Tidak
menunggu lama lagi, satu per satu nama diambil bak menarik nama siapa yang naik
sebagai penerima uang arisan. Pandai nian panitia memakai sistem ini, peserta
yang disebutkan nomornya langsung membawakan ceritanya. Jadi, nomor-nomor
peserta – kesepuluh grand finalist sebenarnya
sudah ada di dalam 10 amplop tapi tidak langsung disebutkan di hadapan kami. Setiap
nama diambil secara acak oleh para staf di lingkup Perpustakaan Kota Makassar. Usai
giliran peserta pertama, baru nomor peserta lain lagi yang ditarik dan
dilanjutkan dengan penampilan berceritanya. Begitu hingga 10 nomor yang masuk grand final disebut. Aslinya, kami dibuat dumba’-dumba’ (deg-degan,
bahasa Makassar) berjamaah. Sungguh strategi yang tepat supaya yang tidak
masuk grand final tidak cepat pulang.
Perasaan
saya tidak yakin kalau Athifah akan lolos ke grand final tapi saya belum pesimis juga. “Siapa tahu saja dia
lolos,” bisikan kecil itu selalu mencoba meyakinkan saya.
Saya
bertahan di tempat duduk hingga peserta terakhir dipanggil. Pada giliran peserta
terakhir, kurang lebih 50 persen kursi kosong. Entah pada ke mana. Saya sampai
takut, jangan sampai peserta terakhir itu menjadi hilang fokus karena
penontonnya hilang satu-satu. Jujur saja, kalau hal seperti itu terjadi kepada
saya, saya akan grogi dan hilang konsentrasi. Tapi luar biasa peserta kesepuluh
ini. Dia mampu bertahan hingga selesai bercerita, tetap dengan semangat yang
sama seperti pertama kali memulai bercerita. Luar biasa. Dia memang pantas masuk
ke babak grand final ini!
Para juri memberikan sambutannya |
Saya menyimak banyak pembelajaran dari komentar dewan juri kepada kesepuluh peserta. Saya mencatat beberapa poin menarik, yaitu:
- Jika beradegan semacam monolog kreatif dengan beberapa tokoh layaknya aksi teatrikal, sebaiknya tidak lebih dari 30%.
- Pendamping harap merekonstruksi cerita dengan baik dan pantas untuk anak-anak. Unsur romantisme semisal “cita-cita” ingin menikahi seorang gadis karena kecantikannya supaya dikurangi.
- Masih untuk pendamping, konflik yang menimbulkan kekerasan supaya dikurangi. Jika ada adegan menggunakan pedang dan merobek-robek tubuh seseorang, sebaiknya jangan ditampilkan. Cukup gunakan kekuatan narasi.
- Jangan membuang properti terlebih jika itu berbentuk buku. Buku adalah benda yang seharusnya kita hargai.
- Properti harus dimainkan sendiri oleh anak sebagai pencerita. Sama sekali tidak boleh ada bantuan dari luar meski itu sekadar gendang yang dimainkan sesaat.
- Jika menyangkut sejarah, telusuri lagi kebenaran datanya. Termasuk kecocokan nama dengan daerah asalnya. Jangan sampai salah.
- Mainkan intonasi suara dalam bercerita.
- Perhatikan letak properti, jangan sampai kejauhan dan membuat repot anak dalam bercerita.
Ah,
saya belum bercerita tentang Athifah, ya? Putri saya tidak lolos masuk dalam 10
besar peserta grand final (sekaligus
pemenang lomba, pemenangnya ada 10 orang, dari 100-an peserta). Dia mengaku tak
kecewa. Saya juga tidak. Sebab saya mengapresiasi proses. Kalah atau menang tak
mengapa karena dalam sebuah proses pasti ada pelajaran yang bisa diambil.
Penarikan nomor peserta yang akan tampil |
Sedih lihat kursi pada kosong saat peserta kesepuluh tampil. Yuk, hargai penampilan anak-anak kita. Cuma sepuluh orang, koq, Bu, Pak. Hanya sebentar mereka tampil. |
Saya
memperlihatkan padanya postingan Instagram
saya - repost dari akun @LPS_Idic tentang Susy Susanti – mantan pebulu
tangkis yang kiprahnya meraih predikat internasional di jaman old luar biasa:
Peraih emas pertama bagi Indonesia di Olimpiade Barcelona
tahun 1992 ini juga menjuarai All England sebanyak empat kali (1990, 1991,
1993, 1994), juara dunia tahun 1993, juara Indonesia Open sebanyak 6 kali,
Malaysia Open 4 kali, merebut medali perunggu pada Olimpiade Atlanta tahun
1996, serta merebut Piala Uber tahun 1994 dan 1996 bersama tim. Prestasi itu tidak datang seketika. Peraih
penghargaan Hall of Fame Badminton World Federation ini harus berlatih enam
hari dalam seminggu, dari pukul 07.00 hingga 11.00 dan 15.00 hingga 19.00. Kunci
prestasinya adalah disiplin dan konsentrasi. Dua kata sederhana tapi tidak
mudah dilakukan. Dibutuhkan tekad keras untuk menjalankannya.
Saya menekankan mengenai berapa lama Susy berlatih dalam sepekan, lalu dalam sehari. Saya tekankan padanya bahwa, jika mau menang, seharusnya dia berlatih berkali-kali dalam sehari. Waktu latihan kemarin, saya memintanya berlatih sebanyak 30 kali dalam sehari. Masing-masing 10 kali di waktu pagi, siang, dan malam hari. Saya tak tahu apakah benar dia berlatih sebanyak itu – menurut dia, sih iya. Yang jelas, saya yakin, dia dapat pelajaran berharga di Grand Final Lomba Bercerita kali ini. Iya, kan Athifah?
Makassar, 29 April 2018
Share :
Bentar lagi tempatku ada lomba bercerita juga, Mbak. Bisa jadi modal nih kalau nglatih muridku. Makasih, Mbak.
ReplyDeleteSama-sama, Mbak. Moga bermanfaat :)
DeleteKeren ananda Athifah, sudah berani tampil. Sesungguhnya anakta itu sudah menjadi pemenang, bisa mengetahui kekurangannya sekaligus percaya diri adalah proses menuju kemenangan.
ReplyDeleteTop de Athifah. Peluk sayang buat Athifah eh...buat ibunya juga, hehehe...
Alhamdulillah. Benar Kak, kita bisa melihatnya dari sisi itu. Terima kasih. Peluk sayang jugaa :* :)
Deletemasih muda sudah mulai menunjukan bakat, semoga mereka di masa depan menjadi inspirator di kalangan mereke
ReplyDeleteAamiin, aamiin, aamiin ya Rabb.
Delete