Pak
Alwy Rachman (akademisi Universitas Hasanuddin dan budayawan), seperti biasa
mengajak berkontemplasi. Mengembalikan pesan buku ke dalam diri kita melalui
pertanyaan-pertanyaan 3 what (3
“apa”) berikut ini:
- Apa sebenarnya yang bisa kita pelajari dari buku ini?
- Apa dampaknya terhadap kita, apakah berdampak pada orang lain?
- Kita mau apa?
Tutur
Pak Alwy tidak hanya seputar pandangan filusuf dan budaya bahwa perempuan itu
kuat namun juga mengenai definisi perubahan dan segala sesuatu terkait
perubahan.
Kak
Ema Husain (Husaima Husain) yang aktivis SPAK (Saya Perempuan Anti Korupsi)
juga tidak hanya mengupas isi buku. Kak Ema pada akhirnya berbagi kisahnya dan
melemparkan bahan diskusi baru kepada Pak Alwy dengan gaya interaksi yang membuat
saya terpesona. Walaupun topiknya serius, diskusi ini tidak berlangsung dengan
serius apalagi tegang. Ada guyonan-guyonan segar terselip sepanjang diskusi.
Tantangan
Perubahan pada Diri Seorang Perempuan
Ketika
memutuskan untuk berubah dari zona nyaman yang diwarnai perilaku koruptif, Kak
Erma tidak melalui jalan mudah. Mula-mula harus menundukkan diri dulu,
membiasakan diri berjam-jam antre (untuk urusan KTP misalnya) padahal dulu
tinggal telepon bisa melenggang masuk sebagai “orang penting” dan mengambil hak
banyak orang yang sudah lebih dulu antre. Tawaran memotong antrean pun
ditolaknya, sebagai konsekuensi dari pilihannya.
Kak Ema, Pak Alwy, dan Kak Luna |
Kak
Ema yang dulunya kalau ke kantor gubernur tinggal menghadapkan wajah ke arah
CCTV maka dengan segera panggilan datang, sekarang rela antre berjam-jam
menunggu giliran. Yang dulu mudah saja mendapatkan uang dalam jumlah besar,
sekarang harus bertanya kembali mengenai jumlah uang yang diterima sudah sesuai
prosedur atau tidak. Tak mudah pada awalnya namun kemudian Kak Ema berhasil menundukkan
dirinya.
Selanjutnya
bukan semata pujian yang diperolehnya, ada yang mencibir, menganggapnya munafik.
Atau bercerita di belakangnya karena tak lagi memberi hadiah kepada guru-guru
anaknya. Bukan tanpa alasan, menurut Kak Ema pemberian hadiah kepada guru itu
berimplikasi kepada perilaku guru kepada anak-anak muridnya, hal ini bisa
dibuktikan.
Lalu
butuh diskusi panjang dengan suami untuk sama-sama berubah dan menjaga
idealisme. Mungkin menjadi lebih miskin secara materi tetapi secara psikis,
perubahan ini tidak bisa ditukan dengan apapun. Meski tak dikatakannya
secara gamblang, saya kira Kak Ema merasa lebih bahagia menjalani kehidupannya
yang sekarang. Menurut Kak Ema: “Perubahan dari diri sendiri bisa memengaruhi
keluarga, lalu lingkungan.”
Menjawab
pertanyaan mengenai perempuan, kemiskinan, dan kemalasan – Kak Ema berucap, “Struktur
kemiskinan itu bukan karena miskin dan malas atau dia malas karena dia miskin
tetapi juga karena dimiskinkan. Proses memiskinkan ada yang terstruktur.
Bagaimana ketidakmampuan perempuan mengakses sumber-sumber daya. Siapa yang
lebih cepat miskin? Laki-laki atau perempuan? Perempuan lebih cepat miskin.
Hadirnya kemiskinan ini karena adanya sebuah struktur yang dihadirkan oleh
kekuasaan dan membuat perempuan terjebak dalam kemiskinan. Dalam kondisi
miskin, laki-laki lebih cepat move on. Perempuan tidak karena banyak
kondisi di sekitar dia. Dia harus menyelesaikan semua sudut di sekelilingnya. Perempuan
misalnya memikirkan besok bagaimana dan lain-lain.”
Saya teringat penjelasan Pak Alwy mengenai aktivasi bahasa pada perempuan itu ada pada kedua belah bagian otaknya (kiri dan kanan). Bila ada masalah, telaah perempuan terkait kerja dua belahan otaknya. Mungkin tak dibahasakannya secara lisan atau tulisan tetapi secara “bahasa kalbu”. Sebagai perempuan, saya juga merasakannya sendiri, hehe.
Perubahan
Perilaku dan Sistem
Terkait
mengubah perilaku, Pak Alwy memulai dari area domestik dan publik, “Domestik
itu lawan dari konsep publik. ‘Publik’ itu sama sekali tidak merujuk ke orang
banyak. Publik adalah wadah untuk bertindak secara adil sebagaimana domestik.
Karena di publik banyak orang, banyak identitas maka publik tidak bisa dikuasai
oleh sekelompok orang. Masak hanya satu agama yang boleh demo yang lain tidak?
Masak kamu kasih kawin dan tutup jalan? Bagi banyak orang itu tidak adil.”
“Tidak ada bedanya dengan domestik. Domestik itu juga harus adil hanya saja kepentingannya keluarga, primordial. Masyarakat kita tidak terlatih untuk memahami publik. Jadi kadang-kadang ada di wilayah publik tapi mentalnya domestik. Atau dia di domestik tapi mentalnya publik. Misalnya di jalan raya mengemudi seperti mengemudi di dalam rumahnya sendiri. Dia yang salah, dia yang lebih dulu marah seolah rumahnya. Ini menjadi soal kita, bagaimana memahami hal itu,” imbuh Pak Alwy.
Kata
Pak Alwy, perilaku
itu harus diubah lewat sistem. Contohnya sistem di bandara yang berliku-liku sehingga memperlambat
manusia tiba di tempat barang. Kita puji karena sampai di tempat barang, barang
kita sudah tiba juga. Di dunia ini ada kebenaran yang imperatif. Ada yang
legalistik. Misalnya hukuman mati adalah kebenaran yang dilegalkan. Sistem
mempengaruhi perilaku. Biasanya Begitu kalau kita berpikir sistem. Makanya ada
yang bilang system
influence behaviour. Jadi, sistem itu sebenarnya memengaruhi perilaku.
“Kenapa jalan raya kita seperti
revolusi saja rasanya?
Karena ndak ada sistemnya.
Ketika marah:
tabrak, belok semau-maunya.
Karena
tidak ada sistem yang memengaruhi
perilaku,”
Pak Alwy memberi contoh lain.
Hello, we are heroes! |
Perubahan
itu dimulai dari individu yang berkesadaran. Tanda-tandanya sadar. Orang yang
sadar tidak akan bersuara tanpa wacana. Orang yang sadar itu sampai di wacana.
Suara ➨ bunyi ➨ kata ➨ gagasan ➨ wacana
Sejarah
Yunani tidak memasukkan perempuan dan anak-anak sebagai konstituen karena waktu
itu perempuan tidak punya gagasan, hanya suara saja.
“Lalu apa bedanya dengan kucing? Kucing kan hanya suara saja. Hewan tidak sampai pada kata, hanya suara saja. Dia tidak bisa bertindak membangun peradaban karena tidak bisa sampai kepada wacana. Kalau perempuan hanya bersuara tapi tidak berwacana maka bisa dituduh oleh para filusuf: ‘Apa bedanya dengan binatang?’ Laki-laki juga begitu,” Pak Alwy menegaskan lagi.
Itu sejarah
Yunani. Di Indonesia sekarang banyak sekali perempuan terdidik. Contohnya menteri
perempuan kita hebat-hebat.
Nah, setelah wacana membawa
perubahan,
perempuan mau diposisikan
sebagai hero atau wisdom?
Kenapa
kita di dunia ini berkecenderungan menjadi pahlawan? Di segala ranah kita lebih
mencari pahlawan. Di dunia politik, ekonomi, kelaki-lakian yang dicari adalah pahlawan.
Padahal menurut Galileo Galilei, “Pahlawan itu adalah tanda-tanda masyarakat
yang sedang sakit.”
Sang Bijak tak perlu lampu sorot. |
“Tidak
mungkin kita tidak cari pahlawan kalau kita sedang tidak sakit. Karena sakitnya
kita maka kita cari pahlawan. Maka gampang mencari masyarakat sakit, selalu
mencari pahlawan. Yang mestinya dicari adalah wisdom – sang bijak,” pungkas
Pak Alwy Rachman.
Makassar, 27 Agustus 2018
Mau
jadi hero atau wisdom? Mari kita renungkan, apakah kita mementingkan berada di
bawah lampu sorot super terang dan semua orang memandang ke arah kita sembari
bertepuk tangan riuh? Ataukah kita tak peduli bila tak kena lampu sorot, tak
menjadi bahan berita ataupun cibiran dan tetap melangkah menyusuri kehidupan dengan
konsisten pada nilai-nilai kebaikan?
Simak juga tulisan mengenai diskusi buku ini di:
Share :
Wah, keren tulisannya kak ^_^
ReplyDeleteTerima kasih, Wani
DeleteYah itulah sistem dan saya tahu betul bagaimana rumitnya berada dalam pusaran itu. Butuh keimanan yang tinggi dan keikhlasan melepaskan ego agar dapat terlepas dari sistem yang membelit. Dan itulah sekarang yang saya coba perjuangkan. Berangkat dari diri sendiri.
ReplyDeleteYang paling sulit adalah melawan diri sendiri, ya Kak
DeleteSuper sekali Kak..jadi terinspirasi dan tetap konsisten dalam kebaikan.
ReplyDeleteSalam
Terima kasih, ya sudah mampir. Ucapan yang sama untuk Sahyul.
DeleteLengkap reportasenya. Baca tulisan ini rasanya ikut hadir di eventnnya
ReplyDeleteKak Ema itu hebat ya, bisa punya prinsip gak kaso hadiah ke guru anaknya. Kalo saya sih ngasih hadiah semisal ole2 kalo anak dari liburan, saya pikir wajar aja sebagai tanda sayang dan perhatian kepada guru
ReplyDeleteWah jadi terinspirasi kak...
ReplyDeleteSaya fokus ke perempuan yang lebih berpotensi cepat miskin karena punya hambatan mengakses sumber daya, sudah begitu kalah cepat lagi sama laki-kali dalam ber move on. Tapi kalau saya pribadi jadi perempuan itu banyak anugerah kelebihan yang justru bikin kita tidak harus miskin atau kelihatan miskin.
ReplyDeleteWah, bakalan panjang kali lebar inii kalau diulas. Kak Mugniar memang jagonya menulis reportase. Lengkap, detail dan bikin kita tergerak untuk bertindak. Sangat informatif kakaaa.
Wuihhhhh shock ka ttg memiskinkan wanita dan menjauhkan mereka dari segala sumber daya betul juga itu di tawwaa .. uhuhu . Makasih sharing tulisannya kak Niar . Selalu ada pengetahuan baru
ReplyDeleteSebuah sistem dibuat dengan maksud untuk memperbaiki prilaku dan membuat sebuah proses kerja menjadi lebih baik, secure dan berpola. Sayangnya banyak orang yang merasa punya kuasa suka memotong jalur yang telah ada. Semoga kita bisa berproses jadi manusia yang lebih baik, seperti contohnya Ibu Emma ditulisan di atas.
ReplyDelete