“Ada
yang duduk di kursi itu, Pak?” tanya saya pada seorang bapak yang berdiri di
antara para santri. “Ada. Ada orangnya di sini,” jawabnya.
Saya
menengok pesan WA. Ada yang baru dari pembina TPQ di mana Athifah belajar
mengaji. Saya pun bergegas menuju lokasi yang disebutkannya. Singkat cerita,
cukup lama juga baru kami bisa bertemu di antara ribuan orang. Athifah dan
teman-temannya – yang berasal dari TPQ yang sama duduk terpisah-pisah.
Pembinanya mengatakan, tadinya dia mengambilkan sederetan kursi untuk para
santrinya namun panitia menyuruh yang lain mengisi kursi-kursi yang kosong.
Yah, apa mau dikata. Suasana dengan lebih dari 3000 orang di dalamnya pastilah
disertai dengan chaos.
Acara
Wisuda Santri ini merupakan acara tahunan yang digelar Departemen Agama Kota Makassar.
Semua santri TPQ sekota Makassar diwisuda bersama-sama di sini. Mereka berusia
10 – 12 tahun dan sudah melalui ujian “bebas buta aksara al-Qur’an”. Saya
mengapresiasinya, penting juga sebuah instansi ataupun lembaga
menyelenggarakannya. Namun mengapresiasi bukanlah berarti seperti itu juga
pendapat saya pribadi.
Saya
mungkin anti mainstream. Tidak
menganggap seremoni sebagai yang terpenting. Lebih dari seribu enam ratus anak
diwisuda di satu sisi menjadikan situasi dan kondisi di saat seperti ini
menjadi tidak nyaman bagi anak-anak. Putriku mulai mengeluarkan erangan lirih,
"Sakit Kepala, Ma. Sakit kaki, Ma."
Mencarikan
kursi untuk Athfah butuh perjuangan. Karena dia tak mendapatkan kursi untuk
duduk maka saya mencarinya. Tak enak meminta kursi pada seorang ibu yang duduk
manis di dekat para santri. Padahal saya bisa saja melakukannya kalau saya mau
karena bukan hak pengantar duduk di situ. Pengantar ada tempatnya sendiri - di lapangan rumput yang di atasnya sudah didirikan tenda.
Hanya santri yang berhak duduk di kursi di tribun yang jumlahnya tak sebanding dengan jumlah manusia yang hadir di sana. Bayangkan, satu santri bisa diantar oleh lebih dari 1 orang, bahkan hingga 4 orang dan tak semua pengantar mau duduk cantik di bawah tenda. Sama halnya saya, mau berada di dekat putri saya! Maka saya harus berjalan kaki sekira dua ratusan meter, ke tempat para pengantar santri duduk untuk mendapatkan sebuah kursi kosong. Oh bukan, kursinya tidak kosong. Sebuah tas perempuan sedang duduk di situ. Kemungkinan pemiliknya - seorang ibu yang sedang menemani anaknya duduk di tribun. Di sekitar kursi itu ada seorang bapak yang sedang duduk melantai dan dua anak kecilnya.
Hanya santri yang berhak duduk di kursi di tribun yang jumlahnya tak sebanding dengan jumlah manusia yang hadir di sana. Bayangkan, satu santri bisa diantar oleh lebih dari 1 orang, bahkan hingga 4 orang dan tak semua pengantar mau duduk cantik di bawah tenda. Sama halnya saya, mau berada di dekat putri saya! Maka saya harus berjalan kaki sekira dua ratusan meter, ke tempat para pengantar santri duduk untuk mendapatkan sebuah kursi kosong. Oh bukan, kursinya tidak kosong. Sebuah tas perempuan sedang duduk di situ. Kemungkinan pemiliknya - seorang ibu yang sedang menemani anaknya duduk di tribun. Di sekitar kursi itu ada seorang bapak yang sedang duduk melantai dan dua anak kecilnya.
“Tabe’, Pak, ada yang duduk di sini?”
tanya saya sopan.
“Iyye, ada,” jawab bapak itu.
Saya
menghela napas namun tetap berusaha demi si putri mungil yang sudah mulai
merasa tak nyaman, “Anakku ndak dapat
kursi, Pak. Baru sakit mi kaki dan
kepalanya. Ngng, tapi ada yang duduk
di sini, dih?”
Si
bapak mengangguk. Tak ada harapan. Saya berbalik dan mulai melangkah kembali ke
tempat putri saya berada.
“Ambil
maki’,” si bapak rupanya tak tega dan
memberikan kursi itu untuk saya. Alhamdulillah.
Senang sekali mendapat rezeki tak terkira. Saya mengangkat kursi dan membawanya
kepada si putri mungil. Dalam hati saya berdo’a, semoga Allah merahmati bapak
itu dan keluarganya.
Tak
seperti biasanya saat menghdiri acara, kali ini saya tak menyimak seremoni apa
yang terjadi di atas panggung. Saya kemudian sibuk saling kontak dengan pembina
TPQ Athifah yang belum ketemu juga di mana posisinya saat itu. Sementara pikiran
saya mengembara, mencoba merenungi, hikmah apa yang bisa saya ambil dari event ini. Faktanya, kami sekarang
berada di sini, mengikuti keinginan mayoritas ibu-ibu santri TPQ dekat rumah
yang ingin melihat anaknya pakai baju wisuda dan toga.
Saya terus
mencari hikmah apa yang membuat saya berada di sini. Karena tanpa seremoni pun
saya menghargai upaya sungguh-sungguh si putri mungil melalui serangkaian
ujiannya menuju bebas buta aksara al-Qur'an. Saya berkali-kali mengatakan pada
anak-anak bahwa saya menghargai proses, bukannya hasil. Saya kira anak-anak
akan belajar pula bahwa hasil yang baik akan tercipta kalau proses yang dilalui
baik dan penuh kesungguhan. Saya ingin anak-anak belajar banyak dari semua
pembelajaran yang mereka jalani. Bukan sekadar bangga dengan toga dan baju
wisuda yang hanya kami sewa. Apalah arti kemampuan baca-tulis dan hafal kalau
tiba-tiba Allah menghendaki mengambilnya?
Yah,
mari kita lihat apa yang bisa kita pelajari di tempat ini, Nak. Yang jelas,
perhelatan akbar wisuda santri seperti ini bukanlah akhir. Bukanlah pencapaian fantastis. Perjalanan kita
masih panjang, yaitu tentang apakah dan bagaimana kau menjadikan kitab suci
kita sebagai pedoman hidupmu. Semoga Allah me-ridhai jalan kita hingga di akhir masa.
Makassar, 11 Mei 2018
Bersambung
Share :
Aah kuterharu :') Barakallah ya Athfah :) Semoga selalu mencintai Al-Qur'an. Aamiin :')
ReplyDeleteAamiin. Terima kasih Mbak Ade ^^
Delete