Sekarang ukuran buku, utamanya nonfiksi – selain buku-buku craft nyaris seragam. Ketebalannya pun nyaris seragam. Penerbit besar sekarang pun banyak yang mempersyaratkan penulis memasukkan naskah di atas 80 halaman kuarto.
Untuk
daerah Jabodetabek, harga buku di toko buku berbeda dengan harga buku yang
beredar di luar wilayah itu. Untuk di kota saya – Makassar misalnya, harganya
bisa bertambah 10 sampai 30 persen.
Saya
pernah mengecekkan harga novel setebal 200-an halaman karya seorang kawan
penulis. Di Jakarta harganya lima puluh ribuan, di Makassar harganya di toko
buku naik sebesar sepuluh ribu rupiah.
Kalau
harga buku duet saya bersama Vina Sjarif yang baru terbit Agustus 2014
(judulnya Agar Dicintai Suami Layaknya Sayyida Khadijah) perbedaannya tidak
terlalu jauh karena tergolong tipis, tidak sampai 100 halaman. Di Jabodetabek
harganya Rp. 28.000 di Makassar harga di toko buku Rp. 29.500.
Saat
seorang sahabat menginformasikan menemukan buku saya di sebuah toko buku besar
di dekat kantornya di Jakarta dan mengambilkan gambar display-nya untuk saya, saya bertanya padanya apakah ia membelinya.
Sahabat saya itu menjawab ia membelinya karena dilihatnya bukunya tipis dan
harganya terjangkau.
Tak
semua orang berminat membaca. Tapi sering kali ukuran buku menyebabkan
seseorang mau tergerak membaca sebuah buku. Seperti ketika masih mahasiswa
dulu, saya tentu lebih memilih buku yang ukurannya ringan (sekaligus harganya
pun ringan) untuk “disantap” di sela-sela kesibukan kuliah. Kalau sekarang,
ukuran buku tak jadi soal. Buku tebal pun saya lalap kalau temanya menarik.
Jujur saja, saya membaca nonfiksi itu karena terdorong oleh kebiasaan suami
saya membaca buku-buku nonfiksi. Jika saja suami saya tidak senang membaca,
bisa saja saya pun ketularan tidak suka membaca buku.
Saya
selalu berharap buku yang berukuran kecil atau yang tipis bisa diproduksi kembali. Untuk
meningkatkan minat baca rakyat Indonesia. Apalagi di kota saya, minat baca di
ini kelihatannya tak seperti minat baca masyarakat di Jabodetabek. Pengalaman
sehari-hari menunjukkan hal itu. Ukuran buku yang ringan atau tipis mungkin
bisa menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan minat baca di sini. Mungkin …
Yeah, boleh, kan berharap meskipun
penerbitan buku itu industri yang punya pertimbangan tersendiri mengenai pasar.
Makassar, 10 Desember 2014
Tulisan ini pernah ditayangkan di blog saya yang di Blogdetik. Sekarang Blogdetik sudah tidak ada lagi.
Share :
Saya punya ukuran seperti itu, tapi tidak terawat selanjutnya. Acak-acakan dirak buku.
ReplyDeleteBuku tebal yang saya minati, mudah merawat dan mudah disusun. Walau harganya tergolong lumayan. Dulu saya memebeli harga segitu mampu,
ah kini cari yang sedang-sedang saja :) Hebat.
Hehehe, hebat itu Mas.
DeleteDulu aju juga sering beli buku yg ukuran saku gitu mba. Zamanku dulu banyak kok, tp yg novel anak2 yaaaa. Ada cerita mowgly dulu ukurannya kecil, trus noddy, ama cerita enid blyton yg seri si kumbang kan jg kecil ukuran saku. Lbh enak dibawa :) . Sayang skr udh jrang memang
ReplyDeleteWaaah iya Mbak, ada novel anak2. Sekarang susah, jaraaang sekali yang mau terbitkan
DeleteIya, dulu buku saku banyak banget y mbak. Berbagai kategori juga.. Aku masih simpan beberapa buku nya sampai sekarang.
ReplyDeleteLucu2 juga ya jadi koleksi, Mbak :)
DeleteIya mbak, buku saku emang lebih praktis ya..
ReplyDeleteSyang sekarang udah nggak pernah keliatan lagi. Padahal lebih murah dan mudah di bawa kemana-mana.
Iya, ditaruh di saku pun bisa
Delete