Acara
kopdar (kopi darat) para anggota Komunitas Blogger Anging Mammiri yang berlangsung pada tanggal 5 Agustus ini
mengambil tema Serba-Serbi Disabilitas. Namun setelah menyimak penjelasan dari
salah satu nara sumber dan setelah sebelumnya sempat berpikir mengenai mana
yang lebih manusiawi dipakai “DISABILITAS” (yang berasal dari kata DISABLE –
yang berarti tidak dapat) atau “DIFABEL” (yang berasal dari kata DIFFERENT
ABILITY – yang berarti berkemampuan berbeda) maka saya menggunakan kata DIFABEL
pada tulisan ini.
Well, mengapa tema ini penting? Jawabannya
adalah karena di dunia nyata kita hidup dengan beragam orang. Di sekeliling
kita ada orang-orang yang memiliki kemampuan berbeda dibandingkan dengan orang
kebanyakan, misalnya mereka yang matanya tidak dapat melihat atau kakinya tidak
dapat berjalan.
Oleh
karena itu, kita harus mengupayakan bagaimana supaya tidak canggung lagi dengan
keadaan difabel dan bagaimana menulis supaya mereka tidak tersinggung (hal ini
dijelaskan Daeng Ipul – moderator acara ini di awal acara).
Daeng Ipul, Syarif, Rahman, dan Ishak |
Selanjutnya,
saya kira teman-teman yang hadir sepakat dengan saya, bahwa talkshow kali ini membuka wawasan kami
lebih lebar lagi. Dan bahwa hampir semua yang disampaikan oleh ketiga nara
sumber: Abdul Rahman (Direktur
PERDIK), Ishak (pendamping difabel), dan Syarif (low vision) merupakan hal-hal yang baru kami
ketahui dan patut dibagi kepada khalayak agar lebih baik caranya mengambil
sikap kepada para difabel.
Tentang Pengaruh (Tak Baik) Masyarakat
Rahman
menceritakan tentang PERDIK. PERDIK adalah singkatan dari Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan. Gerakan ini dimulai
sejak 2015. Dalam usianya yang dua tahun ini, Perdik lebih fokus kepada kajian
literasi sebagai pusat informasi kepada masyarakat. Perdik bertindak sebagai lembaga
pengontrol juga.
Ishak
memaparkan tentang hal-hal yang membuat saya terperangah. Dia mengatakan, “Kecacatan
itu konstruksi sosial. Orang dsebut cacat karena cara pandang masyarakat yang
mengkategorisasi mereka cacat. Harus ada cara pandang lain. Justru yang
berkontribusi besar terhadap ketidakmampuan seseorang adalah lingkungannya.
Baik di sekolah, rumah, kantor, bus, dan sebagainya.”
Program rehabilitas membuat kategorisasinya sendiri. Seperti: orang yang buta (hanya)
jadi pemijat, cacat pada kaki jadi tukang jahit, tuna rungu jadi tukang parkir.
Mereka dikondisikan hanya bisa bekerja di level bawah.
Segala
yang di luar para difabel yang menyebabkan mereka mampu. Well, itu sebuah cara pandang dan itu tidak salah. Kita memang sebaiknya
memahami hal ini sebab dalam keseharian kita ada beragam manusia yang kita
temui, kan?
Oya,
istilah “tuna” itu sebenarnya sama dengan cacat. Para difabel – kata Ishak –
lebih senang disebut TULI saja atau BUTA saja, tanpa menyebut tuna rungu atau
tuna netra. Cek kamus deh, tuna itu
artinya “tidak memiliki, luka atau rusak, kurang”. Tetap tidak enak, kan?
Jadi penggunaan
istilah “difabel” (berbeda kemampuan) yang dicetuskan sejak tahun 1996 adalah
istilah yang paling mewakili mereka. Namun ketika disosialisasikan kepada ahli
hukum dikatakan “apa itu?” Fiyuh padahal mestinya
sekarang pendekatannya sudah berubah.
Syarif
(penyandang low vision) menceritakan
pengalaman hidupnya. Di saat umurnya 3 bulan Syarif terserang katarak mata. Namun
orang tuanya hanya membawanya berobat ke dukun. Dia pernah menjalani operasi salah
satu matanya pada tahun 2004. Masih ada satu mata lagi tetapi dia tidak merasa perlu
karena dia merasa perubahan pada mata yang sebelumnya dioperasi tidak
signifikan.
Menjelang
tamat sekolah dasar orang tuanya hanya memikirkan untuk mengikutkannya kursus
pijat karena stigma bahwa tuna netra hanya akan jadi tukang pijat. Syarif bertengkar
dengan orang tua karena dia masih mau bersekolah. Syarif berkeras ke sekolah
umum. Dia menjalani masa SMA-nya di SMAN
6 yang awalnya menjalankan program inklusi. Tapi karena kepala sekolahnya
berganti, dia sempat ditolak. Setelah melakukan advokasi, Syarif pun diterima
bersekolah di SMAN 6. Hari pertama bersekolah Syarif terjatuh ke got. Namun itu
tak menyurutkan semangatnya.
Bagaimana
menjalani masa persekolahan? Di kelas 2 dan kelas 3, Syarif mengetikkan penjelasan
gurunya. Kalau ada tugas langsung dia ketik dan meminta guru membacanya. Bahkan
pernah juga Syarif SMSan dengan gurunya.
Di
UNM, Syarif mendaftar di Jurusan PKN (Pendidikan Kewarganegaraan). Saat itu ada
12 orang dipersulit selain Syarif. Ada yang hanya karena jempolnya tidak ada
satu. Untungnya kemudian sesudah diadvokasi dia dibolehkan kuliah di jurusan
itu. Menurutnya lebih sulit masa-masa yang ia lalui di bangku SMA ketimbang di
bangku kuliah. Di bangku kuliah ia hanya mengalami kesulitan mengakses
buku-buku yang tidak visible. Caranya
mengatasi, dia scan buku-bukunya, save di komputer, dan mempelajarinya
dengan screen reader.
Rahman
punya cerita yang sedikit berbeda. Keluarganya dulu pernah mengatakan pada
orang tuanya, “Anakmu nanti jadi tukang pijat.” Namun oleh bapaknya, orang itu
ditanggapi dengan kalimat, “Ko pergi atau saya buru ko pakai parang!”
Tentang Cara Pandang
Rahman
mengingatkan, “Kita semua bisa menjadi difabel, orang normal bisa kecelakaan lalu
kehilangan pengihatan.” Makanya kita harus mengubah pola pikir. Masih banyak
diskriminasi yang diterima. Misalnya saat hendak naik pesawat terbang, para
difabel harus menanda tangani form
panjang yang isinya mengatakan bahwa mereka naik pesawat dalam keadaan “sakit”
sehingga kalau ada hal buruk yang tidak diharapkan terjadi, mereka ataupun
keluarganya tidak berhak menuntut ganti rugi.
Jadi
difabel akan selalu dianggap sakit. Padahal mereka sehat, sama dengan penumpang
lainnya hanya saja kemampuan mereka berbeda. Kalau dalam membaca pesan WA
misalnya, orang lain menggunakan matanya, orang buta menggunakan fasilitas
suara pada gadget-nya. Hanya berbeda
kemampuan, tidak berarti cacat atau sakit selamanya.
Daeng
Ipul mengalihkan percakapan kepada Pak Andhar, Guru Pendamping Khusus (GPK)
dari SD Inpres Maccini Baru yang sudah lama menjalankan program inklusi. Hal
yang menarik karena di sekolah ini, anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) bisa
bersekolah layaknya anak-anak lain. Ada 19 orang ABK di sekolah ini dan proses
pembelajarannya digabung dengan yang lainnya. GPK mendampingi ABK, pelajarannya
menggunakan kurikulum KTSP dengan modifikasi kurikulum. Jadi, ABK tidak
dipaksakan harus sama dengan yang lain. Jalau berhitungnya hanya bisa sampai
50, tidak dipaksa untuk bisa sampai 100, misalnya.
Mengenai
sekolah inklusi, Rahman menambahkan bahwa pada SK tahun 2009. Ada 123 sekolah dasar
inklusi di Sulawesi Selatan. Jumlahnya lebih banyak dibandingkan sekolah
tingkatan lebih lanjut. Secara keseluruhan, jumlah sekolah inklusi se-Sulawesi Selatan ada 586.
Terima kasih Sophie Paris dan Teh Sosro |
Namun ini kembali lagi pada
masing-masing sekolah, apakah sungguh-sungguh menjalankannya atau tidak. Sebab ada
yang menyatakan menjalankannya, ini saya lihat sendiri – tapi pada kenyataannya
tidak. Dana BOS untuk inklusi terpakai tapi tidak ada satu pun ABK yang
mendapatkan manfaatnya malahan salah satu ABK terpaksa berhenti sekolah. Miris,
ya.
Ishak
memaparkan bahwa dalam memahami difabel ada berbagai model. Yaitu cara pandang
amal (karena kasihan), right based
atau basis HAM, ada cara pandang medik, menganggap difabel itu sakit, dan social model. Memang ada sisi medik
dalam disabilitas. Tapi bagi para difabel, aspek medik bukan satu-satunya cara
pandang.
Cara
pandang medis ini sedikit aneh. Misalnya yang kakinya diamputasi seharusnya dianggap
sudah sembuh setelah kakinya diaputasi. Tapi dalam cara pandang medis, orang
yang diamputasi dianggap sakit terus sehingga harus tanda tangani surat sakit
untuk naik pesawat.
Sekali
lagi, Ishak mengatakan bahwa masyarakatlah yang men-disable-kan. Ini perkara perspektif. Kondisi sosiallah yang “mempengaruhi”
para difabel dikatakan tidak mampu di sekolah, kantor, atau angkutan umum.
Tengoklah bagaimana cara sinetron menggambarkan seorang buta yang kalau
berjalan di dalam rumahnya saja harus selalu meraba-raba. Padahal pada
kenyataannya tidak demikian. Mereka yang buta bisa berjalan santai di rumahnya.
Bisa tersandung kalau ada yang lupa mengembalikan posisi barang di tempatnya
semula.
“Ada
Etika Disabilitas,” tukas Ishak. Bagaimana berperilaku terhadap difabel ada
aturannya. Misalnya ketika berjalan dengan orang buta, beri tahu dia apa yang
ada di depannya supaya dia bisa siap-siap. Jangan diam saja. Bagi yang berkursi
roda, tanpa dibantu mendorong kursi rodanya pun tak mengapa, bersihkan saja
jalur kursi roda di hadapannya. Jangan sampai ada aral melintang di sana. Kepada
mereka yang tidak bisa mendengar, harus visual, jangan terlalu keras bersuara,
jangan pula terlalu pelan.
Ishak
juga menuturkan bahwa beribadah itu hak semua orang, begitu pun para difabel maka
seharusnya rumah ibadah memiliki akses untuk kaum difabel. Misalnya apakah ada
Qur’an Braille di dalam masjid dan akses masuk ke dalam masjid mudah bagi mereka,
tidak harus melalui got misalnya.
Tak
terasa waktu maghrib sudah masuk. Kenyamanan ruangan di lantai dua kantor
cabang Sophie Paris ini terasa nyaman. Menyimak diskusi sambil menikmati Teh
Sosro membuat saya hampir lupa waktu. Perbincangan pun harus segera diakhiri
meskipun ada banyak hal yang masih ingin diketahui. Para nara sumber menitip
pesan, jika ingin mendapatkan tambahan wawasan tentang difabel, silakan
mengakses http://ekspedisidifabel.wordpress.com.
Well, semoga pertemuan hari itu
bermanfaat bagi semua – minimal membantu mengurangi kecanggungan – sebagaimana bagi
saya, ada manfaatnya.
Makassar, 11 Agustus 2017
Share :
Bener juga sih mbak, kadang mereka nggak canggung malah kita yang canggung karena takut salah bicara atau tindakan yg dikira menyinggung mereka. Maaksih mbak infonya
ReplyDeleteIya benar itu. Padahal hanya karena itu, malah kadang-kadang bisa bikin tersinggung
DeletePenggunaan kata cacat rasanya sangat diskriminatif ya bu
ReplyDeleteIya
DeleteSaya sendiri jika ada kata Tuna, gimana rasanya. Artinya ya itu memang cacat atau rusak.
ReplyDeleteDan saya juga lebih suka dengan sebutan difabel. Suatu sebutan tanpa tanpa merendahkan kemampuannya.
Yup, seperti itu, Mas Djangkaru.
DeleteSetiap orang punya setidaknya satu hal yang lebih unggul dibandingkan orang lain, begitu pun difabel. Tinggal bagaimana mengasahnya dan tidak saling mengganggu satu sama lain :)
ReplyDeleteYang paling gemas itu masih banyak yang suka pakai kata autis sebagai bahan candaan :( Padahal kadang yg ngomong itu orang berpendidikan ji. Ckckckck..
ReplyDelete