokus pada pencegahan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Kembali
pada PPKAI, diharapkan lembaga ini nantinya mampu menyusun daftar atau katalog
layanan/program di Makassar/Gowa yang bertujuan meningkatkan kapasitas keluarga
sehingga bisa menururunkan faktor risiko atau meningkatkan faktor pelindung. Misalnya
program untuk pasangan yang mau menikah di KUA, mengadaptasi program BKKBN,
atau program sekolah. Contohnya di Jakarta, ada program yang mengharuskan
guru-guru secara berkala mendatangi rumah orang tua murid yang bermasalah. Di
Makassar ada Program ‘Sentuh Hati’ yang merupakan program dari camat dan lurah
untuk berkunjung ke rumah warga pada hari-hari tertentu.
Mengelola Stres Karena Pekerjaan
Sebagai
motivasi awal, Adie Erwan mengingatkan mengenai proses terjadinya manusia.
Bahwasanya karena itu, siapa pun dia, adalah pemenang karena sel sperma yang
jadi pemenang itu mengalahkan ratusan juta sel sperma lainnya. Jarak dari mulut
rahim sampai ke dalam rahim sebenarnya pendek tetapi dalam konteks perjalanan
sel sperma, jarak itu bagaikana berpuluh-puluh kilo meter. Artinya sebesar
apapun rintangan, seharusnya pekerja sosial bisa menghadapinya dan
menyelesaikan segala masalahnya.
Namun
demikian, stres normal ditemui dalam kehidupan ini. Stres adalah suatu kondisi
yang dinamis saat seorang individu dihadapkan pada peluang, tuntutan, atau
sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan oleh individu itu dengan
hasil yang dipandang tidak pasti atau berbeda dengan harapan.
Dalam
kedaan stres, ada gejala-gejala yang timbul. Gejala-gejalanya bisa berupa
gejala psikologis, gejala fisiologis, dan gejala perilaku. Akibatnya dalam
lingkungan kerja, gejala-gejala yang timbul dapat berupa kepuasan kerja rendah,
kinerja menurun, semangat dan energi hilang, komunikasi tidak lancar,
pengambilan keputusan jelek, kreatifitas dan inovasi kurang, dan/atau hanya
bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif.
Pekerjaan
yang berkaitan dengan kemanusiaan seperti pelayanan sosial sejatinya merupakan
pekerjaan yang menunjukkan bahwa kita peduli pada orang lain. Orang yang
menderita, dalam kasus yang ditangani sangat membutuhkan bantuan. Akan tetapi,
bekerja di area ini, khususnya dalam pendampingan perempuan yang mengalami
kekerasan, penuh dengan tantangan. Belum lagi kalau ada ancaman dari
lingkungan, bertambahlah beban pekerjaan. Dalam proses pemulihan, pendamping
(pekerja sosial) pun berisiko mengalami stres dan kelelahan fisik maupun
mental.
Ada
dua kondisi yang mungkin dialami oleh pekerja sosial selaku pendamping korban,
yaitu (1) trauma sekunder, yaitu ketika pendamping mengembangkan trauma yang
serupa dengan yang dirasakan oleh klien. Dan (2) burnout, yaitu keadaan lelah secara fisik,
emosional dan mental yang disebabkan oleh keterlibatan jangka panjang dalam
situasi yang menekan secara emosional. Akibatnya amat buruk, pekerja sosial yang mengalami stres
bisa menjadi depresi, mati rasa, tidak peduli, sinis, merendahkan orang lain,
dan lain sebagainya.
Lalu,
bagaimanakah cara mengelola stres?
Ada 3
cara yang bisa dilakukan. Pertama: pencegahan primer, caranya adalah dengan
melakukan sesuatu sebelum stres datang. Pencegahan primer dilakukan dengan
strategi yang bersifat individual dan pendekatan organisasional. Penting untuk
diingat bahwa diri kita bukanlah manusia super. Berpikirlah sebagai tim dalam
menyelesaikan masalah. Kedua: pencegahan sekunder, yaitu dengan menyiapkan diri
saat menghadapi stressor yang mulai
datang. Pencegahan sekunder dilakukan misalnya dengan latihan fisik, diet,
tidur yang cukup, dan rekreasi. Cara yang ketiga adalah penanganan tersier,
yaitu dengan menangani dampak stres yang terlanjur ada. Penanganan tersier ini
dilakukan dengan bantuan profesional atau orang lain.
***
Selama
pelatihan, para fasilitator bertindak fleksibel dalam metode. Banyak terjadi
diskusi untuk menggali, memahami, dan memberi masukan para peserta. Senda gurau
dan gelak tawa menjadi penghias pelatihan yang berlangsung selama 4 hari ini.
Selain itu, para fasilitator memberikan pre
test, post test, dan tes analisa tingkat stres kepada para peserta. Pada
akhir pelatihan peserta dituntun untuk menyusun RTL (Rencana Tindak Lanjut) dalam
dua kelompok besar berdasarkan wilayah (Makassar dan Gowa) dan ada pemberian reward dari panitia kepada peserta untuk
beberapa kategori. Semoga, selepas mengikuti pelatihan ini tercapai peningkatan
kapasitas yang diharapkan sehingga setelah sistem PPKAI siap, para frontliner ini mampu bekerja dengan
dedikasi tinggi.
Makassar, 2 April 2017
Baca juga tulisan-tulisan yang berhubungan dengan Layanan Kesejahteraan Anak:
- Meningkatkan Kapasitas Pekerja Sosial untuk Layanan Kesejahteraan Anak Integratif
- Menuju Layanan Kesejahteraan Anak yang Holistik dan Komprehensif
- Semua Anak Makassar Berhak Punya Akta Kelahiran
- Menuju Advokasi Peliputan dan Penulisan Isu Perempuan dan Anak
Share :
Berat ya tugas pekerja sosial
ReplyDeleteKalau buat saya ... berattt hehe
Delete