Padahal
saya sudah pernah ke rumah Fahira, kawan Athifah. Seharusnya saya tahu
rumahnya. Rumahnya terdiri atas bangunan dua lantai. Yang bagian bawahnya
dijadikan kafe sementara Fahira sekeluarga tinggal di lantai duanya. Kali ini
saya harus ke sana lagi untuk menjemput Athifah yang tanpa bilang-bilang pergi
ke sana sepulangnya dari sekolah. Untungnya saya mendapat kabar dari salah
seorang kawan Athifah yang lain jadi saya menyusulnya ke sana. Kali ini saya
kalang-kabut karena papanya tak bisa menjemputnya seperti biasa dikarenakan
adanya pekerjaan penting yang harus Papa selesaikan.
Eh
tunggu dulu, saya bukannya langsung ke rumah Fahira. Saya ke rumah Safira dulu.
Karena kabar yang saya terima Athifah berada di rumah Safira. Rumahnya di dekat
sekolah juga. Tapi hanya tas sekokahnya yang ada di sana. Athifah dan Safira
pergi ke rumah Fahira. Begitu, kejadiannya.
Karena
sudah lupa-lupa ingat, saya menanyakannya kepada ibunda Safira, “Apa lagi namanya
kafenya Fahira, Bu?”
“Apa
itu, ya ... ,” ibu Safira bergumam sendiri. Dia kelihatan sedang mencoba
mengingat-ngingat.
“Dottoro.
Di dekat masjid itu. Dekatnya apotek Farida Farma,” jawabnya.
“Ah
iya, Dottoro. Cocok mi. Kafe Dottoro,”
saya membenarkan jawabannya lalu pamit menuju kafe Dottoro di jalan Rusa.
Menyusuri
jalan Rusa, saya tak menemukan kafe Dottoro. Hingga akhirnya masjid di jalan Rusa
terlewati sudah. Waduh. Tidak mungkin salah. Saya pernah ke kafe milik orang
tua Fahira. Dan letaknya memang dekat masjid. Di mana, ya bangunan itu? Mengapa
saya tak menemukannya?
“Balik
ki’, Daeng. Di sekitar sini ji kafenya,”
saya memerintahkan tukang bentor untuk memutar balik arah. Lalu memutuskan
untuk melakukan hal yangpaling masuk akal saat itu: BERTANYA. Saya bertanya kepada
tukang parkir depan masjid, “Pak, di mana kafe Dottoro?”
Lelaki
itu menggeleng. Entah dia tak tahu atau menurutnya tak ada kafe bernama Dottoro
di jalan Rusa. Rasanya tidak mungkin dia tak tahu kafe dekat masjid. Saya
mengganti pertanyaan karena masih yakin kafe yang saya tuju ada di sekitar situ,
“Pak di mana ada kafe di sini?”
“Dua ji kafe di sini. Di sana (si tukang
parkir menunjuk ke seberang masjid) dan di sana (tukang parkir lalu menunjuk ke
arah di mana posisi kafe Dottoro yang saya perkirakan, yaitu di sisi kiri
masjid),” tukang parkir itu kelihatan mantap sekali menjawab pertanyaan saya.
Baiklah,
pasti yang di sisi kiri masjid rumah Fahira .
“Nah,
yang sebelah sana (saya menunjuk arah sisi kiri masjid). Yang mana itu, di’?” saya mencoba memperjelas lagi.
“Itu
sana, yang papannya warnanya kuning!” lelaki itu menunjuk ke arah sebuah papan
berwarna menyolok terletak. Posisi papan petunjuk nama kafe itu persis di tepi
jalan.
OMG
Di
situ saya merasa konyol dan geli sama diri saya sendiri. Sebab kafe yang saya
maksud itu ternyata namanya BUNDU, bukannya DOTTORO. Dan saya baru sadar kalau
dari dulu namanya memang BUNDU, bukan yang lainnya. 😔
Makassar, 20 Mei 2017
Share :
hahahaa...mungkin Niar lelah. Tapi memang kejadian error-error begini sudah mulai sering menghampiri di. Mungkin faktor U atau gerah karena hari panas di. Salam yaaa buat si kecil yang sudah mulai suka kafe. hehehe.
ReplyDeleteAhahaha Kak Novie deh.
DeleteMakasih ya Kak.
Jauh bgt inget namanya hihihi...
ReplyDeleteHihihihi... Akupun sering kayak gt mba... Lupa nama tempat yg dimaksud.. Yg keinget apa, yg benernya apa :p..
ReplyDeleteDi Makassar saya lihat banyak cafe yang namanya Dottoro, dekat kontrakan saya juga ada di bagian Jipang.
ReplyDelete