"Maafkan
ya, Dek," Athifah meminta maaf kepada anak yang habis dikerjai Afyad.Bocah
lelaki itu mengangguk pelan.
Bukan
karena sengaja, Afyad menerbangkan semen kepada anak tersebut. Afyad
melakukannya juga kepada kakak dan sepupunya. Saat Athifah melarangnya, Afyad
tak menghiraukannya.
Afyad
melakukannya karena tidak mengerti. Dikiranya semen bubuk itu serupa pasir
putih yang dimainkannya di Taman Pakui Sayang.
"Apa, minta maaf! Kau sudah lempari anakku semen!" sergah ibu si anak galak.
"Bukan
saya, Bu. Adikku yang melemparinya."
"Bohong!"
Tegopoh-gopoh
saya keluar rumah setelah dengan bergegas Athifah memanggil saya. Saya baru
habis menegur keras Afyad, memarahinya tepatnya. Sekali lagi saya meminta maaf
atas ulah si bungsu.
Saya
menjelaskan kalau putra bungsu saya seorang speech
delay. Di usianya sekarang, ada sebagian dirinya yang masih seperti
anak-anak yang berusia tiga – empat tahun lebih muda daripada dirinya. Tapi dibandingkan
balita, Afyad sudah lebih mudah dipahamkan tentang mana benar dan mana salah
ketika dijelaskan makanya saya memarahinya karena saya memang sudah beberapa
kali melarangnya melempar-lempar apapun kepada orang lain, bahkan kepada
kakak-kakak kandungnya sendiri. Saya tak suka anak-anak bermain yang merugikan
anak lain. Melempar-lempar sesuatu mungkin menyenangkan bagi anak yang
melakukannya. Tapi tak menyenangkannya bagi anak yang kena lempar, kan?
Baru
saja saya katakan kepada Afyad, “Bagaimana kalau mamanya anak itu datang dan
marah-marah di sini? Bagaimana kalau mata anak itu jadi buta?”
Beruntung
si ibu terdiam dan pergi setelah mendengar penjelasan saya. Dia sempat
mengatakan ketakutannya bila serbuk semen menyebabkan hal yang tidak baik bagi
pendengaran putranya. Saya maklum makanya saya berulang kali menyebut kata “maaf”.
Saya maklum kalaupun ibu itu memarah-marahi saya.
Saat
masuk rumah, Athifah menceritakan kronologi kemurkaan si ibu. Seiris perih
tergores di hati ketika nona mungilku menceritakan detailnya. Permintaan maaf
anakku dibabat oleh ibu itu! Terbuat apa hatinya sampai tega membentak seorang
anak kecil yang meminta maaf atas kesalahan yang tak dilakukannya?
"Terima
kasih, Nak. Sudah memintakan maaf adikmu," saya memeluk nona mungil
kesayangan. Rasa perih berangsur berkurang ketika merasakan hangat dirinya
dalam pelukan saya. Seperti kehangatan yang menjalar di hati saya. Masya Allah laa quwwata illaa billaah. Alhamdulillah.
Tak
apa ada sedikit perih. Tak apalah kalau ibu itu tak memaknai permintaan maaf
dari seorang anak perempuan bertubuh kurus. Yang penting kedua anakku telah
belajar sesuatu. Begitu pun saya. Hari ini saya belajar untuk lebih ringan lagi
berucap kata "maaf".
#Merdekalah
dari kedangkalan wawasan.
Sebab
hidup bukan soal benar-salah semata.
Sebab
hidup bukanlah soal hitam-putih semata.
Makassar, 18 Agustus 2017
Share :
0 Response to "Kata Maaf yang Dibabat"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^