Kesibukan di dunia nyata membuat saya terpaksa posting tulisan tentang kegiatan pada tanggal 3 Juli lalu pada hari ini. Semua “utang” tulisan harus saya selesaikan berdasarkan urutan waktu dan prioritasnya. Tapi jangan berpikir kalau saya menghidangkan tulisan basi, ya. Apa yang mau saya sampaikan ini isinya masih amat relevan, koq sampai bertahun-tahun ke depan pun. 😃
Bukan Udang
Kering Tapi EBI
Jadi
begini, Mbak Anna Farida – Cikgu EBI (Ejaan Bahasa Indonesia), nama terbaru
dari EYD (Ejaan yang Disempurnakan) di grup pusat IIDN (Ibu-Ibu Doyan Nulis) sedang
berada di Makassar makanya IIDN Makassar mengajak beliau ketemuan. Sekaligus
halal bi halal – ketemuan pertama usai bulan Ramadhan. Mumpung suasana halal bi
halal masih hangat-hangatnya. Maka bertempat di salah satu ruang meeting di Regus – sebuah coworking space keren di kota ini,
pertemuan itu diadakan di pagi hari.
Saat
membuka pertemuan, saya jujur mengatakan kepada Mbak Anna bahwa saat sedang
berkomunikasi jalur pribadi (japri) di media sosial dengannya, saya merasa agak-agak
tegang. Takut kalau-kalau ejaan yang saya gunakan dalam bahasa tulisan saya
kacau haha. Namanya masih belajar, kan. Namun Mbak Anna mengatakan, kalau dalam
berkomunikasi biasa, ia tak mempersoalkan gaya bertutur lawan bicaranya. Beda
halnya kalau memang sedang dalam keadaan belajar.
Okeh,
tidak berpanjangan lagi. Hasil jumpa-jumpa kami kala itu, saya rangkum di bawah
ini, yaa ...
Ibu-ibu
yang bergabung di IIDN bisa memanfaatkan media sosial (medsos) untuk mengedukasi
orang lain dan diri sendiri tentang EYD. Saat
saya menukas, lebih enak ya menyebut EYD ketimbang EBI – kayak udang kering
saja, Mbak Anna mengatakan, mari kita pakai EYD saja. Bahasa itu kesepakatan.
Kalau enaknya bilang EYD maka mari kita pakai EYD, bukannya EBI.
Cara
Mbak Anna membuat anggota IIDN belajar EYD adalah dengan membuat gimmick khas, misalnya dengan tokoh
fiktif tertentu. Dia juga menciptakan istilah “Bercanda dengan EYD”. Bagi yang
mau belajar EYD, silakan browsing.
Ada e-book yang bisa di-download tentang
EYD dengan judul dari istilah tersebut. Download
pedoman EYD. Menurut Mbak Anna, “Penggunaannya begitu-begitu saja.” Perlu
menggunakannya sehari-hari dan mempergunakannya secara luas. Salah satu tugas
kita adalah mengedukasi masyarakat. Agar orang lebih mudah memahaminya, gunakan
gimmick khas.
“Dulu
stasiun televisi hanya ada satu channel.
Koran hanya dua atau tiga. Media menjadi pendidik kita. Sekarang itu many to many (banyak ke banyak).
Kewenangan ada di warga juga (citizen
journalism), potensi besar mengedukasi masyarakat,” tutur Mbak Anna.
Sekarang,
dengan hadirnya media online, makin mengurangi
kemampuan orang membaca kalimat panjang. Kalau dulu kita terbiasa membaca
kalimat panjang, sekarang tidak. Orang sekarang lebih terbiasa membaca kalimat
pendek. Tantangannya, buku harus dibuat visualisasinya lebih hebat karena
saingan kita adalah games, televisi,
dan video. “Bukan kemerosotan, bukan kemajuan. Itu dinamika,” Mbak Anna
menanggapi fenomena sekarang sebagai sesuatu yang mau tidak mau harus dihadapi.
“Bahasa
itu kesepakatan antar penggunanya. Kalau penggunanya sepakat, itulah yang
terjadi. "MERUBAH" bisa jadi bahasa baku kalau disepakati (menggantikan kata MENGUBAH). Bukan menyangkut mana yang
benar dan yang salah tapi mana yang baku. Makanya kita-kita yang paham mengedukasi
dengan kaidah yang benar,” ujar Mbak Anna. Menyangkut keragaman dalam
berbahasa, menurut Mbak Anna keragaman bahasa itu menyenangkan. Bukan berarti
yang tidak baku salah.
Sebenarnya
banyak dari kita yang paham aturan itu (EYD) tapi karena paparan dari dunia
luar (misalnya adanya emotikon dan lain-lain. Seperti marah diganti emotikon.
Cinta diganti dengan gambar hati) makanya power
dari tanda baca dan aturan lain jadi bergeser (bukan berkurang). Sekali lagi
Mbak Anna menekankan bahwa ini “bukan perubahan tapi pergeseran”.
Lalu,
apakah dengan menggunakan EYD kemudian membuat tulisan tidak enak dibaca atau
tidak gaul? Tidak demikian. Bisa koq kita membuat tulisan tetap enak dibaca
dengan menggunakan EYD. Tulisan yang dibuat bisa tetap renyah, kalau kata Mbak
Anna. Nah, untuk istilah yang tak baku, misalnya yang berasal dari bahasa asing
atau bahasa daerah tulislah dengan huruf miring. Gunakan secara konsisten.
Nah,
hal terakhir tentang EYD yang disampaikan oleh Mbak Anna adalah bahwa EYD membantu
kita memastikan pesan yang disampaikan benar. Misalnya dalam menggunakan tanda
koma. Perubahan letak koma saja dapat mengubah makna. Ada 3 kalimat yang
sepintas terlihat sama namun bisa berbeda maknanya dicontohkan oleh Mbak Anna:
- “Mau beli galon, Pak Tono.”
- “Mau, beli galon Pak Tono?”
- “Mau beli, galon Pak Tono.”
“Belajar
EYD sedikit demi sedikit saja. Belajar
berbahasa tidak bisa sekaligus,” pungkas Mbak Anna.
Di
akhir topik pembicaraan tentang EYD, saya mencatat tips dari Mbak Anna:
- Menulislah dengan memakai sentuhan khas. Itu akan sangat bagus. Mbak Anna misalnya, melakukannya dengan cara bercanda. Mbak Anna menyebut dirinya dan kita semua sebagai “juru siar”. So, mari kita siarkan bersama-sama, ari kita pelihara bareng-bareng (pembelajaran terkait EYD).
- Mbak Anna senang melatih artikulasinya dengan menyebut kata-kata baru. Misalnya selama melakukan perjalanan di Sulawesi Selatan, setiap membaca kata-kata baru terpampang di papan penunjuk jalan/nama tempat maka Mbak Anna mengucapkannya. Dengan demikian bagian dari artikulasinya yang selama ini kurang bergerak bisa terlatih. Ini perlu nih agar lancar berbicara di depan orang.
- Melatih menulis dengan memasukkan satu kata baru setiap menulis.
Panjang juga pembicaraan tentang EYD. Untungnya ruang meeting di Regus nyaman. Pendingin ruangan dan ketenangannya membuat diskusi kami terasa hangat dan nyaman (meski udara sejuk hihi). Dukungan ruangan memang perlu, ya dalam sebuah pertemuan. Ini pertemuan IIDN Makassar yang kesekian kalinya yang disponsori Regus – coworking space yang konsepnya ala-ala “hotel kantor”. Usai pemakaian ruangan, tak perlu pusing dengan sampah, akan diurus oleh pengelola Regus. Bagi yang berkantor di sini, tinggal membayar sewa bulanan saja untuk berbagai fasilitas termasuk AC, listrik, dan sinyal WiFi.
Lounge di Regus Makassar |
Ada Cara
Lain Selain Menerbitkan Buku di Penerbit Mayor
Topik
selanjutnya adalah mengenai penerbit. Penerbit mayor punya slot, tiap tahun. Apakah hendak menerbitkan buku anak, buku parenting,
dan lain-lain. Jumlahnya sudah tertentu. Jika naskah yang Anda kirim ditolak,
bukan berarti tidak bagus. Bisa jadi alasannya adalah karena tema tidak cocok
dengan yang diinginkan penerbit atau slot
sudah terisi. Satu lagi realita di penerbit mayor adalah ngantri naskahnya lama. Patut dimaklumi karena ini berhubungan
dengan pemasaran dan harga cetak jadi harus mencetak dengan jumlah banyak
supaya murah. Pokoknya, pertimbangannya banyak, deh.
Namun,
tahukah Anda kalau menerbitkan buku di penerbit besar:
- Risikonya kalau penerbit bangkrut, buku harus diobral habis (daripada rugi, kan?).
- Ada gengsi khusus.
- Isu lingkungan yang lagi gres. Menghasilkan 2000 buku berarti menebang 2000 batang pohon!
Meskipun
demikian, janganlah membanding-bandingkan penerbit mayor dengan penerbit indie.
“Karena tidak apple to apple.
Keduanya adalah dua hal yang berbeda. Pada penerbit indie, buku yang dicetak adalah
yang benar-benar dibutuhkan,” tutur Mbak Anna mengenai alasan, mengapa tidak
boleh membandingkan kedua jenis penerbitan ini.
Ada
banyak cara untuk berkarya dalam dunia menulis. Salah satunya, di luar
menerbitkan dalam bentuk buku adalah bisa dengan menerbitkan e-book.
Mengawalinya bisa dengan share
sesuatu yang gratis. Terkait memilih penerbit, janganlah kaku dengan mematok “harus
begini” atau “harus begitu”. Alternatif lainnya adalah dengan upload suara, di
Sound Cloud misalnya. Intinya BE OPEN-lah,
jangan saling menjelekkan.
Makassar, 26 Juli 2017
Ehm, berkarya melalui blog juga bisa, lhoo, teman-teman. Hanya perlu kuota internet, hehe.
Manfaat blog banyak sekali, di antaranya pernah saya tulis di:
Ah
ya, terima kasih ya buat teman-teman yang sudah menyempatkan diri hadir di
Regus saat itu. Kalau berminat mencari tahu lagi tentang Regus dan
pertemuan-pertemuan kami, bisa baca tulisan-tulisan berikut:
- 8 Alasan Mengapa Saya Betah di Regus
- 12 Alasan Menyewa Ruang Kantor di Regus
- Semaraknya Community Event di Regus Makassar
- IIDN Makassar: Kopdar dan Shooting di Regus
- Peran Perempuan dalam Berkebangsaan
- 8 Alasan Mengapa Saya Betah di Regus
- Regus: Flexible Workspace, Sebuah Trend Baru
- Menulis Buku Anak: Antara Trend, Ideologi, dan Realita
- Ngobrol Cantik dengan IWITA
Terima kasih banyak buat Regus, sudah memfasilitasi kami. Kopdar (kopi darat) kali ini menyenangkan karena dihadiri oleh kawan-kawan dari Lampung, Jakarta, dan Bandung.Juga dihadiri kawan-kawan IIDN Makassar yang baru pertama kali ikut kopdar.
Untuk informasi lebih lanjut tentang Regus, silakan langsung ke:
- www.regus.co.id
- Telepon: 0411-3662100 (nomor Regus Makassar)
Share :
Bener juga sih mbak, tergantung kesepakatan. Kalau saya biasanya pakai acuan KBBI
ReplyDeleteCucok, GusTur :)
DeleteWaaah, kopdar yang sangat bermanfaat itu, Mbak. Sungguh, penulis, termasuk di dalamnya blogger, mestinya tidak asing dan biasa menggunakan EYD. Dahulu ketika saya di Penerbit Jendela, tahun 2000-an awal, tiap hari diskusi serius soal titik dan koma, hehe... Kecuali kata serapan dari bahasa Arab, sejak awal kami memang sengaja membuat selingkung yang berbeda dengan KBBI :)
ReplyDeleteBenar Mas Azzet, memang sebaiknya teliti walaupun dalam penempatan titik dan koma, ya, supaya orang bisa paham benar apa yang kita maksud. Ngeblog pun bisa tetap gaul dengan EYD :)
Deleteaku juga masih sulit belajar EBI eh enakkan EYD y mba hehehe btw aku fokus ke penerbit mayor baru tau ternyata seperti itu pengen banget deh bisa nelurin karya apalagi kalau tembus penerbit mayor namun pertimbangannya isu lingkungan y mba mmm dilema jadinya deh
ReplyDeleteIya Mbak ... isu lingkungan mengiringi penerbitan konvensional. Pakai e-Book saja, Mbak :)
DeleteSenengnya, kopdar sekaligus sharing ilmua. Btw nama terbaru dari EYD itu EBI ya, ingetnya langsung ke makanan hihi.
ReplyDeleteNah itu dia, bikin ibu-ibu mengasosiasikannya dengan makanan hehehe. Makanya enakan pakai EYD, Mak :D
DeleteTerima kasih sudah mewakili niat saya menulis cerita tentang kopdar bersama bu Anna. Sukses yah dik
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca ya Kak
DeleteAnak bahasa seperti aku teryata baru tahu loh kalau EYD itu digantikan dengan EBI. Hhehehhe. Makasih informasinya ya mba. Klau aku terbiasa nulis dengan EYD eh EBI mba.
ReplyDeleteSaya pun belum lama tahunya, Mbak hehe
Deletepastinya sangat bermanfaat ya mbak secara kita suka menulis
ReplyDeleteSangat bermanfaat, Mbak Tira :)
DeleteSaya sebelum pergantian pengurus rumbel menulis IIP, sempat satu grup sama Cikgu Anna. Beuh, seru ya beliau. Apalagi kalau bikin kuis atau lomba nulis, misal status FB atau langsung setoran di FB grup. Banyak belajar dan praktek jadinya^^
ReplyDeleteJustru biasanya keliatan dari chatting santai apakah seseorang paham EYD. Kalimat disingkat-singkat sampe kita jadi bingung mengartikan huruf, belum penggunaan tanda bacanya. Mau nanya pake tanda tanya sampe tiga kali. Begitu juga dengan tanda seru dipake berderet sampe empat padahal nda lagi marah ji.
ReplyDelete