Apa yang paling Anda khawatirkan
terjadi pada anak di masa ini?
Menjawab
kedua pertanyaan itu, kebanyakan dari kami menjawab bahwa menghadapi tantangan dunia digital, seperti bagaimana mengejar perkembangan dunia digital dalam
mengimbangi anak, menghubungkan keinginan anak dengan orang tua, akibat
pergaulan yang bisa menjauhkan dari agama, hambatan sosialisasi, kedekatan
batin, dan menjawab pertanyaan ajaib anak.
Kedua
pertanyaan itu diajukan Mbak Fitria
Laurent (Pipit) – founder Komunitas Sahabat Edukasi
Indonesia dan Komunitas Sekolah Berasrama Berbasis Nilai-nilai di awal
pertemuan kami, pada tanggal 31 Maret lalu. Hari itu kami – gabungan komunitas
IIDN (Ibu-Ibu Doyan Nulis) Makassar dan LeMina (Lembaga Mitra Ibu dan Anak)
berkumpul untuk Bincang Parenting Mengasuh Anak dengan
Nilai-nilai di Era Digital di gedung Sophiee-Training Center (jalan Veteran).
Saya
tak urun suara saat ditanya tetapi kurang lebih kekhawatiran saya mirip dengan
teman-teman yang lain. Saya khawatir anak-anak jaman now lebih kritis maka saya harus selalu upgrade diri secara holistik dan secara ilmu agama. Tentunya, saya
harus mengetahui tantangan zaman ke depannya seperti apa. Ya, semacam tentang
“bonus demografi”, “kesenjangan ekonomi”, “dunia (ekonomi) kreatif”, alternatif
energi terbarukan, dan sebagainya.
Ilmu
agama saya juga harus selalu ditinjau kembali demi melihat perkembangan pesat
masa kini. Betapa mirisnya saya mengetahui ada segelintir orang yang orientasi
seksualnya, berubah menjadi penyuka sesama jenis “hanya” karena terpengaruh tayangan tak senonoh di YouTube. Do you know? Jaman now tak perlu lagi
“pengaruh lingkungan” alias pengaruh orang-orang lain. Dunia digital punya
peran yang sangat besar untuk mengubah hal mendasar semacam urusan orientasi
seksual yang nantinya mempengaruhi reproduksi manusia! Dan mengerikannya,
dampaknya besar. Bukan hanya soal surga-neraka, melainkan juga kemungkinan
potensinya dalam memengaruhi orang lain! Jujur, saya menjadi orang tua yang
paranoid hidup di zaman ini!
Bagaimana
pun juga, paranoid tidak akan memberikan solusi, kan? Makanya saya hadir di
acara ini karena butuh memperkaya “senjata” untuk menghadapi tantangan zaman. Nara
sumbernya, Mbak Pipit yang jauh-jauh datang dari Padang punya pengalaman sebagai
konsultan di sekolah-sekolah berasrama dan memberikan pelatihan
seputar topik pengasuhan anak dengan nilai-nilai. Mbak Pipit ini juga berperan sebagai
praktisi pendampingan dan Kepala Asrama Anak-anak Beasiswa Berasrama Kiwanis
Internasional. Sungguh kesempatan yang tidak boleh disia-siakan ketika dirinya
bersedia berbagi dengan kami.
Persiapan, lalu kesiapan adalah hal yang mutlak. Anak-anak
zaman sekarang disebut sebagai digital native (penduduk asli dunia digital) sementara orang tuanya – seperti saya
ini, sebagai digital immigrant. Kita harus mempersiapkan anak untuk
zamannya, pun butuh mempersiapkan diri. Kekhawatiran akan dampak negatif perlu
diantisipasi. Hadapi bersama-sama dengan anak.
Tidak
dipungkiri, teknologi digital bermanfaat bagi manusia. Berkembangnya dunia
komputer dan smart phone, juga
internet banyak membantu kita. Dua manfaatnya misalnya memudahkan kita mencari
informasi dan bisa menjadi wadah dalam membangun kreativitas. Di sisi lain,
sebagai orang tua yang melek internet, kita pun tahu dampak negatifnya. Bahkan
banyak orang tua yang membatasi hingga menjauhkan anaknya dari dunia digital.
Menurut
Mbak Pipit, hal yang berbahaya
selayaknya juga kita pelajari, alih-alih menjauhinya. Perkembangan zaman
tidak bisa dibendung. Melarang anak pun, bukan dengan ujug-ujug merampas ponsel yang sedang dipegangnya dan
menceramahinya panjang kali lebar. Gunakan cara-cara yang baik.
Anak
tidak mengerti kekhawatiran kita. Dia tidak mengerti kenapa harus berhenti main
gadget. Maka sebagai orang tua, kita yang harus tahu “rumusnya”.
“Hubungkan apa yang kita khawatirkan dan apa yang kita inginkan dengan yang bisa dimengerti anak,” urai Mbak Pipit.
Di
sini saya tercenung. KOMUNIKASI memang penting dalam berinteraksi dengan anak.
Sebagai orang tua, saya sering lupa kalau seharusnya saya bisa menghubungkan
KEKHAWATIRAN dan KEINGINAN saya dengan anak, menjadikannya bisa diterima dan
dipatuhi anak. Padahal sesekali saya gunakan, seperti saat memasukkan anak-anak
sekolah, saya berusaha menjadikan sekolah yang mereka masuki juga menjadi pilihan
mereka. Namun lebih sering saya lupa dan menjadikan otoritas saya sebagai ibu
sebagai alat. Jleb, saya tersadar, memang
penting membuat diri saya senantiasa
“terhubung” dengan anak.
Mbak
Pipit lalu menjelaskan keterampilan yang bisa dipelajari supaya kita terhubung
ke anak. Eh, bukan hanya agar terhubung ke anak sendiri. Bisa juga dipergunakan
dalam urusan mendampingi anak lain dalam kerja sosial di komunitas (LeMina kan
merupakan komunitas yang bersentuhan dengan anak. Para aktivis LeMina mendampingi
anak-anak dampingannya bisa dalam jangka waktu berbulan-bulan dan ikut membantu
memecahkan masalah anak seperti masalah kesulitan belajarnya). Keterampilan ini
bisa pula dipergunakan dalam berhubungan dengan teman atau orang lain.
Well, ada rumusnya, lho agar bisa terhubung
dengan pribadi lain: O – F – N – R (Observation,
Feeling, Need, Request atau Observasi, Perasaan, Kebutuhan, Permintaan).
Observasi
(O)
Apa
itu OBSERVASI?
Kata
Mbak Pipit: identifikasi APA KABARMU, APA
KABAR SAYA. APA MAUMU, APA MAU SAYA. Respon dan dengar apa yang dilihat, bukan
memperjelas buah pikiran. Dan ingat, merespon kebutuhan orang lain bukannya
berarti menyetujui, yes?
Mbak
Pipit memberikan 3 contoh kasus lalu bertanya, apa yang ada di pikiran kita
ketika hal tersebut terjadi:
- Ketika seorang sahabat berjalan di dekatmu lalu menjatuhkan buku dengan keras dan dia tak menoleh sama sekali bahkan untuk sekadar say hello.
- Ketika seorang kawan meletakkan perlengkapan di atas meja dan menimbulkan bunyi keras. Sama sekali tidak menegur orang-orang yang berada di dalam ruangan, lantas keluar dari ruangan.
- Ketika seorang anak kecil tiba-tiba berkata, “Kakak, Aku ingin pacaran dengan Kakak!”
Well, kalau kita dalam posisi sebagai orang
yang menyaksikan ketiga contoh kasus tersebut, apa yang ada di pikiran kita?
Beberapa
orang menjawab pertanyaan pertama dan kedua dengan kata mungkin dilanjutkan
dengan pernyataan menduga-duga apa yang sedang dalam pikiran si sahabat.
Termasuk saya, haha. Saya mengatakan, mungkin
dia lagi tidak fokus, saya pun bisa saja
melakukan hal seperti itu kalau sedang tidak fokus.
Mbak
Pipit mengatakan bahwa apa yang saya duga itu merupakan sebuah bentuk
pengalihan pikiran. Itu buah pikiran. Lalu, bagaimana seharusnya:
Berhenti pada kenyataannya saja. Kenyataannya adalah: sahabat saya menjatuhkan/meletakkan benda dengan keras dan tidak melihat saya. Titik. Itu saja. Jangan diperpanjang lagi.
Menduga-duga
tidak menolong diri kita. Kalau pada kenyataannya ada perasaan tidak enak,
bahkan tersinggung, terima saja itu sebagai kenyataan, jangan kembangkan
pikiran hingga menjadi imajinasi!
Nah, bagaimana
menghadapi anak yang mengatakan ingin pacaran denganmu? Tanyakan balik: kamu mau pacaran dengan kakak? Kalau
dijawabnya: “Iya, Kak.” Tanyakan lagi: kenapa
kamu mau pacaran dengan kakak? Jangan bombardir anak itu dengan ceramah
tentang mengapa anak-anak atau dalam Islam dilarang pacaran karena tidak akan “masuk”
kepada si anak dan malah justru menjauhkan kita darinya.
Perasaan
(F)
Nah,
setelah merespon pertanyaan anak, akan timbul rasa aman dalam dirinya dan
membuatnya lebih membuka diri, membuat kita mudah masuk. Coba tanyakan
perasaannya: memangnya apa yang Kamu
rasakan?
Pada
bagian ini, intinya adalah “masuk ke perasaan”. Gunanya adalah untuk
menghubungkan orang yang lagi berbicara “masuk” ke kita. Untuk contoh kasus 1
dan 2: bagian ini untuk membantu
memperkaya emosi positif untuk merespon yang sedang terjadi. Berhentilah
pada kenyataan “barang jatuh”. Sekali lagi, jangan alihkan bahwa “sedang tidak
fokus”.
Agar bisa terhubung kepada sahabat yang menimbulkan rasa tidak enak kepada diri kita, perkayalah emosi positif kita.
Jangan sampai baper sendiri, yak. Belum
tahu kenyataan yang sebenarnya sudah sibuk menebak-nebak berpanjangan.
Perempuan kan biasa tuh seperti itu. Bisa jadi satu sinetron kemungkinan yang
dipikirkannya. 😆
“Jangan
manipulasi perasaan kita. Kita harus menolong perasaan kita sendiri. Siapa yang
menolongnya kalau bukan kita?” tutur ibu satu anak yang aktif sebagai trainer di Asosiasi Living Values
Internasional untuk Indonesia ini.
Tolong
dan respon perasaan kita. Akui kenyataan “tersinggung” jika memang tersinggung.
Kalau sudah sampai di tahap ini dan sudah “diterima”, baru kita pindah ke tahap
selanjutnya.
Kebutuhan
(N)
Di
tahap ini, sampaikan kebutuhan kita. Di tahap ini pun kita “menolong” diri kita
juga. Kitalah yang bisa menghargai kebutuhan kita untuk terpenuhi. Semisal ada
kekhawatiran anak menggunakan gadget
berlebihan, di tahap ini kita bisa jelaskan kepada anak mengenai kekhawatiran
kita – misalnya mengenai kesehatan mata atau dampak buruk gadget yang lainnya. Jika anak sudah mengetahuinya dan bisa
menjadikannya sebagai kekhawatirannya, nah di situlah kita bisa bekerja sama
dengan anak dalam menghadapi tantangan zaman.
Permintaan
(R)
Di
tahap ini, setelah ketiga tahap di atas itu dilalui, sampaikanlah permintaan
kita. Kalau dari awal observasinya benar, selanjutnya bisa sampai ke tahap ini
dan akan lebih mudah bekerja sama dengan anak karena kebutuhan kita juga
menjadi kebutuhannya. Kalau observasinya salah maka tidak akan bisa bertemu
dengan kebutuhan kita.
Yang
perlu dicatat pada bagian ini adalah, anak tahu indikatornya. Kalau menawarkan permintaan, berikan indikator. Misalkan
saat membuatkan anak susu dan memintanya bersabar. Jelaskan apa itu sabar dan
berapa lama dia harus bersabar. Misalnya: sabar
itu duduk diam dan menunggu selama 10 menit.
Begitu
pun ketika memilihkan anak sekolah atau pasangan hidupnya kelak. Rumuskan
indikator yang kita sepakati dengan pasangan. Indikatornya umum dan jelas.
Kalau dengan suami/istri sudah jelas indikatornya apa, komunikasikan dengan
anak.
Sayangnya,
pertemuan kami harus segera diakhiri. Rasanya masih banyak hal yang kami perlu
ketahui lagi namun waktu dan tempat tak memungkinkan pertemuan lanjutan. Baarakallahu fiik, ya Mbak Pipit. Senang
sekali bisa bertemu kembali setelah pertemuan pertama kita di tahun 2016 lalu. Semoga
saja bisa segera bertemu kembali dan kita bisa berbincang tentang banyak hal.
Makassar, 8 April 2018
Terima
kasih secara khusus kepada Sophie e-Training Center. Sophie ini juga telah
berbenah diri dalam menghadapi tantangan zaman. Ke depannya akan full online sistemnya.
Simak tulisan saya tentang hal
tersebut di: Belajar
dari yang Sukses dan Gagal dalam Berbisnis
Silakan
dibaca tulisan saya saat Mbak Pipit datang ke Makassar 2 tahun lalu:
Share :
Terima kasih. Tulisan yang sangat mencerahkan.
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir :)
DeleteNoted, indikator. Mengajari anak dengan detail dan pendekatan perasaan memang tidak mudah yaa
ReplyDeleteYup, orang tua mestinya belajar terus, Mas.
Deletebanyak tantangannya tp kalau dari dini kita sdh menreapkan agama, karakter dan attitude ayng baik, semoga akan membawa anak kita lebih baik ya
ReplyDeleteIn syaa Allah, ya Mbak. Anak pasti mengingatnya yaa
DeleteMasya Allah, lengkap uraiannya. Betewe ternyata berbakatki juga jadi potografer di...hehehe..
ReplyDeleteFotografer abal-abal ji bakatku, Kak, hahaha.
DeleteCkck bermanfaatnya ini acaranya kak. Sayang lagi ndk di Makassar :(
ReplyDeleteAyo pulang, Yanii. Eh :)
DeleteSemoga acara yang bagus ini sering diadakan, terutama dikota-kota besar yang notabene banyak sekali anak-anak yang hanyut bersama dunia digitalnya.
ReplyDeleteAamiin. Sering kali kita harus mengambl inisiatif
Delete