Menuju
ke sebuah tempat yang berjarak 3,2 kilo meter dari rumah, saya sampai butuh
waktu selam ahampir dua jam karena melalui kemacetan di beberapa titik. Syukurnya,
driver Go-Car yang saya tumpangi lumayan sabar meski agak geregetan
karena belum makan dan belum shalat zuhur. Untungnya saya sudah shalat
zuhur sebelum berangkat tadi.
Well, saya tak hendak membahas tentang
cerita kepergian saya ataupun berceloteh
menyalahkan pihak lain. Sebab
menyalahkan tak menjadi solusi dan
malah membuat kita bisa terjebak menyalahkan Tuhan.
Paling bagus memang menerima keadaan seperti ini
sebagai ujian menjadi warga kota metropolitan.
Yang hendak
saya ceritakan di sini adalah respon dari seorang driver Go-Ride yang
saya dapatkan ketika memesankan anak bujang saya Go-Ride. Rencananya mau minta
menjemput si anak bujang dari sekolahnya untuk pulang ke rumah.
Seperti
biasa, ketika aplikasi sudah mendapatkan driver, saya segera chat nama
dan nomor HP anak sulung saya. Seketika itu HP saya berdering. Rupanya si driver
yang menghubungi.
“Bu, kita’
lihat ji di mana lokasiku di peta?” tanyanya dengan suara yang keras.
“Iya.
Tolong jemput anakku, dih. Ada saya chat ki’ nomornya,” jawab
saya.
“KITA’
LIHATKAH DI PETA? DI MANA POSISIKU? NDAK MUNGKIN SAYA AMBIL ANAK TA’. SAYA LAGI
DI PASAR TODDOPULI INI. SALAH ITU. COBA CEK KI’ LAGI PETA TA’,” suaranya masih
terdengar keras.
“Sudah
mi saya lihat. Di dekat sekolahnya ji anakku lokasi ta’. Di jalan
anu,” saya menyebut nama jalan yang saat melihat titiknya di driver,
terlihat posisinya hanya sekira dua ratus meteran dari sekolah putra saya.
“SALAH
ITU, BU! COBA LIHAT KI’ BAIK-BAIK. SAYA NDAK BOHONG. MASAK SAYA BOHONG. BAGAIMANA
SAYA BISA AMBIL ANAK TA’?” bagi pendengaran dan otak saya, nadanya bukan
sekadar keras lagi tapi nyolot, membentak-bentak.
“Sudah
mi saya lihat. Jadi bagaimana, saya cancel mi saja?” saya
memang terbiasa bertanya seperti itu kalau mendengar hal yang serupa dari driver
terkecuali jika dia bisa tiba dalam jangka waktu cepat ke titik penjemputan.
Tapi kelihatannya tak bisa. Karena memang lagi macet di mana-mana. Jadi saya
mengira dia akan meminta saya cancel.
“NDAK
DI SITU KA’, BU. COBA CEK PETA TA’ SEKARANG!”
“Sudah
mi saya cek! Di dekat situ ji …,” tiba-tiba sambungan telepon diputus
dari sana. Saya mengecek ulang lokasi di driver yang tampak di aplikasi
dan mengambil screenshot-nya. Di aplikasi, memang terlihat dia di dekat
sekolah anak saya.
HP
berdering lagi …
“SUDAH
KITA’ CEK, BU?”
“Sudah.
Titik ta’ dekat di sekolahnya anakku. Jadi, saya cancel mi saja, dih?”
saya mulai agak kesal. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa hanya mau meminta
kejelasannya. Kalau memang tak bisa segera berada di sekolah anak saya ya
sudah, di-cancel saja. Bukan masalah, kan.
“SALAH
ITU PETA TA’, BU! SAYA NDAK BOHONG. SAYA KIRIMKAN KI’ SCREENSHOT-NYA
KALO NDAK PERCAYA KI’ BAGAIMANA CARANYA SAYA JEMPUT ANAK
TA’?” ya ampun nadanya masih nyolot juga.
“YA
SUDAH. JADI BAGAIMANA, SAYA CANCEL SAJA?”
“SALAH
ITU PETA TA’. NDAK MUNGKIN SAYA JEMPUT ANAK TA’,” ya Allah, dia masih
perpanjang juga.
“DI
APLIKASIKU SEPERTI ITU. BUKAN SAYA YANG PILIH KO TAPI APLIKASI YANG TUNJUK
KO!” suara saya meninggi. Apa dia pikir dari sekian banyak driver saya
khusus memilihnya untuk menjemput anak saya? Tak usah, ya. Saya tentu akan
memilih yang akhlaknya baik dan sopan tutur katanya! Lagi pula, semua driver punya wewenang, mereka berhak menerima atau menolak orderan, saya tahu itu!
Saya
langsung mematikan sambungan telepon. Dia mencoba menelepon, saya blokir
nomornya. Dia lantas mengirim screenshot lokasinya ke nomor WA saya. Saya
membalas tanpa kata-kata, dengan screenshot dari aplikasi di gadget saya
yang menunjukkan betapa dekat dia dengan titik penjemputan. Dia mencoba
menelepon via WA, saya blokir nomornya. Saya tak mau berdebat.
Saya tak ingin menyalahkan siapapun.
Juga tak ingin berpanjangan.
Sebagai pengguna setia OJOL, saya sudah biasa
mendapatkan driver yang “pasang titik”,
dia tengah berada di tempat yang jauh
dari titik pemesanan tapi di aplikasi terlihat jelas
dia ada di dekat lokasi pemesan. Saya juga
sudah mendapat pengakuan dari driver yang
pernah melakukan “pasang titik” itu pada
sebuah perjalanan menggunakan OJOL.
Saya
tidak mempermasalahkannya dan tidak pernah berniat melaporkan driver yang
melakukannya ke perusahaan karena saya tahu akan fatal dampaknya. Saya akan merasa
bersalah sekali kalau mereka dipecat sementara barangkali saja keluarganya
berharap banyak dari mata pencariannya sebagai driver OJOL. Saya
tak mau membuat banyak keluarga susah.
Saya
juga tahu kalau aplikasi sering error tetapi saya tak mau menyalahkan
siapa-siapa. Memang butuh waktu untuk menyempurnakan apapun itu. Tapi
sesempurnanya apapun itu, tak ada yang sempurnanya sama seperti sempurnanya
Tuhan, bukan?
Hanya saja lebih enak kalau saya sebagai user
dan pihak driver, sama-sama bersepakat bahwa
saya akan cancel pemesanan. Meski itu
hak saya sepenuhnya tapi saya lebih suka
kalau sama-sama rido. Kan sama-sama enak.
Juga supaya tidak panjang masalah di belakang hari.
Makanya
saya sungguh tidak menduga drama OJOL hari itu. Tapi saya mencoba maklum saja.
Karena hari itu, satu kota hectic berat. Banyak sekali orang merasakan
dampak kemacetan, termasuk saya dan teman-teman di komunitas IIDN Makassar yang
sudah berencana bikin acara saat itu. Jadi sebenarnya tidak ada masalah hanya butuh
usaha untuk tetap berpikir logis dan menjaga sopan santun dalam keadaan kacau sekali pun.
Makassar, 23 Desember 2018
Share :
Sabarki' Bu' semua ada hikmahnya...salam
ReplyDeleteSaya kurang sabar? hehe. Sabar itu bukan berarti harus selalu lemah lembut.
DeleteSesekali harus bersikap. Perempuan juga harus bersikap. Hikmah tidak selalu didapat dengan lemah lembut dan diam, kan?
Ya ampun, kaak.. klo saya itu sejak awal sy jutekin drivernya... wkwkwk
ReplyDeleteHehe, saya ndak ji tooh. Imbas macet ji ini kodong. :D
DeleteSaya yang baca, terus saya yang emosi kak. 😅 ngotot banget, padahal bisaji dia bilang cancel saja klo memang lagi nda bisa. Dramaaa.. Dramaaa... Semoga kejadian ini tidak terulang ya kak di kita dan orang lain termasuk saya. Aamiinn
ReplyDelete