Sebelum cerita tentang materi yang
disampaikan oleh Ibu Tatiana, saya share dulu mengenai Peraturan Pemerintah
terkait pendidikan inklusi di negara kita, ya. Tentang ABK (anak berkebutuhan
khusus), disabilitas/difabel, sekolah inklusi, dan peraturan pemerintah daerah
Sulawesi Seelatan (Pergub) Nomor 5 Tahun 2016 silakan baca di dua tulisan
sebelumnya: Menaruh
Asa pada Pergub untuk Sekolah Inklusi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus dan
Peran
Guru Pendidikan Khusus Bagi Sekolah Inklusi.
Begini,
berdasarkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009, dalam menerapkan
pendidikan inklusi harus memperhatikan 8 komponen berikut ini:
- Peserta Didik bahwa sasaran pendidikan sekolah inklusi adalah semua peserta didik baik sebagai anak berkelainan maupun siswa reguler.
- Kurikulum – bahwa kurikulum yang digunakan pada dasarnya menggunakan kurikulum standard nasional yang berlaku di sekolah umum namun untuk ABK dimodifikasi sesuai kebutuhanya.
- Tenaga Pendidik yang meliputi guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru pembimbing khusus atau guru pendidikan khusus (GPK). GPK adalah guru yang tugasnya memberikan layanan khusus, mendampingi dan memberikan bimbingan secara berkesinambungan kepada siswa yang berkelainan selama mengikuti proses belajar mengajar di sekolah.
- Kegiatan pembelajaran meliputi perencaaan, pelaksanaan, dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam proses belajar mengajar.
- Penilaian dan sertifikasi, bahwa penilaian dalam lingkup inklusi ini mengacu pada model pengembangan (modifikasi) kurikulum yang dipergunakan.
- Manajemen sekolah, bahwa sekolah mempunyai kewenangan untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi semua hal-hal yang berkaitan dengan penyeleggaran pendidikan inklusi di sekolah tersebut.
- Penghargaan dan sanksi, bahwa penghargaan akan diberikan kepada sekolah yang meraih prestasi dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, dan sebaliknya sanksi akan diberikan kepada sekolah yang dianggap lalai dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi.
- Pemberdayaan masyarakat, bahwa untuk dapat menyelenggarakan pendidikan inklusi yang ideal tidak akan terlaksana tanpa adanya partisipasi dan dukungan dari masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Jelaslah,
bisa kita lihat dari peraturan di atas bahwa dibutuhkan dukungan dari semua
pihak agar pendidikan inkluasi bisa berjalan sebagaimana mestinya. Nah, materi Ibu
Tatiana Meidina yang berjudul Peran dan Tanggung Jawab Guru Kelas, Guru Bidang Studi, Orang
Tua, dan Masyarakat dalam Pendidikan Inklusif menjelaskan tentang hal ini.
Ibu
Tatiana memulai materinya dengan memaparkan mengenai kendala-kendala dalam
penerapan sekolah inklusi. Adapun kendala-kendala yang ditemukannya adalah:
- Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi.
- Terbatasnya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki para guru sekolah inklusi.
- Sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan.
- Persoalan teknis di lapangan yang makin memperberat beban guru di kelas dan juga sekolah.
Ada
beberapa point penting yang digarisbawahi Ibu Tatiana terkait tanggung jawab kita dalam mewujudkan sekolah inklusi:
Mengenai guru
pendidikan khusus:
GPK
seharusnya bekerja sama dengan guru kelas. ABK bukan sepenuhnya tanggung jawab
GPK ketika berada di dalam kelas namun tetap merupakan tanggung jawab guru
kelas.
Mengenai kepala
sekolah inklusi:
Kepala
sekolah adalah penanggung jawab dan pelaksana pendidikan inklusi. Kepala
sekolah hendaknya membuat pertemuan serta menjembatani antara guru kelas, guru
mata pelajaran, GPK, orang tua, dan ahli lain (jika dibutuhkan) dalam menyusun
program pembelajaran bagi siswa ABK.
Guru kelas:
Guru
kelas bekerja sama dengan GPK dalam memfasilitasi ABK dalam hal
mengidentifikasi anak, meng-assess anak hingga menyusun Program
Pembelajaran Individual (PPI) dengan memodifikasi kurikulum bagi ABK yang
bersangkutan. Guru kelaslah yang menciptakan iklim belajar yang kondusif bagi
para siswanya, mengadakan penilaian untuk semua mata pelajaran yang menjadi
tanggung jawabnya, dan memberikan remedial atau pengayaan atau
percepatan bagi merek yang membutuhkannya.
Orang tua, terkait
keberadaan anak berkebutuhan khususnya:
Menghadiri
setiap pertemuan yang diselenggarakan sekolah, membantu sekolah menyelesaikan
masalah, melakukan komunikasi yang intensif dengan guru dan kepala sekolah,
bekerja sama dengan komite sekolah atau pihak lain dalam pengadaan sumber
belajar, aktif bekerja sama dengan guru dalam proses pembelajaran, aktif dalam
memberikan ide/gagasan dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran.
Masyarakat:
Hambatan
utama dalam hidup ABK itu bukan dari kekhususannya melainkan dari sikap masyarakat
yang negatif dan tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkembang.
Harapan untuk ABK di
sekolah inklusi
Diharapkan
anak berkebutuhan khusus suatu saat bisa belajar tanpa GPK-nya atau lepas dari
GPKnya dan bisa bersosialisasi sendiri dengan kawan-kawannya. Keberadaan GPK
tidak dimaksudkan untuk selalu menyertai siswa khususnya. GPK tidak diharapkan naik
kelas setiap siswanya naik kelas atau ikut ke jenjang SMP setamatnya dari SD
misalnya. Diharapkan tidak selalu GPK berada di samping ABK.
Berapa jumlah siswa
berkebutuhan khusus yang wajar dalam sebuah sekolah inklusi?
Presentase
siswa ABK di dalam kelas inklusi adalah 2 atau 3 persen dari jumlah siswa. Jumlah
1, 2, atau 3 persen jumlah siswa ABK dalam satu kelas sudah memenuhi syarat
sebuah sekolah dikatakan sebagai sekolah inklusi.
Dari
3 tulisan saya mengenai sekolah inklusi sampai hari ini (berdasarkan pemaparan
dari kedua nara sumber dari sosialisasi mengenai sekolah inklusi juga), bisa
dilihat bahwa sebenarnya sudah ada patron yang bisa diikuti untuk menjalankan
peran sebagai sekolah inklusi. Tak menuntut banyak pula, jumlah siswa ABK untuk
sebuah sekolah inklusi tak perlu banyak. Seperti yang dikatakan oleh Ibu
Tatiana di atas, yaitu 1 – 3% dari total siswa sudah memenuhi syarat sebagai
sekolah inklusi, bukannya sampai 30 apalagi 50%. Tinggal bagaimana komitmen
kepala sekolah dalam usahanya menuju pendidikan yang lebih baik untuk
Indonesia.
Makassar, 15 Agustus 2018
Baca juga tulisan-tulisan berikutnya:
- Menaruh Asa pada Pergub untuk Sekolah Inklusi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
- Peran Guru Pendidikan Khusus Bagi Sekolah Inklusi
Share :
semoga pendidikan di Indonesia makin meningkat dan merata tanpa membeda-bedakan anak yang berkebutuhan khusus kak
ReplyDeleteWow, panjang dan detail tulisannya kak, seperti biasa
ReplyDeleteTulisannya menambah pengetahuan saya ^_^
ReplyDeleteBerharap kebijakan pendidikan yang benar2 menyentuh tanpa pandang bulu.
ReplyDeleteBetul sekali yang membuat ABK menjadi "tersingkir" adalah anggapan masyarakat dan ketidakpedulian terhadap keberadaan mereka. Padahal jika kita mau menerima dan menganggap mereka biasa saja, sama seperti anak-anak lainnya bisa jadi mereka lebih berprestasi dan lebih sukses. Makanya saya selalu menganggap kehadiran mereka biasa saja, tidak mau terlalu "perhatian" karena bisa jadi perhatian lebih malah akan menyulitkan mereka. Anggap saja mereka sama saja dengan anak lainnya walupun mereka membutuhkan perhatian khusus dalam arti yang lain.
ReplyDelete