Alasan
sebenarnya mengapa saya berkali-kali menanyakannya adalah saya mau mengukur sekuat
apa keinginannya. Saya sudah katakan berkali-kali, kalau dia ingin ikut lomba
bercerita maka harus dari dirinya yang punya inisiatif untuk berlatih, bukannya
saya yang berkali-kali harus menyuruhnya berlatih seperti yang sudah-sudah. Sebab
kekuatan terbesar adalah yang berasal dari dalam diri sendiri dan anak seusianya
seharusnya sudah bisa mempergunakan kekuatan dari dalam dirinya sendiri.
Karena
putri satu-satunya ini mengatakan serius ingin ikut lomba maka papanya dan saya
mengusahakannya agar terdaftar dan bisa ikut lomba selama dua hari
berturut-turut. Mengambilkannya formulir di panitia, mengambilkannya surat sah
dari sekolah yang ditandatangani oleh kepala sekolah dan seorang guru, mengembalikan
formulir ke panitia, ikut technical
meeting, mencarikan cerita khas Makassar, menuliskan kembali cerita yang
lebih mudah dia pahami, mengantarkan serta menungguinya di lokasi lomba. Namun
tetap saja bagian tersulitnya adalah ………. berkali-kali mengingatkan nona mungil
ini untuk senantiasa berlatih!
Tak mengapa
kalau hanya kami orang tua yang mengantarkan Athifah ikut lomba bercerita. Saya rela-rela saja
selama nona ini bisa mendapatkan pengalaman baru dari lomba ini. Peserta-peserta
lainnya didampingi oleh guru pendampingnya bahkan ada guru yang datang dengan
menggendong bayinya. Luar biasa. Memang, sih, ada sekolah yang sudah mengikuti
lomba ini selama bertahun-tahun. Jadi, guru-guru mereka sudah terbiasa mengantarkan
dan mendampingi murid-muridnya selama lomba bercerita berlangsung.
Saya
takjub ketika audisi (babak penyisihan) yang berlangsung pada tanggal 17 April,
beberapa anak dengan serius berlatih sendiri di sekitar aula di lantai 2 Gedung
Penerbit Erlangga, tempat di mana lomba berlangsung. Mereka tidak didampingi
lagi oleh pendamping mereka dan bisa berlatih sendiri.
Saya
tak bisa menahan kecerewetan, “Tuh Athifah, lihat mereka latihan sendiri. Tidak
perlu disuruh-suruh sama gurunya! Begitu kalau mau berlomba. Harus punya
keinginan untuk latihan sendiri!”
Gadis
kecilku terdiam. Dia mengamati anak-anak yang sedang berlatih sendiri di
sekitarnya. “Mama ke sana pale’,” dengan
logat Makassar, dia menyuruh saya menjauh darinya. Tak mengira mendapatkan
respon itu, saya pun ngeloyor dengan
perasaan keki. Maksud saya itu, saya mau melihatnya berlatih sendiri di depan
saya, tanpa perlu saya suruh-suruh lagi kapan harus mulai dan kapan harus
berhenti. Eh, ini malah menyuruh saya pergi. Huft.
Tak
lama menanti, tiba juga giliran Athifah yang mendapatkan nomor urut 29. Seperti
biasa, dia cukup percaya diri berjalan ke depan para juri, memperkenalkan diri,
dan mulai bercerita. Penampilannya tidak jelek tapi tidak juga bisa dikatakan
bagus. Rata-ratalah untuk konteks lomba. Tak semua anak seusianya mampu bercerita
seperti dirinya – ini salah satu kelebihannya yang saya akui tak saya miliki
dan merupakan starting point yang
bagus buatnya. Meski penampilannya tergolong rata-rata di antara para peserta lomba, saya bisa melihat kemajuan
kali ini dibandingkan penampilannya berlomba pada tahun lalu. Namun saya tak
berkata apa-apa, hanya menyambutnya dengan seulas senyum usai gilirannya
bercerita. Kami pulang ke rumah dan datang untuk menyimak pengumuman siapa saja
yang lolos masuk grand final dan
sekaligus menyimak lomba finalnya pada keesokan harinya. Pemenang dari lomba pada
hari berikutnya ini akan menjadi wakil Kota Makassar pada Lomba Bercerita
Tingkat SD/MI Seprovinsi Sulawesi Selatan nantinya.
Permintaan
saya agar Athifah tetap berlatih beberapa kali di malam itu tak dia gubris. Dia
malah sibuk dengan hal-hal lain dan kemudian tertidur karena kelelahan. Ya
sudahlah, saya tak bisa memaksanya. Ini pertarungannya, bukan pertarungan saya.
Dia yang harus belajar sesuatu dari lomba bercerita tahun 2018 ini.
Makassar, 28 April 2018
Bersambung
ke pengalaman di grand final Lomba
Bercerita Tingkat SD/MI Kota Makassar. Stay
tune, yaa.
Share :
Hiiii responnya mungkin karena tak mau dibandingkan ama yang lain ya mba. Padhaal kita pengennya anak semangat dan meiru yang baik
ReplyDeletePengennya, kekuatan dari dalam dirinya bangkit, Mbak. Kalau kekuatan itu bangkit, seperti kekuatan raksasa kalau saya bilang. Dia tidak perlu saya lagi untuk berlatih. Nah ini yang masih kurang hehehe.
Delete