Daeng Te’ne, pedagang keliling berusia tujuh puluhan tahun ini sering terdengar suaranya berkeliling di sekitar rumah kami. “Bawang merah, bawang putih, kacang hijau,”
adalah salah satu ucapan yang disebutkannya dengan nada khas setiap
berkeliling. Kekhasannya yang lain adalah, dia selalu menyunggi (menjunjung di atas kepala) bakul dagangannya. Sungguh pemandangan yang selalu saja membuat saya terpesona.
Namun
tak setiap hari saya mendengar suaranya. Kalau sudah berjualan di Rappocini,
dari ujungnya di Jalan Veteran (sebelah barat) hingga ke ujung satunya di Jalan
Buakana (di sebelah timur) pada hari ini misalnya maka keesokan harinya Nenek Te’ne mengganti rutenya. Rute berikutnya bisa di sekitar Jalan Pelita (belakang
PU) atau di Jalan Kelapa Tiga, atau di wilayah-wilayah lain lagi.
Jalan
Rappocini Raya membentang sekira 1 kilo meter panjangnya. Namun jarak yang
ditempuh oleh pedagang keliling ini, saya kira jauh lebih panjang daripada 1 kilo meter
karena dirinya menyusuri lorong-lorong yang saling sambung-menyambung di
kawasan Rappocini Raya.
“Di
mana ki’ tinggal?” tanya saya.
“Di
jalan Andi Tonro Empat, dekat mesjid besar, Nak. Dekat Indomaret,” jawab Nenek
Te’ne.
“Jalan
kaki ki’ ke Rappocini?” tanya saya lagi.
“Tidak,
Nak. Naik pete-pete[1]
ka’ sampai di ujung,” tangan Nenek Te’ne
menunjuk ke arah barat, maksudnya dia turun di persimpangan jalan Rappocini – Veteran.
Stamina Nenek Te’ne sungguh luar biasa. Saya yang jauh lebih muda merasa pasti tak sanggup setiap hari menyunggi barang dagangan di atas kepala. Jadi malu berdekatan dengannya. Perempuan yang mengaku beranak banyak ini masih mengingat kejadian saat Jepang masuk ke Makassar.
Mengenai
usianya, saat saya tanyakan apakah dia masih ingat tahun kelahirannya, Nenek Te’ne
mengatakan dia lahir tahun 1945. “Saya masih ingat waktu ada Jepang, Nak. Kalau
datang ki, kita sembunyi di dalam tanah,” kenangnya. Maksud Daeng Te’ne, dia
berlindung di dalam bunker. Kalau
masih mengingat keberadaan tentara Jepang, seharusnya ia lahir sebelum tahun
1945, ya. Pada tahun 1945 Jepang kan sudah angkat kaki dari negara kita. Jadi
seharusnya dia lahir kira-kira 4 - 5 tahun sebelumnya (tahun 1940), dong, ya.
Bakul
yang dibawanya dimodali oleh seseorang. Kata Nenek Te’ne, “Kalau ada
lebih-lebihnya, dapat ma’ juga
bagian.” Maksudnya, dia mendapatkan bagi hasil dari keuntungan dagangannya. Di
dalam bakul itu ada aneka kacang-kacangan: kacang merah, kacang hijau, kacang
putih, dan kacang hitam. Ada jagung pulut untuk bahan baku bassang (makanan
khas Makassar yang dimasak hingga menjadi bubur jagung). Juga ada bawang putih,
bawang merah, kunyit halus, dan kerupuk. Semuanya dikemas dalam plastik bening berukuran kecil dan dibandrol dengan harga lima ribu
rupiah.
“Anakku
banyak, Nak tapi ndak ada uangku,”
pengakuan Daeng Te’ne. Karena itulah dia masih mencari uang dengan menyunggi bakul, keliling kota.
“Terima
kasih, Daeng,” rasa kagum terus melekat di hati saya.
“Sama-sama,
Nak,” jawabnya seraya mengangkat kembali bakul di atas kepalanya. Nenek pedagang keliling ini kembali
berjalan kaki menjauhi rumah kami, bergerak ke arah barat. Berkeliling lagi
sebelum menuju Jalan Veteran untuk naik angkot yang akan membawanya pulang ke Jalan
Andi Tonro. Semoga Allah senantiasa menganugerahimu kesehatan dan kelapangan rezeki, ya Daeng Te'ne.
Makassar, 11 Juli 2017
[1]
Pete-pete adalah sebutan untuk angkutan umum (angkot) di kota Makassar.
Share :
Perempuan yang sangat mengagumkan.
ReplyDeleteBenar, luar biasa
DeleteTua amat nih nenenk, lahir di 45-an. Tapi mengenai usaha, jempol banget.
ReplyDeletePrediksi saya malah sebelum tahun 1945. Usahanya luar biasa, yah
DeleteTerharu banget
ReplyDeleteIya, mengharukan.
Deletewah benar-benar menginspirasi gan... sebisa mungkin kita bantu dengan beli dagangannya atau membantu mempromosikannya di socmed biar laku dan senang beliau..
ReplyDeleteSalam inspirasi,
Sesuapnasi
Ayo, membantu mereka dengan menyebarkan tentang mereka. Bukan karena kasihan tetapi karena mengapresiasinya (seperti kata-kata Anda, hehe).
Deletekasiannya kodong ini nenek banyak anak tapi masih harus keliling cari duit. Kalo diliat dari usianya kayaknya anak-anaknya sudah separuh baya mi juga berkisar sekitar 40 th lebihlah usia mereka. Harusnya sudah ada mi yang bantu2 mamaknya supaya hari tuanya kodong diisi dengan beribadah saja. kan sudah capek urus banyak anak. Semoga Allah memberi kekuatan dan memuliakan nene ini. Aamiin YRA. Nice share Niar.
ReplyDeleteAda juga nenek-nenek yang meang tidak mau tinggal diam, Kak. Walaupun dilarang, tetap bekerja karena sudah biasa. Aamiin semoga Nenek Te'ne diberi kekuatan oleh Allah ya, Kak. Terima kasih.
DeleteSeingat saya di pare2 tahun 70an hingga awal 80an, penjual seperti nene' Te'ne banyak. terutama jajanan buat anak2. penjual pecel, sokko lame, gogos, dll, adalah jajanan yang biasa mereka jajakan disebut pa'jujung. keberadaan mereka mulai hilang sejak muncul pedagang gerobak..dan masuknya pete2 sehingga akses mereka ke pasar pagi Lakessi bisa lebih mudah...
ReplyDeleteSekarang sudah tidak ada lagi, ya?
Deletemengesankan :)
ReplyDeletePerempuan hebat
ReplyDeleteAh, aku suka sedih dan ga tega kalo ketemu penjual tua seperti ini :( .. Harusnya kan dia udh ga hrs kerja lg ya mba.. Setua itu tp msh kuat mikul yg berat dan jauh pula... :(
ReplyDeleteHalo mba Niar, lama nggak mampir. Masih rajin nulis dengan kisah-kisah inspiratif. Salut..
ReplyDeleteYa Allah.... suka gak tega kalau lihat kakek2 atau nenek2 seperti ini jualan gitu. Ya Allah,. berilah kesehatan pada nenek Te'Ne
ReplyDeleteTe'ne ini nama mamaku. Pa'daenganna.
ReplyDeleteMudah2an bisaka ketemu juga dg Dg Te'ne.
ReplyDeleteSemangat hidupnya luar biasa, patut dijadikan contoh mbak, semoga banyak pemuda/i yang membaca perjuangan beliau
ReplyDelete