Zaman
kuliah dulu, kalau ada teman cowok bertandang ke rumah dan bertanya, “Boleh
merokok?” Maka dengan tegas akan saya jawab, “Boleh kalau Kau bisa simpan
sendiri asap rokokmu!” Maka teman tersebut urung mengeluarkan rokoknya. Yeah, dulu
saya terpaksa jadi perokok pasif sesekali karena lingkungan kampus yang
maskulin juga menjadi tempat para perokok mengembuskan asap rokoknya. Alhamdulillah,
setamat kuliah saya jauh dari asap rokok karena suami saya bukan perokok.
Begitu pun ayah, adik laki-laki, dan suami dari adik saya juga tidak merokok.
Rokok: Berbahaya
dan Membius
Sebenarnya
sudah banyak contoh kasus mengenai penyakit akibat rokok. Salah satunya adalah
yang dialami seorang anggota kesatuan elite militer yang berada di ruang ICCU
yang sama dengan ibu mertua saya ketika ibu mertua dirawat akibat serangan
jantung dua tahun lalu.
Lelaki
berbadan atletis berusia akhir 20-an itu tiba-tiba collapse dan terkena
serangan jantung. Pembuluh darahnya hampir saja menutup akibat efek buruk
nikotin. Padahal dalam kesehariannya dia adalah sosok yang rajin berolahraga
dan menjaga makanannya selalu sehat namun kebiasaan merokok tak dia hentikan.
Alhasil, sang perwira langsung mendapat tindakan angioplasty atau
pemasangan stent (cincin, kalau kata orang awam) dua buah sekaligus.
Dengan demikian, karir lapangannya tidak bisa berlanjut lagi padahal usianya
masih muda. Sayangnya, kasus itu tak menghentikan saudara ipar saya yang juga
menjaga ibundanya di ruang ICCU dari kebiasaan merokoknya.
Rokok
Harus Mahal
Begitu
berbahayanya rokok bagi kesehatan – website HaloSehat.com pernah merilis ada 39
penyakit berbahaya yang timbul akibat rokok maka orang-orang yang peduli akan
bahaya rokok mengampanyekan gerakan-gerakan untuk sehat. Salah satunya adalah
#RokokHarusMahal yang sudah 5 kali menyelenggarakan talkshow Radio
dengan 5 tema berbeda. Hari Rabu, 20 Juni lalu temanya adalah Selamatkan
JKN dan Kelompok Miskin, Rokok Harus Mahal. Talkshow yang merupakan program radio Ruang
Publik KBR ini disiarkan pukul 09.00 – 10.00 WIB melalui 100 radio
jaringan KBR
(Kantor Berita Radio) di seluruh Indonesia.
Nara
sumber yang dipandu oleh Don Brady pada talkshow
kali ini adalah Prof.
Dr. Hasbullah Thabrany, MPH – Ketua Pusat
Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan FKM Universitas Indonesia dan Yurdhina Meilisa – Planning and Policy Specialist Center for Indonesia’s
Strategic Development Initiative (CISDI). Pembahasannya adalah mengenai
kaitan rokok dengan alokasi dana BPJS dan kualitas generasi penerus bangsa yang
terancam kerdil otaknya.
Menarik untuk disimak karena pada tahun 2016, BPJS Kesehatan defisit Rp. 9 triliun dan pada 2017 diperkirakan rugi Rp. 12 triliun. Ironisnya, pemerintah seolah masih galau untuk menaikkan cukai rokok. Terbukti kenaikan cukai rokok hanya 10,14 persen.
Menarik untuk disimak karena pada tahun 2016, BPJS Kesehatan defisit Rp. 9 triliun dan pada 2017 diperkirakan rugi Rp. 12 triliun. Ironisnya, pemerintah seolah masih galau untuk menaikkan cukai rokok. Terbukti kenaikan cukai rokok hanya 10,14 persen.
Rokok
Ancaman Besar Bagi Warga Miskin
Mayoritas
peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) itu perokok. Parah lagi, mayoritas
peserta yang ekonominya kurang mampu, juga perokok. Mayoritas peserta yang yang
kita sebut sebagai PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) seperti tukang ojek, pekerja
tani, pekerja kasar yang tak berkantor, banyak yang doyan rokok. Klaim mereka
di BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) merupakan yang paling tinggi.
Jadinya menimbulkan masalah yang tidak kecil karena seperti yang disebut pak
profesor, “Dana di JKN yang memang terbatas, terserap oleh mereka-mereka yang
perilakunya tidak baik. Kalau tidak dilakukan kendali, maka ke depan, dana JKN
akan semakin tidak memadai.”
Maka,
CARA EFEKTIF untuk mengatasinya, lanjut pak profesor, “Yang terbukti di dunia,
telah diuji, adalah menaikkan harga rokok. Kalau harga rokok itu naik, seperti
hukum ekonomi, konsumsi akan turun sedikit, tapi tidak berhenti, karena mereka
sudah nyandu. Jadi akan ngurangin sedikit, pelan-pelan in syaa Allah
dalam waktu 20-30 tahun akan lebih terkontrol.”
Wih,
saya setuju ini. Saya tinggal di lingkungan yang banyak golongan ekonomi
menengah ke bawahnya. Di warung sebelah, sering saya lihat anak-anak membelikan
ayah mereka rokok. Melihat anak-anak usia sekolah dasar hingga usia remaja merokok
pun sering. Bagaimana tidak, harga rokok terlalu murah, bisa seribuan rupiah
saja per batangnya!
Dari talkshow
bertajuk Selamatkan JKN dan Kelompok
Miskin, Rokok Harus Mahal terkuak bahwa trend data dari survei SUSENAS
menunjukkan bahwa trend pada umumnya pada laki-laki, perokok itu ada 64
- 70%. Nah, pada kelompok miskin angkanya di atas 70%. Menyedihkan, ya. Justru
kelompok miskin di Indonesia sangat royal membelanjakan uangnya untuk rokok. Boleh
dibilang penduduk miskin inilah yang menyumbang orang terkaya di Indonesia.
Orang terkaya di Indonesia itu justru konglomerat rokok. Dari data SUSENAS pula,
dari survei populasi, menunjukkan kelompok yang pendidikannya lebih tinggi,
kelompok yang pendapatannya/penghasilannya lebih tinggi malah mengonsumsi rokok
lebih sedikit dibandingkan dengan yang orang miskin.
Rokok:
Memiskinkan dan Mengerdilkan
Lebih
menyedihkan lagi karena akan berhubungan dengan kualitas generasi bangsa yang dihasilkan.
Profesor Hasbullah Thabrany mengatakan, “Kajian-kajian terdahulu oleh
kawan-kawan di Kementerian Kesehatan, juga di UI, menunjukkan bahwa beban
biaya rokok itu kira-kira 3 ½ sampai 4 kali lebih banyak dari penerimaan negara
dari cukai rokok. Jadi sebenarnya kita defisit.”
“Data
terbaru yang dikeluarkan oleh bank dunia beberapa minggu yang lalu. Di situ
tertulis jelas sekali bahwa kita rugi sekitar 1,2 miliar dolar,” imbuh Yurdhina
Meilisa yang akrab disapa Mbak Ica.
Sebenarnya,
untuk jangka panjang, untuk biaya berobat, lalu kehilangan produktifitas tidak
dihitung sebagai beban negara. Belum lagi yang lebih parah adalah karena merokok
terbukti mempengaruhi pertumbuhan anak. Anak bisa jadi kerdil secara fisik dan
otaknya.
Lawan pengerdilan akibat rokok. Foto: Pixabay. |
“Ini
yang lebih berbahaya. Kalau kerdil otaknya, maka anak-anak kita tidak bisa jadi
sumber daya, tetapi jadi beban masyarakat, beban negara, karena dididik pun
susah. Karena kapasitas otaknya, ibarat komputer chip-nya mash Pentium
1. Kalau dididik dengan software yang sekarang ya hang, gak
bisa. Akibatnya bagaimana mau bersaing dengan bangsa-bangsa lain, ini resiko
masa depan bangsa yang kita tidak pahami sekarang,” tandas pak profesor lagi.
Berhubungan
dengan hal ini, data lain disampaikan oleh Mbak Ica, yaitu bahwa data IFLS (Indonesia
Family Life Survey) menunjukkan 22% per kapita pendapatan mingguan masyarakat
miskin itu dipakai untuk rokok. Selain itu ada data yang dianalisa dari tahun
1997 – 2014 mengenai konsumsi keluarga di rumah tangga yang kepala keluarganya merokok.
Pada periode itu kenaikan konsumsi rokok dibarengi dengan penurunan konsumsi
daging dan juga ikan. “Jadi kita lihat bahwa ada substitusi dari yang tadinya
dipakai untuk membeli makan dan kebutuhan keluarganya kemudian dipakai untuk
membeli rokok,” tandas Mbak Ica.
Ancaman
Bahaya Terhadap Bonus Demografi Indonesia
Nah,
kalau dihubungkan dengan bonus demografi[1],
hal ini sungguh menyeramkan. Pada ajang Side Event Forum Kawasan Timur
Indonesia bertajuk Peran Pemuda dalam Pembangunan yang saya hadiri
pada bulan November tahun 2015, Margareth Sitanggang dari UNFPA (United Nations
Population Fund), pendukung utama acara ini memaparkan bahwa:
Pada sensus penduduk tahun 2010, sebanyak 65 juta jiwa, 28%
dari penduduk Indonesia adalah generasi muda usia 10 – 24. Pada tahun 2025 –
2030 mendatang, saat terjadi bonus demografi, bila tak disikapi dengan baik,
jumlah penduduk remaja yang jumlahnya akan sangat besar ini dampaknya akan tak
baik, bahkan menjadi bencana.
Merokok
pada usia muda harus mendapatkan perhatian serius. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan
kebiasaan buruk merokok meningkat pada generasi muda. Prevalensi remaja usia
16-19 tahun yang merokok meningkat 3 kali lipat dari 7,1% di tahun 1995 menjadi
20,5% pada tahun 2014. Mengerikannya, usia mulai merokok menjadi semakin muda
(dini). Perokok
pemula usia 10 – 14 tahun meningkat lebih dari 100% dalam kurun waktu kurang
dari 20 tahun, yaitu
dari 8,9% di tahun 1995, naik hingga 18% pada tahun 2013.
Bonus
demografi adalah isu yang serius. Anggota DPR Komisi IX, Surya Chandra, dalam
Seminar Nasional Masalah Kependudukan di Indonesia, Kamis (22/4/2010) di
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta memaparkan bahwa jumlah usia
angkatan kerja (15 – 64 tahun) pada 2020 – 2030 akan mencapai 70%, sedangkan 30%-nya
adalah penduduk yang tidak produktif. Dilihat dari jumlahnya, penduduk usia
produktif mencapai sekira 180 juta, sementara yang nonproduktif hanya 60 juta.
Dengan demikian tingkat penduduk produktif yang menanggung penduduk
nonproduktif akan sangat rendah, yakni 44 per 100 penduduk produktif pada 2020 –
2030.
Nah,
terbayangkankah oleh kita jika 44 orang yang menanggung 100 orang ini
didominasi oleh orang-orang yang – meminjam istilah Profesor Hasbullah –
OTAKNYA KERDIL? Terbayangkankah seperti apa masa depan bangsa ini?
Dukung
Gerakan #RokokHarusMahal
Oleh
karena itu, mari kita dukung #RokokHarusMahal #Rokok50ribu. Supaya para kepala keluarga dari
golongan miskin berhenti merokok, juga anak-anak mereka terhindar dari rokok
karena harganya mahal. Pengeluaran sekira Rp. 50.000 – Rp. 300.000 per bulan
untuk rokok lebih baik dialokasikan untuk kebutuhan lain yang menunjang tumbuh-kembang
anak. Dengan menaikkan harga rokok sebungkusnya hingga Rp. 50.000 – kalau bisa
lebih dari itu maka mereka akan terpaksa berhenti merokok. Diharapkan dengan
demikian kesehatan meningkat, tumbuh-kembang anak menjadi lebih baik. Di samping itu JKN pun terselamatkan. Dukung
gerakan ini dengan menandatangani petisi "Rokok Harus Mahal" di http://change.org/rokokharusmahal. Selamatkan bangsa kita dari
kualitas buruk jika tiba saatnya menuai bonus demografi!
Makassar, 26 Juni 2018
Nantikan
serial talkshow #RokokHarusMahal episode 6 hari Rabu 27 Juni,
selanjutnya episode 7 dan 8 di pekan-pekan berikutnya di jaringan KBR seluruh Indonesia. Bisa disimak streaming-nya di KBR.id / KBR Apps atau tonton di FB Live Kantor Berita Radio-KBR.
Tambahan
referensi:
- http://kbr.id/berita/06-2018/selamatkan_jkn_dan_kelompok_miskin__rokok_harus_mahal/96402.html
- https://halosehat.com/penyakit/sumber-penyakit/penyakit-akibat-merokok
- https://www.mugniar.com/2015/12/pemuda-pemuda-aktif-dan-kreatif-dalam-isu-bonus-demografi.html
- https://nasional.kompas.com/read/2010/04/22/11094631/Indonesia.Dapat.Bonus.Demografi
- http://www.depkes.go.id/article/print/16060300002/htts-2016-suarakan-kebenaran-jangan-bunuh-dirimu-dengan-candu-rokok.html
Tulisan
ini diikutkan Lomba Blog Selamatkan JKN dan Kelompok Miskin, Rokok Harus Mahal
[1] “Bonus
demografi adalah bonus yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya
proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi
kependudukan yang dialaminya”. Sumber: fan page FB BKKBN.
Share :
Rokok mahal adalah salah satu metode untuk mengendalikan konsumsi rokok..
ReplyDeleteSalam hangat bunda
Kakve-santi(dot)blogspot.com
Sedih memang kalau melihat kenyataan bahwa perokok aktif lebih banyak dari kalangan yang kurang "aman" secara finansial. Sudah gitu nggak ada kesadaran sedikit pun dengan risiko yang ditimbulkan :(
ReplyDeleteSetuju banget sama judul dan isi dari tulisan ini, kebayang deh kalau harga rokok masih dibuat murah seperti dulu, sekarang juga kayaknya masih kurang mahal. Dahulu pas masih tinggal di rumah orang tua saya juga terpkasa jadi perokok pasif, karena papah merokok. Alhamdulillah semenjak menikah rumah saya dan paksu bebas asap rokok, bahkan kami tidak menyediakan asbak rokok sama sekali. Baca data demografik di atas aja udah ngeri-ngeri sedep gemana, bagus nih kalau ada kampanye terus menerus agar generasi muda masa depan bisa sadar akan bahayanya.
ReplyDeletePaling malas klo ada yg merokok dintempat2 umum. Asapnya itu loh, kan lebih bahaya dari yang merokok (perokok pasif). Setunu banget klo rokok tuh harus mahal
ReplyDeleteProgramnya hampir sama dengan plastik yg berbayar dii kak dulu, sengaja dimahalin biar kurang penggunaannya. Saya paling gak suka rokok atau ada di dekat orang merokok, papa saya gak merokok dan alhamdulillah dapat suami dan ipar-ipar yang tidak merokok heheheh
ReplyDelete