Saya tidak
selalu berani ke mana-mana sendiri. Alasan saya adalah karena menjaga
keselamatan diri. Tapi kalau menghadiri sebuah undangan acara menarik yang mana
di tempat itu kemungkinan besarnya saya tidak mengenal siapa-siapa, saya
berani-berani saja selama saya tahu tempatnya aman dan orang-orang yang akan
hadir merupakan orang-orang yang bermoral.
Polah Mereka di Diskusi
Buku
Seperti
saat menghadiri Launching dan Bedah Buku Pergulatan Pemikiran Keindonesiaan
karya Prof. Dr. Anwar Arifin pada
tanggal 6 Desember lalu, saya sudah membayangkan sebelum berangkat kalau saya
mungkin tidak mengenal sebagian besar hadirin. Kalau tahu, iya – saya mungkin
saja tahu beberapa orang di sana. Mungkin juga ada yang saya kenali tapi yang saya
kenal itu pasti tak mengenal saya. Tahulah, para pembicara di seminar dan
diskusi, kan yang mengenalinya banyak, toh. Kalau saya ini, siapalah. 😁
Benar
saja, begitulah yang saya alami di tempat berlangsungnya Launching dan Bedah Buku Pergulatan Pemikiran Keindonesiaan sejak
baru tiba sampai acara selesai. Beberapa wajah familiar di mata saya namun saya
hanya tahu mereka karena pernah melihatnya tampil sebagai pembicara, pengisi
acara, ataupun moderator pada acara-acara yang saya hadiri.
Saya
mengambil tempat duduk di salah satu meja bundar yang masih kosong. Ketika satu
per satu kursi di sekitar saya terisi hingga penuh, saya pun menyadari kalau
mereka yang berada di sekitar saya ini saling kenal satu sama lain. Mereka
anggota dari sebuah organisasi. Hanya saya yang tidak mereka kenali dan tidak
mengenali satu pun dari mereka.
Selama
acara berlangsung, orang-orang di sekitar saya itu sesekali saling berbincang
dan bercanda. Syukurnya, tak sampai merusak konsentrasi saya. Saya terganggu
sekali ketika hadir di acara diskusi buku seperti ini lantas orang-orang di
sekitar saya terus mengobrol sepanjang acara. Saya yakin dengan terus berbicara
antar mereka, pasti tidak ada yang mereka tahu mengenai hal yang
diperbincangkan di depan sana. Saya pernah mengalami hal ini di suatu acara
diskusi buku. Ketika banyak orang yang ingin hadir tapi tak mendapat
kesempatan, eh orang yang mendapat kesempatan malah menyia-nyiakan kesempatan
itu. Entah untuk apa mereka berada di dalam ruangan. Jauh lebih bermanfaat
mereka tidak usah hadir saja.
Penulis, moderato, dan para panelis, semuanya luar biasa. |
Nah,
orang-orang yang di sekitar saya saat Launching dan Bedah Buku Pergulatan
Pemikiran Keindonesiaan ini berkelas. Mereka terntu saja menyimak acara
dengan baik. Dari obrolan mereka di sela-sela acara, saya menyimpulkan kalau
sebagian dari mereka akademisi, ada pula yang menjadi birokrat di sebuah
instansi pemerintah – ditandai dengan obrolan mereka yang berkelas. Saya suka
yang seperti ini. Sesekali saya mendapati mereka mengamati saya – mungkin menebak-nebak,
saya ini anggota organisasi tahun berapa atau saya ini akademisi dari kampus
mana 😅.
Kepingan-Kepingan Puzzle pun Terhubung
Padahal
saya mah apa atuh – meminjam istilah orang Sunda. Saya hanyalah seorang mamak dari
universitas kehidupan yang sedang mencari pengetahuan. Bagi saya, acara seperti
ini seolah menggabungkan kepingan-kepingan puzzle
yang bertebaran di sekeliling kita. Sering kali saya menemukan hal yang
berhubungan, sering pula yang bertentangan. Kalau bertentangan, biasanya saya
kembali kepada nilai-nilai Islam yang saya anut atau menelusuri logikanya. Dengan
demikian, bahan menulis jadi semakin banyak. Sekali sudah saya dokumentasikan
ke dalam blog, di lain waktu saya bisa menggunakannya karena sudah menyimpan
catatannya. Pokoknya menyenangkanlah.
Nah,
di acara pak profesor ini, saya menghubungkan kepingan puzzle di lokasi dengan
kepingan puzzle di memori saya. Dua
tahun lalu saya pernah menulis Mengulas
Soal Kerancuan Media Kita, sepulang dari mengikuti diskusi tentang
media massa yang dibawakan oleh seorang aktivis di sebuah NGO. Diskusi tersebut
berlangsung di BaKTI. Apa yang ada di tulisan itu ternyata relevan dengan apa
yang disampaikan oleh Profesor Anwar mengenai kepemilikan media massa dewasa
ini.
Prof. Anwar Arifin di podium |
Belajar dari Profesor
Di
acara itu pula saya menyaksikan sekali lagi, sosok yang boleh dikata ilmu
duniawinya sudah sangat tinggi, dia mengacu kepada kebenaran Tuhan. Sebagaimana
saya percaya kalau seseorang yang “mencari” di jalan yang benar, maka kebenaran
sejati pula yang dia peroleh. Kebenaran sejatinya tidak bertentangan dengan
ilmu duniawi – tentu saja kalau ilmu duniawi itu diperoleh dengan cara yang
benar. Hal itulah yang saya saksikan. Prof. Anwar Arifin sesekali menyelipkan
nilai-nilai Islam dalam pembicaraannya. Mengenai bersedekah pengetahuan hingga
mengenai pemahamannya mengenai bagaimana seharusnya seorang istri.
Saya
senang sekali bisa menyaksikan secara simbolis transfer pengetahuan dari
seorang profesor
kepada masyarakat saat launching dan
bedah buku itu. Membuat saya mengingat pembicaraan dengan seorang kerabat yang
sudah mencapai gelar profesor. Kerabat saya ini beberapa kali menanyakan
kegiatan dan pernah menyayangkan saya yang “hanya” di rumah saja. Dia mengira-ngira,
sebagai sarjana Teknik, saya seharusnya bekerja di kantor mana gitu.
“Niar
apa kegiatannya sekarang?” tanyanya.
Kali
ini saya menjawab, “Saya menulis, Kak. Tapi lebih banyak di internet.”
“Wah
bagus itu. Bisa publish tulisan saya?”
“Hmm,
bisa,” saya menjawab demikian tapi bingung juga, bagaimana caranya
mempublikasikan tulisan ilmiah seorang profesor? Saya tahu kerabat saya ini
suka sekali pergi meneliti hal-hal yang berbau budaya di pelosok Indonesia
timur. Saya tahu, pengetahuannya luar biasa tetapi sayangnya, saya tidak pernah
membaca hasil penelitiannya dalam bahasa yang bisa saya mengerti. Eh, dalam
bahasa ilmiah pun belum. Saya pernah melihat disertasi doktoralnya tetapi saya
hanya membukanya sekilas.
“Kak,
di Jawa ada yang menerbitkan karyanya dalam bahasa populer. Di Unhas ada
jugakah?” tanya saya padanya.
“Ada.
Kami sudah lakukan itu,” jawabnya.
Mencari puzzle, lalu membangun pohon pengetahuan. |
“Oh gitu, ya. Maksud saya, ada tidak, jurnal-jurnal di Unhas yang ditulis dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh orang awam. Misalnya saya, nih. Kalau saya mau baca dalam bahasa yang saya mengerti, ada, tidak?” saya teringat tabloid parenting yang sering mengetengahkan jurnali penelitian dalam dunia kedokteran anak dan psikologi dari negara Paman Sam. Tulisan-tulisan di tabloid itu berupa saduran dari jurnal-jurnal ilmiah yang baru diterbitkan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh orang awam.
“Ooh,
tidak ada. Dalam bahasa ilmiah adanya.”
“Nah,
itu dia, Kak. Bagaimana caranya supaya saya yang awam ini bisa ikut membacanya
juga? Adakah caranya?”
“Belum
ada. Nanti dicari caranya,” ucapnya menutup pembicaraan sembari menuju
kendaraan yang sudah terparkir di depan rumah kami.
Sayang
sekali sebenarnya, padahal pasti akan sangat menarik jika saya – dan kita bisa
membaca karya para profesor
di daerah kita, dalam gaya bahasa yang mudah kita mengerti. Dengan demikian,
kita pun bisa ikut menyebarluaskannya ke seantero negeri melalui internet dan
menjadikannya bahan referensi tulisan. Kapan, ya hal tersebut bisa terlaksana?
Makassar, 21 Desember 2017
Baca
catatan saya dari Launching dan Bedah
Buku Pergulatan Pemikiran Keindonesiaan karya Prof. Dr. Anwar Arifin pada tanggal 6 Desember lalu di dua
tulisan yang ada di blog buku saya ini:
Baca
juga tulisan lainnya:
- Kenangan Tentang Prof. Dikwan Eisenring
- Pak Profesor Itu Guru Siswa SMP
- Mengapa Guru Perlu Menulis dan Ngeblog
- Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia ke-9: Transformasi Perpustakaan Digital di Era Digital Native
- Pentingnya Orang Tua dan Pendidikan Tinggi Berkolaborasi dalam Membentuk Karakter Positif Anak
Share :
benar mbak, diharapkan jurnal ilmiah bukan hanya konsumsi bagi kalangan mahasiswa, dosen, prof atau orang berpendidikan tinggi, malah sebaikanya bisa jadi bahan bacaan dan pengetehuan bagi kita yang awam..
ReplyDeleteToss, Bang. Biar kita bisa ikut pintar dan update kan yaa
Deletemungkin mereka mikirnya, kalau nerbitin jurnal haruslah pake bahasa ilmiah. kalau tdk pake bahasa ilmiah jadinya kayak gak serius gitu buat jurnalnya *kali yaa
ReplyDeletePadahal, harapan kita an agar jurnal itu bisa dibaca, ya. Meskipun awalnya diterbitkan dalam bahasa ilmiah, bagaimana gitu caranya supaya setelah itu ada tulisan dalam bahasa populernya. Sayang kaaan kalau profesor tidak bisa mentransfer pengetahuannya kepada masyarakat :)
Deletewuih gak bisa orang awam baca dii kak hohohohoh ..
ReplyDeleteGue sering motocopy jurnalnya mahasiswa, malah pernah juga suruh ngeditin jurnal mulai dari font-size, jenis font, margin, tata letak ... ya diedit aja gak dibaca, cuma tukang potocopy, Bu ... mana paham? :(
ReplyDeleteWahhh... berat tema acaranya tapi ternyata asyik ya informasi yg didapat
ReplyDeletemungkin ini juga yg bikin banyak orang kita jadi malas membaca ya mba... aku juga kalo nemu jurnal yg harusnya isi menarik, tp aku ga ngerti apa yg dibicarakan krn terlalu banyak istilah yg orang 'awam' ga paham, ya jd males -__-. Coba seandainya tulisan begitu ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami, orang-orang jd lebih mau juga untuk membaca..
ReplyDelete