Selain
itu, ada Daeng Ical
– PLT Wali Kota Makassar yang retorikanya dalam sebuah acara yang saya hadiri
memikat saya – saya ingin kembali mendengarkannya berkata-kata, dan di acara
inilah peluangnya. Hal lainnya yang menarik adalah hadirnya Septiaji Eko Nugroho – pendiri sekaligus Ketua Masyarakat Anti Fitnah dan Hoax Indonesia
(Mafindo). Sebelumnya, saya sudah beberapa kali mendengar tentang Mafindo
dan cukup membuat saya penasaran. Tentang memerangi hoax, dua hari sebelum seminar ini saya menghadiri Half Day Basic
Workshop “Hoax Busting and Digital Hygiene” yang diselenggarakan oleh AJI
Makassar, bekerja sama dengan FTI UMI, Google News Lab dan Internews. Jadi,
rasanya saya memang berjodoh dengan acara yang diselenggarakan di Menara
Phinisi Universitas Negeri Makassar pada tanggal 22 April ini.
Namun
sayangnya, Daeng Ical berhalangan hadir. Yang mewakilinya adalah Jusman, S. Kel, M. Si – Kepala Seksi Aplikasi & Telematika
Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Kota Makassar. Jusman lebih banyak
mengemukakan sisi teknis dari teknologi yang dikawal Kominfo. Dalam proses
integrasi menjadi smart dibutuhkan
kesiapan mental, kelembagaan, dan kebijakan. “Perlu tabayyun,verifikasi,” ucapnya.
Baca
tulisan sebelumnya: Technology
for Education, Education for Technology, Lalu Siapa atau Apa yang Lebih Cerdas?
Jusman, S. Kel, M. Si |
Jangan
Mau Deal dengan HOAX
Berikutnya,
Septiaji Eko Nugroho tampil dengan presentasinya yang
berjudul Hoax in Indonesia and How to
Deal with It. “Saat ini terjadi perubahan besar-besaran terhadap landscape di media. Banyak koran yang
tutup. Perkembangan ini tidak bisa dilawan. Indonesia sangat mudah menerima
teknologi media sosial dan internet. Sayangnya, faktanya manusia lebih mudah
sebar fake news daripada yang benar –
ini ada penelitiannya, dari MIT,” ungkap pendiri komunitas yang sekarang sudah
tersebar di 17 kota di Indonesia dan memiliki 300 relawan ini.
Baca juga: 7 Macam Konten Hoax yang Harus
Diwaspadai
Menurut
Septiaji, masalahnya bukan hanya pada literasi. “Ada yang lain,” pungkasnya.
Banyak profesor dan doktor yang percaya hoax.
Tahu sendiri, kan, sekarang banyak artikel yang dikemasi secara meyakinkan,
artikel kesehatan sekali pun padahal belum tentu benar. Namun demikian, tidak
bisa dibantah jika tingkat literasi orang Indonesia masih rendah. “Hanya satu
tingkat di atas Botswana[1],”
kata Septiaji. Yes, menurut data
statistik dari UNESCO, dari total 61 negara, Indonesia berada di peringkat 60
dengan tingkat literasi rendah. Menyedihkan,
ya.
Adanya
polarisasi menjadi penyebab penyebaran hoax. Bagi sebagian orang, hal benar
sekali pun tidak akan diterima karena pemihakannya pada yang lain sudah semacam
taklid buta. Dampak berita hoax bisa fatal karena terjadi konflik
horizontal. Di Srilanka misalnya, terjadi kerusuhan massal yang kemudian
membuat Srilanka memutuskan menutup WA dan Facebook[2].
Baru-baru ini, ada orang yang dipukuli karena korban berita bohong di
Kalimantan Barat (isu gelandangan yang menculik anak-anak). Di Jawa Barat
baru-baru ini ada isu pengidap skizofrenia menganiaya ulama.
Berita
kesehatan pun ada yang hoax, seperti
mengenai stroke yang diatasi dengan
menusuk jari penderita. Tentang informasi ini, sudah ada korbannya. Korban dari
informasi bohong bisa jadi datang dari kalangan terpelajar. Jadi, jangan bangga
kalau kita menguasai satu bidang saja. Pandai di ilmu Teknik belum tentu pandai
di bidang literasi kesehatan dan finansial, kan?
Septiaji Eko Nugroho |
Padahal ada
enam literasi dasar yang harus dikuasai orang dewasa
menurut World Economic Forum, yaitu: literasi
baca tulis, literasi numerasi, literasi finansial, literasi sains, literasi
budaya dan kewarganegaraan, dan literasi teknologi informasi dan komunikasi
atau digital[3].
Nah,
bayangkan, bagaimana rusuhnya jika orang-orang yang kurang pandai dalam literasi-literasi
itu, bermasalah dalam kerukunan dan terpolarisasi kemudian mendapatkan
informasi hoax yang dibelanya
mati-matian? Indonesia potensial berkonflik. Ada 1340 suku, 746 bahasa daerah,
dan 5 agama besar, ditambah keberagaman lainnya. Maka terjadilah semakin tidak
toleran dalam perbedaan pandangan dan mudah curiga terhadap yang tidak
sependapat. Mereka yang berpendidikan tinggi pun bisa jadi korban.
Septiaji
menawarkan pendekatan multi pronged
dalam mengatasi ini:
- Cek fakta.
- Edukasi literasi.
- Gerakan silaturahmi.
- Gerakan tokoh agama/masyarakat.
- Advokasi (perbaikan regulasi).
- Penegakan hukum.
Septiaji
menceritakan bagaimana dia belajar dari Ambon yang perang saudara pada tahun
1999 – 2005. Waktu itu 5000 orang meninggal. “Hari ini masyarakat di sana
kebal. Tokoh agama, penduduk, etnis mau menurunkan ego. Jika ada isu, mereka
mau turun untuk klarifikasi bersama. Penegakan hukum langkah terakhir. Jangan dikit-dikit lapor polisi. Gunakan jalur
persuasi, solusi adat, dan lain-lain,” lanjut Septiaji lagi.
Ikut
menyebarkan hoax bisa membuat kita
memperkaya orang di balik situs hoax yang
mampu meraup 300 – 500 juta rupiah. Pandai-pandailah melakukan fact checking. Bisa kita gunakan
aplikasi Mafindo sebagai fact checker.
Namanya Hoax Buster Tools.
Blokir
HOAX dengan Senjata Ini
Sejalan
dengan yang diungkapkan Septiaji, Maman Suherman (Kang Maman) membuk hal-hal di
sekitar kabar hoax yang berseliweran
di sekitar kita. Menurutnya, hoax itu
produk keisengan atau kebencian. Orang bisa melakukan cara menghapus tahun
untuk menjadikannya informasi baru. Di Jakarta ada bisnis “jasa maki” ber-tag line “dosa kami yang tanggung”,
harganya 250 juta rupiah per bulan untuk hasil yang “wajar”.
Maman Suherman |
“Hoax itu dibuat oleh orang pintar yang
jahat, dibantu orang pintar yang ingin cari keuntungan, dan disebarkan oleh
orang baik yang bodoh. Tidak ada cara lain: HOAX?
BLOCK!” ujar Kang Maman. Memblokir adalah satu-satunya cara. Mengapa?
Berikut pemaparan Kang Maman …
Menyedihkannya,
berbuat baik saja dicurigai sedang melakukan pencitraan. Semacam “paranoia" akut, menilai pemberian bantuan
atau sumbangan suka rela sebagai pencitraan. Apalagi menjelang pilkada.
“Hoax dianggap sebagai kebenaran karena
tidak adanya teladan dari elite dan sosok yang sebenarnya bisa dijadikan
anutan. Malah elite yang maju pilkada bukan tidak mungkin adalah orang yang
maju pilkada untuk kepentingan popularitas dia. Karena yang penting dalam kontestasi demokrasi kan bukan benar tapi menang,” ungkap Kang Maman.
Data
dari Mastel menyebutkan bahwa hoax yang
menyebabkan rasa panik, tidak aman, bingung, dan pergeseran sosial, berasal
dari:
- Socmed (Fb, Twitter, Instagram, Path):
92,40%
-
Aplikasi chatting (Wa, Line, Telegram)
62, 80%
-
Situs web 34,90%
- TV
8,70%
-
Media cetak 5%
-
Email 3,1%
-
Radio 1,2%
Inilah
tempat-tempat bagus untuk berbisnis jasa maki. Tweet campaign untuk tujuan bagus bisa membayar jasa sebesar sejuta
rupiah. Untuk tweet “tidak bagus” ada
yang sampai dibayar sebesar 8 juta rupiah, tergantung jumlah follower. Wujud hoax bisa dalam: tulisan (62,10%), gambar (37,50%), video (0,40%).
Aish, kenapa saya tak bertanya, ya. Para penanya dikasih hadiah 😁 |
Kang
Maman pernah menjadi korban, ketika tayangan salah satu episode Indonesia Lawak
Klub usai tayang. Tayangan berjudul Berbeda Koq Saling Melaporkan itu ditayangkan
“versi baru” videonya di You Tube pada keesokan harinya setelah tayangnya. Di
video berdurasi 7 menit itu dibuat seolah-olah Kang Maman mengatakan sesuatu
tentang Habib Riziq – dengan menyelipkan gambar Habib padahal pada versi
aslinya tak demikian. Di sini bahayanya – ketika
fiksi dan fakta digabungkan.
Menurut
Kang Maman, ada upaya-upaya yang bisa kita lakukan agar tak masuk dalam pusaran
hoax, yaitu:
- Hati-hati dengan judul dan kalimat pembuka yang sensasional. Pada media cetak, ada juga berita yang judulnya dibuat sensasional. Kebenarannya baru ditemukan pada paragraf terakhir. Misalnya mengenai kecelakaan artis yang ternyata hanya adegan dalam film. Bagaimana jika di berita online? Media online biasa mengutamakan kecepatan daripada ketepatan dengan memberikan secuil informasi yang dibagi dalam 3 berita. Informasi mengenai kebenarannya baru diungkapkan pada artikel terakhir. Sayangnya, tanpa memasukkan kalimat yang seharusnya dimuat karena ada dalam Kode Etik Media Siber, yaitu: “Berita ini belum lengkap sehingga akan dikembangkan untuk mengejar berita selanjutnya.” Bayangkan bila dua orang sedang berkonflik dan kita baru membaca berita pertama tanpa membaca berita kedua. Maka yang terjadi adalah kebenaran hanyalah yang ada di berita pertama.
- Perhatikan alamat website. “Saya kalau jadi penguji skripsi, saya akan uji referensi dan foot note – daftar pustaka dia (mahasiswa). Kalau dia pakai website, saya akan kejar di situ. Jadi, baru satu pertanyaan sudah bisa nggak lulus: ‘Dari mana Anda tahu website itu memang berisi kebenaran dan berdasarkan data?’,” Kang Maman menjelaskan bahwa tidak semua website bisa dipercaya.
- Periksa faktanya. Cek, apakah faktanya mengandung 5W 1H atau tidak. Hati-hati, berita lama yang berjarak belasan tahun bisa saja dimunculkan kembali untuk mendukung peristiwa yang baru terjadi.
- Cek keaslian foto. Rekayasa foto bisa dilakukan siapa saja di zaman ini.
- Ikut dalam diskusi dan komunitas anti hoax. Kita harus menguasai 6 keliterasian. Tetapi jika mau bersaing dengan bagus, kita harus punya kemampuan komunikasi, creative thinking, critical thinking, dan kolaborasi. Kita tidak bisa menyelesaikan sendiri. Hoax banyak, orang baik bisa tenggelam beritanya. Maka kita butuh bekerja sama dalam hal ini.
Ada
hal yang penting lagi, yaitu mengenai elemen
parsipatoris. Betul adanya bahwa manifestasi demokrasi adalah partisipasi
tetapi jangan sampai berubah menjadi fundamentalisme
berbasis kebencian. Kang Maman bercerita mengenai bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki (tahun 1945) yang memakan korban 277.000 orang. Bandingkan dengan
kerusuhan di Rwanda saat Pilpres (pada tahun 1994) – antara suku Hutu dan dan
suku Tutsi, sebanyak 770.000 orang Tutsi terbunuh. Yang mana kerusuhan itu
bersumber dari hasutan bahwa suku Tutsi harus dibunuh karena keturunan iblis
dan seperti kecoak. “Betapa kata menjadi senjata yanglebih dahsyat daripada bom
atom sekali pun,” pungkas Kang Maman.
Selanjutnya,
segala pujian, juga kritikan tidak boleh
dilempar secara prematur, sebelum memastikannya dengan data yang
secermat-cermatnya, dan komparasi terhadap variabel yang relevan. Inilah
makanya dalam dunia jurnalistik, jurnalis harus berpedoman pada 9 ELEMEN
JURNALISME-nya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. “Bahwa berita itu harus mengejar
kebenaran. Yang kedua, komitmen harus pada kepentingan publik. Kemudian
disiplin verifikasi – tabayyun dan
konfirmasi. Independen terhadap sumber berita, dan mengutamakan hati nurani,”
Kang Maman menjelaskan mengenai 9 elemen jurnalisme.
Foto bersama |
Dalam
buku BLUR – Bill Kovach menambahkan “PROSUME” – produsen sekaligus konsumen.
“Kita ini produsen sekaligus konsumen informasi. Kalau Anda memproduksi hoax, bayangkan Anda di posisi konsumen.
Tega, nggak bohongin diri sendiri, bohongin keluarga hanya demi uang?”
Bill
Kovach juga mengatakan bahwa tabayyun itu
5 jenis, yaitu:
- Jangan menambah atau mengarang apapun. Jangan mencampuradukkan fakta dengan karangan. Fact is sacral but opinion is free tapi harus dipisah.
- Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar.
- Bersikap setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi. Kang Maman memberi contoh tentang silogisme yang sering digunakan komedian Cak Lontong. Bisa saja yang seperti ini dijadikan jalan masuknya hoax. Juga hati-hati dengan pernyataan semisal yang mengatakan “50 persen perempuan dalam ruangan ini tidak perawan” – cek, berapa orangkah itu? Jangan sampai hanya dua. Cek lagi, jangan sampai dari dua itu, yang satunya sudah menikah, makanya dikatakan “tidak perawan”. Hati-hati jika “mainan metodologi” seperti ini digunakan pecinta hoax.
- Pertebal empati di atas sakit hati agar kekacauan informasi tidak bertambah bahan bakarnya dan fragmentasi sosial karena pilkada tidak semakin menajam.
- Saring sebelum sharing. Menempatkan jempol dan lidah di belakang kepala dan akal budi.
Yang
paling menakutkan adalah bahwa benar pun
kita curigai kalau lawan – sebenar apapun dicurigai. Kang Maman menutup giliran berbicaranya
dengan mengutip hadits berikut:
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia BERKATA YANG BAIK ATAU DIAM. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Abu Hurairah).
Itulah kutipan hadits yang banyak diedarkan mereka yang mencoba melawan hoax. Kutipan yang seharusnya kita biasakan demi kebaikan. Kalau kata Kang Maman, “Kalau masih cinta negara ini.” Well, masih cintakah kita pada Indonesia? Kalau iya, berkata dan sebarkan yang baik atau diam.
Makassar, 11 Mei 2018
Selesai
Jangan lupa, simak juga tulisan sebelumnya, yaa:
- Technology for Education, Education for Technology, Lalu Siapa atau Apa yang Lebih Cerdas?
- 7 Macam Konten Hoax yang Harus Diwaspadai
- Tips Melawan Hoax dan Digital Hygiene
[1] Untuk
lebih jelasnya, silakan baca https://student.cnnindonesia.com/edukasi/20170910122629-445-240706/mengapa-literasi-di-indonesia-sangat-terendah/.
[2]
Baca tentang ini di https://internasional.kompas.com/read/2018/03/06/17583681/kondisi-darurat-ditetapkan-di-sri-lanka-menyusul-kerusuhan-sektarian.
[3]
Seperti yang dikatakan oleh Harris Iskandar - Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini
dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
Baca di link pada catatan kaki nomor
1 di atas.
Share :
saya masih harus belajar sbar nih utk ga share2 berita sebelum dicek..
ReplyDeleteSama, Mbak. Dan memang, sih. Menggunakan teknologi digital ini, kita tidak boleh berhenti belajar dan bakal belajar terus karena selalu saja ada hal baru, dan itu tadi, kita tidak menguasai semua jenis literasi jadi memang kudu hati-hati, belajar, dan bersabar menahan jempol. Yuk, sama-sama belajar.
DeleteMantap,,ada kakak sepupu gw, Pak Jusman..Dia terkenal dilingkungan keluarga sebagai salah satu org bijak dan cerdas..overall, informasinya sangat bermanfaat skli..
ReplyDeleteMenariikk bangeet mbaak artikelnya, presentase hoax paling tinggi berasal dari sosmed. jadi harus lebih bijaak lagi menanggapi setiap artikel, berita ataupun postingan. tidak asal share namun menelusuri kebenaran dan kevalidan artikel terkait :)
ReplyDelete