Sosok Inspiratif di Balik Bank Sampah
ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul Perjalanan
Mencari Bank Sampah di Makassar dan Pendar-Pendar
Cahaya dari Balik Sampah. Ketiga tulisan ini pernah tayang di
Blogdetik yang blognya sudah almarhum. Saya upload
lagi di sini agar kisah tentang pelopor bank sampah di Makassar dan para
penggeraknya yang inspiratif ini tetap abadi.
Di ruang tamu itu, saya memperhatikan tumpukan buku tabungan dan buku catatan administrasi Bank Sampah Pelita Harapan. Ada pula buku tamu yang mendokumentasikan tetamu yang sudah datang berkunjung. Tulisan ini.
“Kalau mau buka rekening cukup membawa sampah
saja biarpun cuma satu kilo,” kata Sri Nusran – petugas bagian administrasi.
“Pakai KTP juga?” tanya saya.
“Tidak,” jawabnya.
Oiya
ya, bank ini tidak seperti bank konvensional yang
mengharuskan nasabahnya memiliki KTP. Siapa pun bisa menjadi nasabah bank
sampah. Bahkan anak-anak dan orang-orang dewasa yang tidak memiliki KTP sekali
pun.
“Tanggal sepuluh dan sebelas Desember nanti kita
ada acara di sini, Bu. Tiap menjelang tutup buku kita mengundi nomor rekening
nasabah. Keuntungan bank sampah kita kembalikan ke masyarakat. Kalau mau ki’ datang liat-liat, bisa ji,” ajak
bu Husmiana.
“Hadiahnya apa, Bu?” saya antusias
mendengarkannya.
“Ada tempat beras, rice cooker, barang-barang rumah tangga. Itu hadiahnya,” bu
Husmiana menunjuk beberapa barang di sebuah sudut ruang tamu. Di situ ada rice cooker dan beberapa barang lain.
“Ada sepuluh tadinya. Tapi satu orang sudah
meninggal, tinggal sembilan orang sekarang. Direkturnya namanya Insinyur Patta
Giling, ketua er we di sini. Bendaharanya namanya Sulasmi. Pak Patta Giling itu
orang politik tapi tidak suka bawa-bawa nama bank sampah untuk politik. Mau ke
sini Pak Patta, Bu. Nanti kita’ bisa tanya-tanya sama beliau.”
Bu Husmiana dan Sri Nusran menceritakan tentang
proses daur ulang sampah melalui craft yang
mereka lakukan. Ada beberapa warga di daerah itu yang suka rela mengajarkan
warga membuat kerajinan. Ada yang berupa pentutup bosara’ (tudung saji khas
Bugis/Makassar) dari sampah baliho pada masa kampanye lalu. Ada berupa sandal
dan tas dari plastik bekas kemasan sabun, makanan, dan minuman.
Sekilas saya mendengar Sri Nusran menghubungi
seseorang lewat hapenya, minta dibawakan barang kerajinan karya mereka.
“Ada tamu di sini,” terdengar suara Sri Nusran
yang bergerak ke arah teras.
“Dari mana ki’,
Bu?” Sri Nusran berbalik dan bertanya kepada saya.
“Saya blogger,”
sekali lagi saya harus menceritakan tentang saya.
“Saya suka menulis di internet,” saya harus mengatakan hal ini karena masih banyak orang tak paham istilah “blogger”.
“Wartawan internet,” terdengar suara Sri Nusran
yang sedang menelepon dari arah teras.
Ah ya, mungkin begitu saja simpelnya ya? Biarlah
untuk sementara saya disebut sebagai wartawan internet dulu. Apa yang saya
dengarkan semakin menarik dan inspiratif, saya masih ingin tahu lebih banyak.
Terlebih lagi orang-orang di sini tak pelit informasi.
“Kegiatan bank sampah di hari Minggu saja ya,
Bu?” saya melanjutkan bertanya pada bu Husmiana.
“Iya. Dari jam dua sampai jam lima. Kalau tidak
dibatasi, bisa-bisa kita di sini tidak istirahat karena banyaknya yang harus
dilayani. Kader di sini kan kebanyakan ibu rumah tangga. Mereka juga mesti
mengurus keluarga mereka. Kalau sudah tutup dan terpasang tanda ‘TUTUP’, para
nasabah mengerti.”
Lingkungan di sekitar Bank Sampah Pelita Harapan asri dan bersih |
“Bisa. Ada nasabah di sini dari Rappocini.”
Kelurahan Rappocini itu nama kelurahan tempat
tinggal saya. Kelurahan Rappocini dan Kelurahan Buakana – nama keluarahan
tempat bank sampah ini berada letaknya bersebelahan. Rumah saya letaknya tak
sampai 1 kilo meter dari bank sampah ini.
“Sampah yang dibawa nasabah ke sini biasanya
sudah dipilah-pilah. Harganya kan berbeda. Ada itu di luar tertulis. Tapi bisa
juga dicampur. Kalau campuran, di sini dihargai seribu rupiah per kilo gramnya.
Untuk pengolahan sampah organik di sini bisa juga. Kita punya komposter. Kalau
‘panen’, hasilnya dibagi-bagikan secara gratis ke masyarakat, untuk tanaman
mereka.”
“Waah … berarti Saya bisa minta ya, Bu kalau
pupuknya sudah jadi? Juga bisa bawa sampah daun-daun ke sini ya? Di rumah banyak
sampah daun.”
“Bisa. Oya, kita yang jadi petugas tidak ada yang
digaji. Biasa orang heran kenapa bisa. Tapi begitulah, di sini tidak ada yang
digaji.“
Wow,
saya bertambah kagum sama bu Husmiana dan para pengurus Bank Sampah Pelita Harapan.
“Sudah banyak yang datang belajar kerajinan di
sini, Bu. Baru-baru ini ada dari Sorowako datang ke sini belajar. Ada dari UGM,
ada juga dari UNHAS. Sudah pernah ada dari luar negeri juga. Ada dari Australia
dan Filipina. Ada satu lagi …. Kalau tidak salah dari Thailand. Mereka dari LSM.
Media juga sudah sering meliput. Baru-baru ini ada dari Metro TV. MNC TV juga
pernah ke sini bulan November tahun lalu, ada di Youtube,” bu Husmiana
melanjutkan ceritanya.
Aih,
cerita ini seperti nyambung
dengan cerita adik saya - Mirna. Adik saya itu tinggal di Sorowako – sebuah
kota di ujung timur laut provinisi Sulawesi Selatan. Mirna pernah bercerita
kalau di sana mereka sedang senang-senangnya belajar membuat kerajinan dari
kemasan-kemasan bekas (sampah). Mirna sampai berpesan agar kopi sachet yang kami minum, bungkusnya
disimpankan untuknya. Kalau ia datang berlibur, dia akan mengambilnya.
“Di sini keuntungan dikembalikan kepada
masyarakat, Bu. Kalau ada yang butuh bantuan pinjaman, dikasih pinjam. Bayarnya
dengan sampah. Kalau ada yang meninggal atau sakit, kita kasih santunan. Kita
juga menerima pembayaran listrik, setiap saat. Kalau pembayaran air belum
karena masih ada masalah di PDAM. Di sini warga suka membantu. Mereka terlibat
juga jadi kerjaan bank sampah bisa menjadi lebih ringan,” tambah bu Husmiana.
Bosara', made in Bank Sampah Pelita Harapan |
“Hari Minggu lalu tidak ada kegiatan, jadi
penimbangan baru diadakan hari ini. Kalo mau ki’ liat-liat, ke sebelah maki’,”
ajak bu Husmiana dan Sri Nusran.
“Ke sebelah” yang dimaksud adalah mulut gang
tempat aktivitas penimbangan berlangsung. Pada mulut gang itu dipasangi atap
seadanya supaya warga terhindar dari panas matahari dan hujan.
Pak Patta Giling, seperti juga bu Husmiana,
memberikan informasi banyak sekali dengan amat ramah.
Makassar, 10 Desember 2014
*Bersambung*
Update:
Rasa
haru masih saja terselip dalam hati ketika meng-upload kembali tulisan yang
sudah tersimpan selama lebih dari 3 tahun ini. Mengingat kembali orang-orang
inspiratif dalam tulisan ini, membuat saya merasa beruntung, telah diberi
kesempatan oleh Allah bertemu dengan mereka.
Share :
0 Response to "Sosok Inspiratif di Balik Bank Sampah di Makassar"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^