Pertanyaan
dadakan seperti membuat saya gelagapan tapi memang, saya jarang memperhatikan
hal-hal yang tidak sedang saya anggap penting yang berseliweran di depan saya
ketika membuka handphone. Saya
membiasakan diri memilah yang mana yang mau saya buka dan mana yang tidak,
dengan mengeset WA tidak otomatis men-download
gambar dan video, memasang mode gratis
pada Facebook, dan tidak banyak berselancar di browser dan media-media sosial. Soalnya terlalu banyak yang harus
saya lakukan dalam mengelola blog dan media sosial saya. Berselancar terlalu
lama akan membuat saya banyak kehilangan waktu dan membuat saya tenggelam dalam
“ketidakjelasan”. Tahu sendiri, kan. Membaca feed di media sosial saja bisa menenggalamkan kita sehingga
menghabiskan waktu bermenit-menit hingga berjam-jam untuk menelusuri semua
informasi yang berseliweran.
Half Day
Basic Workshop itu
berlangsung pada tanggal 20 April
lalu, di Auditorium KH Muhammad Ramly yang terletak di lantai 3 Fakultas Teknologi Industri Universitas
Muslim Indonesia (FTI UMI). Penyelenggaranya adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, bekerja sama dengan Google News Initiative, Internews, dan FTI UMI.
Qodriansyah Agam Sofyan - Ketua AJI Makassar |
Saya
dan kawan saya – Abby Onety tiba di lokasi menjelang pukul 2 siang. Tak lama
kemudian acara dimulai, dengan sambutan dari Qodriansyah Agam Sofyan (Agam) – ketua AJI Makassar. “Akses internet mudah dijangkau dan
terkait hoax sulit ditahan
penyebarannya. Di sisi lain, media mainstream
yang diharap akurat dan kredibel malah jadi penguat hoax, fake news, dan false
news. Upaya ini bisa kita perangi dengan sejumlah tools di internet,” ucap Agam.
Sunarti
Sain (Una), jurnalis
senior yang kini aktif sebagai pemimpin redaksi Radar Selatan – menjadi nara
sumber pertama yang berbicara tentang program Google News Lab, “Google News Lab tahun ini melatih 1800 jurnalis
seluruh Indonesia agar bisa menggunakan tools
Google untuk melakukan verifikasi.” Seperti yang kita ketahui, dunia
digital “luar biasa gaduh” sekarang – demikian istilah yang digunakan trainer bersertifikat yang bekerja untuk
AJI Makassar dan Internews ini. Dengan demikian, informasi yang sampai akan
dikonsumsi banyak orang – baik itu “bergizi” ataupun tidak. Maka melalui
Halfday Basic Workshop ini, Google menjalankan misinya – bagaimana pengguna
internet memanfaatkan teknologi menjadi hal yang bermanfaat, bukannya yang
buruk agar yang tampil di halaman-halaman pencarian bukan merupakan informasi hoax.
Sunarti Sain (yang berdiri), Geril Dwira (duduk, paling kiri) |
“Karena
hoax selalu muncul,” kata Geril Dwira
(dari AJI Indonesia) – menjelaskan mengenai alasan Half Day Basic Workshop
“Hoax Busting and Digital Hygiene” penting diselenggarakan di 8 kota, termasuk
Makassar. Melalui half day workshop ini
pula diharapkan peserta dapat mengenal beragam jenis misinformasi dan disinformasi, memahami cara menyikapinya, dan
mampu melakukan verifikasi mandiri atas informasi yang meragukan.
Oya,
misinformasi adalah informasi yang salah dan orang yang membagikannya percaya
bahwa itu benar. Sedangkan disinformasi adalah informasi yang salah dan orang
yang membagikannya percaya kalau itu salah, malah sengaja menyebarkannya.
Sayang sekali, banyak yang sudah mendaftar tidak hadir. |
Korban
dari misinformasi ini bukan hanya orang yang “tingkat pendidikannya rendah”.
Orang yang pendidikannya tinggi pun bisa menjadi korban, bahkan seorang pejabat
sekali pun. Nah, ada 7 macam dis-misinformasi (konten hoax) yang harus diwaspadai:
- Satire/parodi. Lucu-lucuan, tidak ada niat untuk menyakiti tapi berpotensi membodohi.
- Konten yang menyesatkan (misleading). Konten yang dibuat sengaja untuk menyesatkan untuk membingkai sebuah isu atau untuk menyerang individu. Beritanya “dipelintir”.
- Misleading, bisa juga dengan menghubung-hubungkan, misalnya menghubung-hubungkan kedatangan presiden Jokowi dengan bencana yang terjadi di tempat yang didatanginya.
- Konten ASPAL. Seolah-olah sumbernya asli padahal palsu. Misalnya isu tentang vaksin yang memberitakan seorang dokter ahli padahal dia (yang konon bernama dr. Bernard Mahfoudz) bukanlah dokter yang sesungguhnya melainkan seorang aktor film porno (Johny Sins).
- Gak nyambung, antara judul berita, foto, caption, dan isi beritanya. Misalnya pada berita online berjudul Sidang Cerai Kedua, Veronica Bongkar Kebohongan Ahok.
- Konteksnya salah. Konteks aslinya dihilangkan, lalu disebar. Akibatnya orang menangkap informasinya di luar daripada yang sebenarnya.
- Konten manipulatif. Informasi asli atau kontennya dimanipulasi. Contoh yang diberikan adalah ketika seseorang berkostum Helloween dikatakan sedang menghina al-Qur’an padahal orang tersebut sama sekali tak melakukannya, dia sedang ber-helloween.
Contoh konten hoax yang pernah viral |
Lalu,
apa saja alasan dibalik mis-disinformasi? Ini dia 7 alasannya:
- Jurnalisme yang lemah.
- Buat lucu-lucuan.
- Sengaja membuat provokasi.
- Partisanship.
- Cari duit (click bait, iklan).
- Gerakan politik.
- Propaganda.
Makassar, 3 Mei 2018
Bersambung
ke tulisan selanjutnya, tentang tips melawan hoax
Share :
Dari judulnya saja biasanya akan terlihat kalau berita hox itu terlalu dilebihkan, hmm. Jadi harus waspada banget sama berita hoax.
ReplyDeleteYes, kalau sudah sering mengamati, jadi mudah terlihat ya, Mbak Nisa?
DeleteHoax itu ngeselin. Yang tadinya saya aman-aman aja makan kangkung, terus ada yg pamer foto 'bahaya makan kangkung' padahal saya udah tahu foto itu lama banget dan udah dibilang itu hoax.
ReplyDeleteHoax yang bikin gemash dan banyak yang mudah kena hoax, mana(yg kena) kalo dibilangin ngeyel (kalo itu hoax) pula hmm ku tak tau harus macam mana lagi
ReplyDelete