Saat
masih ada urusan di sekolah si bungsu sehingga harus menungguinya di ruang
perpustakaan, seorang bapak berusia kira-kira enam puluhan tahun memberi salam
dan masuk ke dalam ruang perpustakaan.
Bapak
yang membawa banyak poster edukatif beragam jenis ini mendekati kami: saya yang
sedang membaca, dua orang ibu guru, dan suami saya yang sedang membantu
memperbaiki salah satu laptop di ruang perpustakaan.
Bapak
itu langsung membuka poster-poster yang dibawanya sembari menawarkannya kepada
kami. “Sepuluh ribu, beli tiga, Bu. Saya sudah tiga puluh dua tahun jualan
gambar, Bu. Ini mi pekerjaanku. Yang
penting halal,” ungkapnya.
“Bagus
itu, Bu. Dokter-dokter dan mahasiswa kedokteran biasa beli itu. Biasa ditempel
di dinding,” ujarnya ketika perhatian saya beralih pada gambar anatomi tubuh
manusia. Saya lagi berpikir-pikir untuk membelikannya untuk si sulung Affiq dan
si tengah Athifah.
Poster,
selalu menarik perhatian saya. Anak-anak juga senang melihat gambar-gambar.
Saya akhirnya memilih poster do’a dan belajar membaca untuk si bungsu Afyad dan
poster rumus Matematika untuk Athifah.
Tiga poster yang saya beli |
“Tinggal
di mana ki’, Pak?” feeling saya “menyuruh” saya untuk
bercakap-cakap dengan bapak itu.
“Di
Tallo, Bu,” lelaki tua itu menyebut wilayah di sebelah utara kota. Saya tahu
lokasi itu letaknya cukup jauh dari sekolah anak saya.
“Wah,
jauh itu, Pak,” tukas saya.
“Tidak
ji, Bu. Tidak jauh,” bantah si bapak.
Lalu dia menceritakan kegiatannya berjualan poster yang bisa menjangkau jarak
yang lebih jauh lagi, yaitu ke beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan! Dia biasa
berjualan hingga di Gowa, Maros, Pangkep, bahkan sampai ke Bone!
Pantas saja, dia mengatakan jarak tempat tinggalnya dari sekolah Afyad dekat, hehe. Sementara bagi orang yang jarang bepergian jauh macam saya ini, jarak segitu sudah jauh.
“Dekat
ji ke sini, Bu. Kan naik motor ka’,” lanjut si bapak lagi.
Samar-samar,
ingatan saya menjangkau ke masa 2 – 3 tahun lalu. Saya pernah membeli poster
edukatif di sekolah Athifah yang terletak lebih di tengah kota Makassar.
Sepertinya bapak ini yang juga berjualan
di sana.
Hanya gambar ini yang saya dapatkan. Yang paling kiri adalah bapak penjual poster itu. |
“Tiap
hari ki’ menjual, Pak? Atau hari-hari
sekolah ji? Hari Minggu libur ki’ barangkali di’?” rasa penasaran membuat saya bertanya lebih banyak lagi kepada
bapak yang dari raut wajahnya terlihat sabar ini. Mumpung kedua ibu guru di
ruang perpustakaan masih memilih-milih poster yang akan mereka beli.
Si
bapak mengambil kursi kosong lalu duduk di sebelah kiri saya, “Biar hari Minggu
saya jualan juga, Bu. Kan saya bisa ke Pasar Terong, Pasar Pa’baeng-baeng, atau
ke pasar-pasar lain.”
Wow,
gigih sekali bapak ini. Bahkan dia tak memilih beristirahat di hari Minggu!
“Berapa
anak ta’, Pak?” tanya saya lagi.
“Empat
anakku, Bu. Yang besar jadi guru SMA di Sorowako. Suaminya kerja di PT. Vale.
Anakku yang bungsu masih kelas 3 di SMK. Sebenarnya anak-anakku larang ka’ berjualan, kerja mi tiga orang tapi saya tidak mau
berhenti,” tuturnya.
Kekaguman
saya yang dari tadi sudah tersemai, tumbuh makin subur. Masya Allah, luar biasa bapak ini. Tiga anaknya sudah
berpenghasilan. Seharusnya dia bisa lebih santai tinggal di rumah tapi dia tak
melakukannya.
Lelaki
tua itu juga bercerita tentang pentingnya mengajarkan anak melakukan shalat. “Tidak ada gunanya banyak anak ta’ kalau tidak shalat ki,” ujarnya. Saya mengangguk-angguk, membenarkan
perkataannya.
Lalu
si bapak bercerita tentang perjumpaan anak sulungnya dengan suaminya yang tanpa
melalui proses pacaran. Konon sang menantu mencari kriteria yang ada pada
putrinya. Ia juga bercerita tentang usaha tak putusnya berdo’a kepada Allah
guna memohon rezeki, “Saya kalau berdo’a minta rezeki, bukan di shalat wajib, Bu. Kalau shalat sunnah pa ka’, di situ mi saya berdo’a supaya Allah kasih ka’ rezeki.”
Rasa
kagum yang semakin besar bertambah dengan rasa haru. Hampir saja mata saya
menitikkan airnya di hadapan si bapak. Seketika merasa malu hati ini berhadapan
dengan kebesaran jiwanya yang tak pernah putus mengharap rahmat Allah. Saya merasa
kerdil karena masih banyak memiliki kekurangan dalam berupaya.
“Tiga
puluh dua tahun begini ji pekerjaanku,
Bu,” dia mengucapkan lagi kata-kata yang membuat saya semakin bertambah kagum.
“Mau maki’ pulang ini, Pak?” tukas saya saat
melihatnya berkemas.
“Tidak.
Mau ka’ ke SD lain lagi,” sungguh,
rasa kagum yang luar biasa makin merajai hati saya. Benar adanya, Allah-lah
penjamin kehidupan. Bukan jenis pekerjaan yang digeluti seseorang.
Video tentang Nenek Te'ne ini saya upload memanfaatkan free YouTube
Ah,
menyesal. Menyesal sekali saya lupa menanyakan nama bapak itu. Menyesal sekali
saya tak meminta untuk memotretnya atau merekamnya seperti ketika saya meminta
Nenek Te’ne – pedagang keliling dan Pak Bahar – kurir usaha rumahan aneka
olahan ikan bandeng untuk saya wawancarai ala-ala YouTuber amatir lantas
mengunggahnya ke akun YouTube saya (bisa baca kisah Nenek Te’ne di tulisan
berjudul Nenek
Te’ne: Pedagang yang Menyunggi Bakulnya).
Menyesal
sekali saya padahal koneksi internet yang saya gunakan mantap sekali. Padahal dengan
paket Xtra Combo dari XL yang baru saya isi, saya mendapat gratis 2GB YouTube
24 Jam dan gratis tanpa kuota pada jam 01.00-06.00 WIB. Dengan demikian saya
bisa langsung menyebarkan tentang semangat si bapak di akun-akun media sosial
saya. Besok-besok saya harus lebih tanggap lagi. Semoga masih bisa bertemu bapak pejuang kehidupan ini di lain kesempatan.
Makassar, 2 Agustus 2017
Ketika melihat tiga poster yang baru
saya beli di rumah, si sulung mengatakan bahwa pernah ada seorang bapak menjual
aneka poster di SMA-nya. Saya hampir yakin, penjual poster itu bapak yang sama
dengan yang saya temui di sekolah Afyad dan Athifah. Baarakallahu fiik, Pak. Semoga
rezeki Bapak lancar dan berlimpah (bantu aminkan, ya pembaca).
Share :
Semoga rejeki tetap mengalir buat si Bapak penjual poster. Inspiratif mbak
ReplyDeleteAamiin Pak Casmudi. Semoga.
DeleteTerima kasih.
Saya juga suka sedih lihat orang-orang yang sudah sepuh bekerja keras begitu. Dan kebanyakan di antara mereka melakukan hal itu krn tdk punya anak atau malah tidak mau merepotin anak.
ReplyDeleteIya, yang tidak mau merepotkan anak, sudah terbiasa bekerja keras, ya Mbak. Meski dilarang oleh anak-anaknya, tidak mau berhenti.
DeleteYg bikin nyesel ga nanya nama bapak itu ya? Saya newbie bgt di dunia menulis, kalau boleh tau tipe tulisan mbak ini apa ya?
ReplyDeleteHehe iya, menyesal, deh.
DeleteTipe tulisan? Saya mencoba "story telling" ala saya, sih.
Itulah bapak-bapak yang penuh semangat. Udah cukup lama juga ya, 23 tahun. Tapi emang sih, poster seperti itu memang pas buat temen belajar anak, ditempelin di dinding kamar, ntar sang anak cepet apal juga sih. Hehehehe
ReplyDelete32 tahun, Gus Tur :)
DeleteIya, posternya akan selalu dibutuhkan
Tetap semangat ya pak :)
ReplyDeleteAamiin
DeleteKadang kalau melihat sosok yang seperti itu, seperti menegur diri sendiri kalau ada orang yang masih percaya bahwa rejeki dari Allah yang maha menghidupi sedangkan kita terlalu menjadi budak waktu yang sering melalaikan perintah-Nya.
ReplyDeleteTerima kasih sharingnya mba
Iya, ya. Rezeki dari Allah, bukan tergantung pada jenis pekerjaannya. Bapak ini makin membuka mata hati kita.
DeleteMata saya berkaca-kaca kak (padahal lagi di pete2). Seakan perjuangan bapak ini menegur saya yang dikit-dikit mengeluh saat sudah sedikit capek. Makasih sharenya kak sangat inspiratif
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca, ya Ida
DeleteSemoga si bapak selalu sehat dan rezekinya lancar
ReplyDeleteAamiin yaa Rabb.
DeleteDeh...salutku sm ini bapak. Tp seharusnya di usia yg sdh senja seperti itu lebih byk istirahatmi dan srparuh waktux untuk bercanda dgn cucu sambil mengajarkn hal2 yg baik
ReplyDeleteKayaknya bapak ini tipe orang yang tidak bisa diam, Abby,
DeleteSemoga rejeki si Bapak dilimpahkan, dan semoga ada kesempatanta ketemu dan tanya namanya :)
ReplyDeleteAamiin. Semoga.
DeleteHaha iya, kalau ketemu lagi harus tanya nama beliau.
aaamiiin.
ReplyDeleteorang dulu itu memang etos kerjanya lebih unggul dari kita ya. dan karena kerja keras mereka itulah kita bisa jadi seperti sekarang.
Iya, ya Mak Diah. Etos kerja mereka luar biasa.
Deleteaku juga selalu kagum dengan orang2 spt bapak itu, bahkan tukang koran langgananku itu sdh tua banget kerja naik sepeda , rumahnay dl luar kota cirebon
ReplyDeleteMasya Allah. Orang-orang tua yang luar biasa, ya Mbak. Kita harus belajar dari mereka.
DeleteMasyaallah.
ReplyDeleteBarakallah buat Kakak dan Bapak penjual ini juga.
Semoga berkah dagangannya dan berkah juga poster yang Kakak beli :)
Masya Allah. Baarakallahu fiikum, Mbak Alma. Aamiin aamiin aamiin.
DeleteSemoga si Bapak itu diberikan kesehatan dan rejeki yang lancar. Terimakasih sudah berbagi kisah inspiratif ini, Mbak:)
ReplyDeleteAamiin. Semoga rezeki beliau lancar dan saya bisa ketemu lagi.
Deletesemoga rezeki para pencari nafkah halal seperti si bapak dimudahkan Allah swt.. amin
ReplyDeleteAamiin ya Rabb.
DeleteBaca ini jadi ingat Bapakku, Kak. Begitu mi, meksi sudah 60th lebih, masih suka sekali kerja. Bahkan kalau berkunjung ke rumah anak2nya, ndak pernah betah diam. Ada saja dikerja. MasyaAllah. Semoga bapak ini dan bapakku diberikan panjang umur dan hidup yang berkah. Amin.
ReplyDeleteSemoga rezeki bapaknya terus mengalir, terharu bacanya aku huhu
ReplyDeletewww.extraodiary.com
Kalo mau berbagi ya berbagilah dengan orang-orang yang berjuang seperti bapak ini. berjualan kesana-kemari untuk menyekolahkan anak-anaknya, setelah mereka berhasilpun si bapak masih tetap melanjutkan kerjanya tidak ingin menjadi beban anak-anaknya padahal sudah seharusnya anak-anak mengurus orang tua ketika sudah punya penghasilan. Bapak ini tidak mencari uang dengan mengemis. Semoga Allah menjaga dan melapangkan rejeki bapak ini.
ReplyDeleteSemoga sehat selalu dan lancar rezekinya, aamiin...
ReplyDeleteTerharu bacanya kak 😢
ReplyDeleteSemoga Allah mengangkat derajat bapak itu. Aamiiin 🙏