Pada awal presentasi berjudul Kota Makassar dan Sejarah Masyarakat Tionghoa, Pak Yerry menceritakan mengenai sejarah orang Tionghoa di Makassar. Menurutnya sulit sekali menyimpulkan ada orang Tionghoa yang datang pada masa itu.
Keberadaan
keramik yang berasal dari abad kesembilan atau kesepuluh tidak serta merta
mengindikasikan keberadaan orang Tionghoa karena keramik digunakan sebagai alat
tukar. Berdasarkan penelitian, catatan mengenai kebeadaan orang Tionghoa didapatkan
dari orang Inggris. Saat itu – sebelum tahun 1615, ada orang Inggris yang ke
Makassar yang bertemu orang Tionghoa yang sedang menyuling arak. Pada masa itu,
Makassar belumlah ramai. Karena titik sentral perdagangan adalah di Malaka dan
Maluku.
Para
pedagang rempah-rempah dari Maluku mampir ke Banten, lalu membawa barang-barangnya ke Malaka, lalu
Eropa – Belanda atau ke Tiongkok. Makassar belumlah jadi titik penting saat
itu. Hingga kemudian Malaka diduduki Portugis pada tahun 1615.
Sejak
itu Makassar menjadi pilihan tempat yang aman, para pedagang dari Malaka pergi ke
Makassar. Bisa dipastikan orang Tionghoa ada di Makassar sejak 1615. Mereka berdagang
kulit penyu untuk obat yang diperoleh dari Indonesia timur yang kemudian
dikumpulkan di Makassar. Mulai ramailah Makassar dengan pendatang-pendatang
dari Jawa dan Melayu.
Pak Yerry (paling kanan) |
VOC
tidak menganggap Makassar penting dalam perdagangan. Yang penting adalah
Batavia. Itu makanya tidak semua kapal boleh ke Makassar. Orang-orang Tionghoa
awal di Makassar adalah mereka yang ke Jawa dulu baru ke Makassar. Mereka punya
keluarga di Jawa. Keluarga Nio – keluarga tertua di Makassar mengalaminya. Namun
peta-peta awal orang Eropa tidak menunjukkan kampung Tionghoa dalam peta
Makassar.
Penelusuran
catatan sejarah yang menyebutkan keberadaan orang Tionghoa di Makassar ditemui
dalam Sj’air Perang
Mengkassar Karya Entji’ Amin (ca. 1667):
Di Kampung Tjina meriam jang tebal | serta ditémbakkan | kenalah kapal terus-menurus tampal-menampal | sangatlah duka hati Admiral
Catatan
sejarah lain adalah: dari François Valentijn (1724 – 1726):
The city is just a small market town that is also called the Negory Vlaardingen, with only one large unpaved street, I think the Chinese street, and two or three smaller ones where the Dutch burghers, some Chinese under their captain, and some Makassarese and other natives live, and which can be closed and guarded by the Chinese and Burgher watch.
(Kota
ini hanya sebuah kota pasar kecil yang disebut juga Negorij Vlaardingen dengan
hanya satu jalan besar yang tidak rata, saya pikir itu jalan [perkampungan]
Tionghoa, dan dua atau tiga jalan lebih kecil di mana penduduk Belanda dan
beberapa orang Tionghoa dengan kapitennya serta beberapa orang Makassar dan
pribumi bertempat tinggal. Tempat ini bisa ditutup dan dijaga oleh orang
Tionghoa atau penduduk kota).
Dari
penuturan Pak Yerry, bisa dipahami bahwa Makassar sudah sejak lama terbiasa
dengan keberagaman. Pengumuman sering kali dibuat dalam 3 bahasa/aksara: Belanda,
Arab, dan Tionghoa. Ada juga dalam 4 bahasa/aksara: Lontarak, Indonesia, Arab,
dan Tionghoa.
Bangunan-bangunan
orang Tionghoa juga mulai berdiri. Catatan awal adalah Klenteng Maco Po akhir
abad ke-17. Selanjutnya pada abad ke-19: ada Klenteng Shengmu Xianma, inskripsi
1868, Bao’an Gong. Diperkirakan 1889, hancur saat PD II, Klenteng Guanyu, 1889
oleh orang-orang suku Kanton. Selanjutnya Rumah Abu keluarga Thoeng 1898 dan Rumah
Abu keluarga Lie 1888.
Sejarah
kota Makassar memang tak lepas dengan sejarah keberadaan orang Tionghoa yang
kemudian berasimilasi dengan penduduk pribumi. Demikian pula halnya dengan
sejarah datangnya orang Arab di Makassar. Namun sayangnya, terungkap di seminar
ini sebagaimana yang dikatakan Pak Dias bahwa sejarah keberadaan orang Arab
sulit dilacak dalam penelitian karena mereka mobilitasnya tinggi.
Saya
pribadi berharap bisa menyimak sejarah orang Arab di Makassar juga suatu saat.
Andai ada keturunan Arab yang menuliskan atau menelitinya sendiri, sebagaimana
yang dilakukan Pak Yerry sampai beliau menerbitkan buku atau seperti Kak Irma
Devita yang menuliskan sejarah perjuangan kakeknya (bisa dibaca di tulisan saya
yang berjudul Menggali
Sang Patriot, Bukan Sekadar Terpatri dalam Sejarah).
Pada
tanggal 14 April, saya ikut rombongan Heritage Walk, berjalan-jalan di
sekitar Pecinan. Hotel Dinasti (Jalan Lombok), tempat berlangsungnya acara
memang terletak di kawasan Pecinan. Lahan hotel tersebut berdiri juga dahulunya
merupakan lokasi sebuah sekolah Tionghoa yang dibangun pada masa kolonial.
Banyak
juga tempat yang disambangi rombongan pejalan. Perinciannya sebagai berikut: Klenteng
Pao Ang Kong yang juga merangkap sebagai Vihara Dharma Loka. Letak bersebelahan
dengan hotel. Selanjutnya kami menyusuri jalan Lombok menuju rumah tua berarsitektur
gaya Eropa klasik milik warga keturunan Tionghoa.
Perjalanan
dilanjutkan ke Jalan Lembeh untuk melihat bekas Gedung Perkumpulan Cina KMT
(Akademi Pajak Indonesia) yang kurang terawat dan nyaris rubuh. Di sebelahnya ada
bekas Gedung Bioskop Ratu yang sekarang menjadi Rumah Pemujaan Arwah Leluhur
yang dikelola oleh Yayasan Amal Sejahtera.
Perjalanan
berlanjut ke Pasar Bacan (Bacang). Pasar itu termasuk pasar tradisional tua yang
masih beroperasi hingga kini meskipun tidak tiap hari. Bisa dilihat pedagangnya
tediri atas orang Makassar dan orang Tionghoa. Aneka daging, kue, sayur, dan
ikan dijual di sana. Beragam ikan laut berukuran besar dijajakan.
Tidak
jauh dari situ, berdiri Masjid As Said dan merupakan masjid tua yang dibangun
oleh warga kota keturunan Arab di masa kolonial. Setelah masjid ada gedung Tjieng
Njan dan Co., sebuah rumah tinggal tua bergaya Eropa.
Di
Toko Kue Weng Heang Tjae yang berdiri sejak tahun 1935, beberapa dari kami membeli
penganan khas Tionghoa. Ibu pemilik toko berbaik hati mempersilakan para
pejalan mencicipi kuenya dengan gratis. Terakhir, kami melihat Rumah Leluhur
Marga Thoeng dan Rumah Tinggal Kapiten Thoeng yang terletak di Jalan Sulawesi.
Pengalaman
hari ini sungguh pengalaman baru dan berkesan bagi saya. Sedemikian lama hidup
di Makassar saya baru tahu tentang sejarah orang Tionghoa dan melihat kawasan
Pecinan dari jarak yang sangat dekat.
Besar
harapan saya secara perlahan, generasi muda kita akan lebih enjoy mempelajari
sejarah melalui metode yang lebih menarik. Sehingga mereka dapat menghargai sejarah
beserta segenap “komponen penyusunnya”. Dimulai dengan adanya kerja sama antara
Lembaga Lingkar – komunitas pemerhati sejarah dan Balai Pelestarian Cagar Budaya
Sulawesi Selatan ini.
Foto yang paling bawah: dari Lembaga Lingkar
Makassar, 14 April 2019
Tulisan ke-3 (tamat) dari Seminar
Nasional Merawat Cagar Budaya Kita.
Baca
juga tulisan-tulisan sebelumnya:
Share :
Sejarah pecinan memang sudah ada sejak zaman portugis dan mungkin bukan hanya dimakasar saja akan tetapi hampir disetiap daerah atau kota sudah pasti ada yang namanya sejarah tentang Pecinan atau tradisi khas Warga Thionghua..😄😄
ReplyDeleteJelaslah. Kan namanya ada asimilasi pasti ada sejarahnya. Di mana saya berada, di situ sejarahnya ditilik :D
DeleteSelama ini setiap kali saya ke kawasan Pecinan Makassar pasti selalu kagum dengan bangunan-bangunan tua yang ada di sana dan ternyata beberapa sudah jadi cagar budaya.
ReplyDeleteSemoga bangunan-bangunan tua itu tetap dipertahankan dan dilestarikan, sehingga anak cucu kita masih bisa mempelajari sejarah di kawasan Pecinan tersebut.
Iya ya Mam. Yang mengagumkan itu bangunan peninggalannya
DeleteBangsa Tionghoa di masa lalu memiliki sejarah panjang dan peradaban yg tinggi, persebaran bangsa ini pun telah menyebar ke seluruh dunia, kalau dipikir2 banyak kota2 besar di dunia, pasti memiliki area china town, salah satunya di Makssar jejak2 sejarah etnis ini jg dpt dijumpai.
ReplyDeleteNah itu dia keunikannya, peradabannya tinggi. Catatan sejarah di negerinya sendiri kan sejak sebelum masehi ya.
DeleteGedung akademi pajak Indonesia pafahal unik sekali ya kak,sayang banget tidak direstorasi dan digunakan kembali oleh Pemerintah. Bener sekali kak, coba ada buku tentang kedatangan orang arab ke Makassar pasti seru yaa untuk dibaca.
ReplyDeleteIyaa, pengen juga tahu sejarah orang Arab di Makassar
DeleteHarus ditingkatkan nih aktifitas seperti ini. Biar budaya tidak tergerus oleh zaman ad yng tetap menjaganya.
ReplyDeleteIya ... dan Lembaga Lingkar aktif loh sosialisasi semacam ini
DeleteMantap yah, kalau Ibu yang ulas sejarah..jelas dan enak bacanya..blogger andalan mentong.hhee
ReplyDeleteBdw baru tau Masjid As Said merupakan masjid tua yang dibangun oleh warga kota keturunan Arab di masa kolonial..Ada juga jejak keturuanannya,,yah itu tadi kerna tingkat mobilitasnya tinggi, agak sulit untuk ditelusuri jejaknya.
Ah bisa saja.
DeleteIya, saya kelewatan, telat waktu acara jalan2
Masyarakat tionghoa memang tidak bisa dilepaskan ataupun dipisahkan dari kehidupan di Makassar, bukan cuman di Makassar aja, Tapi di hampir seluruh kota besar. Mereka sudah ada dari zaman-zaman kerajaan sebelum Indonesia merdeka, sehingga mereka mempunyai hak dan harus diterima menjadi bagian dari Indonesia. Saya tidak pernah setuju dengan pembersihan etnis yang pernah terjadi😢 apalagi jika hanya disebabkan oleh seseorang saja...😖. Di Indonesia kita semus harus berdampingan.
ReplyDeleteKalaupun ada yang melakukan tindakan tak pantas itu perilaku oknum yang pasti tidak paham ajaran agamanya.
DeleteSepertinya saya belum pernah ke daerah pecinan ini atau mungkin pernah lewat kali ya cuma sayanya saja yang nggak tahu. Bagus ya ada komunitas pemerhati Sejarah seperti lembaga Lingkar ini, dengan bergabung tentu bisa mengajak kita mengenal lebih dekat sejarah di sekitar kita.
ReplyDeleteIya, bisa dipandu oleh teman-teman di Lembaga Lingkar
DeleteKenapa setiap ada acara keren saya selalu kelewatan, hiks. Padahal saya suka sekali dengan sejarah. Pasti menyenangkan mempelajari langsung bangunan-bangunan peninggalan masa itu ya kak. Sayang beberapa tidak terawat lagi.
ReplyDeleteBisa cek-cek akun media sosial Lembaga Lingkar atau Komunitas Lilin, Dwi. Biasanya ada di situ informasinya :)
Deleteyang keren dari Kawasan Pecinan Makassar adalah bangunan-bangunan tua yang ada di sana. Semoga dengan status sudah jadi cagar budaya, bangunan-bangunan tua itu tetap dipertahankan dan dilestarikan, sehingga anak cucu kita masih bisa mempelajari sejarah di kawasan Pecinan tersebut.
ReplyDeleteReply
Semoga tetap lestari ya, Oppa.
DeleteAda yang terlewatkan dan sepertinya luput dari liputan tentang seorang warga tionghoa bermarga Ho dengan anak lelakinya bernama Ho Lae Goang. Seorang pembuat peti mati dari sebatang pohon besar yang memakai kurang lebih 100org karyawan. Dan pada peti mati ukirannya bermotif bunga tonjong. Saya tidak tau persis alamat tempat tinggalnya tetapi mungkin sekitar jl. Ternate, sangir makasar
ReplyDelete