Sumber foto: Anna Asriani - Lembaga Lingkar |
Semangat Kartini dari Kedai Buku Jenny
Kedai
Buku Jenny (KBJ) pada awalnya dibuat hanya sebagai
tempat bertemu dan berkumpul Nita, suaminya (Bobby), dan beberapa teman mereka.
Tak pernah terbayangkan KBJ sekarang menjadi gerakan literasi sejak dimulai 8
tahun lalu, ketika akses terhadap buku tak semudah sekarang.
Di
rumahnya tak ada ruang privat kecuali ruang tidur Nita dan suaminya.
Ruangan-ruangan lain bisa diakses siapapun yang datang dan ingin
menggunakannya, baik itu sebagai ruang diskusi, pameran, ataupun pertunjukan. Empat
tahun di awal perjalanannya, KBJ concern kepada anak muda dan mahasiswa
saja.
Sejak
tahun 2014, aktivitas di KBJ bertambah sejak menjadi ruang baca anak-anak
bersama tetangga hampir setiap sore. “Kami tidak pernah menyuruh anak-anak
membaca. Tapi kami menyediakan bukunya. Kalau anak-anak capek, mereka datang
sendiri membaca,” ucap Nita.
Menurut Nita, minat baca yang rendah
bisa jadi disebabkan oleh minimnya
akses terhadap buku. Karena kenyataannya
pada saat disediakan buku, anak-anak di
sekitar rumahnya jadi punya minat besar
terhadap aktivitas literasi via buku.
Di
Kedai Buku Jenny, anak-anak didekatkan pada seni dan budaya melalui konsep
bermain. Hampir setahun latihan teater, anak-anak itu tak sadar kalau sedang
latihan teater. Mereka kira sedang bermain dan baru dua bulan ini tahu kalau
mereka tengah disiapkan untuk pentas di bulan April ini.
“Membuka
rumah sebagai ruang belajar bisa dilakukan oleh siapa saja asal mau,” ujar Nita.
Nita memulainya dari
ambisi pribadi untuk
memberikan kedua anaknya pelajaran yang tak diajarkan di sekolah. Melibatkan
anak-anak tetangga menjadi pilihan berikutnya karena bagi anak-anaknya, bermain
berdua saja membosankan dan rentan konflik.
Kolaborasi
dengan pegiat seni anak mulai terjalin dengan Kedai Buku Jenny. Anak-anak yang
biasa berkumpul di sana juga mempelajari bahwa melalui seni mereka bisa belajar
menghargai diri sendiri dan orang lain.
Hal
utama dari spirit Kartini yang digarisbawahi Nita adalah “etos belajar”. Apapun peran yang dipilih perempuan
– baik itu sebagai ibu rumah tangga saja ataupun sebagai perempuan yang
berkarir, tak boleh lepas dari etos belajar ini.
Pentas teater anak yang latihan di Kedai Buku Jenny (3 Mei) |
Spirit Kartini dari Seorang Blogger
Bicara
tentang semangat Kartini, ketika tiba giliran saya, saya menyampaikan mengenai
pentingnya mengingat kembali semangat Kartini sebagai sosok perempuan yang menulis, membaca, dan punya etos
belajar (yang
terakhir ini meminjam istilah Nita – saya biasa menyebutnya “pembelajar”).
Hari
ini kita bisa belajar dari Kartini karena dia menulis. Secara keseluruhan tulisan-tulisan Kartini mencapai 800
halaman, dengan
rincian[1]:
Sumber foto: Anna Asriani (Lembaga Lingkar) |
- 141 surat yang ditulis dalam kurun waktu Maret 1899 – September 1904.
- 4 cerita pendek yang dipublikasikan tahun 1903 – 1904.
- 2 karya ilmiah (salah satunya dipublikasikan pada tahun 1899 dan yang lainnya baru dipublikasikan pada tahun 1914).
- 4 artikel panjang yang tak dipublikasikan (termasuk 1 autobiografi dan deskripsi pernikahan tradisional Jawa, beberapa catatan (diistilahkan oleh Dr. Cote dengan “memoranda”) politis mengenai pentingnya pendidikan dan pelatihan kejuruan, dan katalog sepanjang hampir 8 halaman mengenai daftar buku pada perpustakaan Kartini).
Kartini mengajarkan kepada kita bahwa
perempuan perlu berperan bukan dalam hal
yang bukan sekadar berlenggak-lenggok berkebaya
namun menjadi sosok yang bermanfaat bagi
sesama perempuan dalam hal literasi secara khusus.
Saya
mempresentasikan materi berjudul “KEAJAIBAN NGEBLOG” sebagai hal luar biasa yang saya (sebagai perempuan biasa)
alami. Salah satu keajaiban yang saya
ceritakan adalah acara pada hari itu yang mana saya dipertemukan dengan
orang-orang di situ padahal sebelumnya kami tak terhubung.
Saya
bisa mengatakan, kini saya mengenal Anna Asriani – koordinator Lembaga Lingkar,
Ibu Nurul Chamisany – Kepala Museum Kota Makassar, Ibu Irwani Rasyid – Kepala Unit
Dokumentasi dan Publikasi Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, Mbak
Narulita dari IOM, semua pembicara, dan hadirin “berkat ngeblog”. Perluasan
jejaring seperti ini sungguh sebuah keajaiban bagi seorang perempuan biasa.
Belum
lama ini saya merasa takjub dengan terlaksananya kegiatan diskusi sejarah yang
saya tulis dalam tulisan berjudul Menggali Sang Patriot, Bukan Sekadar
Terpatri dalam Sejarah. Sampai-sampai saya menulis lagi tulisan berjudul Berkah Ngeblog dalam Diskusi Sejarah
Sang Patriot yang mengungkapkan perasaan takjub saya.
Silakan
dibaca Berkah
Ngeblog dalam Diskusi Sejarah Sang Patriot untuk tahu detailnya
bagaimana kisah seorang pahlawan asal Jawa Timur sampai didiskusikan di
Makassar dan dihadiri oleh orang-orang yang saya tidak pernah duga jauh
sebelumnya bisa mengenal mereka, termasuk Pak Tjahjo Widodo – Kepala
Bakorwil (Badan Koordinasi Wilayah) V Provinsi Jawa Timur yang khusus
datang dari Surabaya untuk menghadiri diskusi itu.
|
Saya
mengatakan hal-hal ini bukan karena saya merasa hebat. Apa yang saya sampaikan
ini mewakili 1000 – 2000 perempuan Indonesia lain yang ngeblog seperti saya.
Banyak dari mereka telah merasakan keajaiban ngeblog. Dengan demikian, ibu
rumah tangga yang sehari-harinya lebih banyak berada di rumah bisa melakukan
hal-hal bermanfaat melalui menulis.
Apa efek yang kami – para blogger rasakan saat ini
sebenarnya telah “diterima” oleh Kartini, yaitu
dengan menulis kami bisa menembus
batas pikiran, batas teritori, dan batas zaman.
Kami jadi punya jejak digital yang akan tersimpan
dalam waktu lama bahkan bisa selamanya.
Namun
demikian, di sisi lain kami dituntut untuk berhati-hati karena semakin banyak
yang kami tulis berarti pula potensi “dosa” yang dilakukan semakin besar. Seperti kata-kata yang
diucapkan langsung dari mulut, tentunya tulisan pun harus dipertanggungjawabkan
benar-salahnya.
Spirit Kartini dalam Sekolah Terapung
(The Floating School)
Masih
tentang apa yang dilakukan Kartini, apa lagi yang dilakukannya selain membaca
dan menulis? Yes, Kartini mengajar. Mengajar adalah fokus kegiatan yang
dilakukan oleh The Floating
School yang didirikan oleh Rahmat HM, Rahmiana Rahman, dan Nur Almarwah Asrul (Nunu).
Terinspirasi
dari kalimat bijak yang mengatakan “semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru”, The Floating School (TFS) menjadi
tempat yang dirindukan oleh anak-anak kepulauan di Kabupaten Pangkep.
Sebelum
menikah dengan Nur Al Marwah Asrul (Nunu), Rahmat yang sudah settle di
Jakarta terpanggil untuk pulang kampung dan berkontribusi terhadap pendidikan
anak-anak pulau di Kabupaten Pangkep.
Dia
berkolaborasi dengan Nunu dan Ammy (sapaan untuk Rahmiana). Dengan menggunakan
kapal, rombongan relawan diberangkatkan ke pulau-pulau kecil yang berada di Kabupaten
Pangkep. Nunu mewakili Rahmat dan Ammy, mempresentasikan tentang TFS di Museum
Kota Makassar.
Salah
satu kelas yang dibuka TFS adalah Kelas Menulis. Anak-anak diajar untuk berani
menyatakan isi hati dan pikiran mereka. Salah satu anak dari Pulau Satando
misalnya memiliki keberanian untuk menulis kepada Polisi Air. Di dalam suratnya
dia menyebutkan permintaan supaya “pak polisi air tak mengambil uang kami”.
Dinamika
anak-anak pulau termasuk dalam hal pendidikan diceritakan dalam surat-surat
anak-anak pulau. Salah satunya bercerita tentang kurangnya tenaga guru. Di
sebuah SMA misalnya, hanya ada 2 guru honorer yang bergantian mengajar setiap
pekannya. Kedua guru ini mengajar untuk semua mata pelajaran.
Selain
memberikan bimbingan mata pelajaran (seperti Bahasa Inggris) kepada anak-anak
pulau, kelas lain yang diberikan di antaranya adalah seni tari, seni musik, kerajinan,
dan komputer. Langkah yang diambil oleh TFS ini memang perlu diambil mengingat
banyak pulau di sana hanya memiliki SD. Tak mudah melanjutkan sekolah ke
jenjang SMP, SMA, apalagi perguruan tinggi.
Kabupaten
Pangkep memiliki 117 pulau. Delapan puluhan di antaranya berpenghuni. TFS baru
menjajaki 4 pulau. “Hanya satu pulau yang kami temui yang ada SD, SMP, dan SMA.
Itu pun pulau besar. Gedung memang sudah ada tetapi gurunya tidak ada. Sering
sekali mereka tidak sekolah,” ujar Nunu.
TFS mulai berlayar sejak tahun 2017.
Pada tahun 2018, TFS “berlayar” ke Aceh.
Ammy – salah satu founder TFS,
setelah menikah dengan lelaki Aceh
menginisiasi TFS di Aceh. Hingga saat ini
The Floating School sudah bergerak di
5 pulau: Satando, Saugi, Sapuli, Samatellu
(keempatnya terletak di Pangkep, Sulawesi Selatan),
dan Pulo Aceh (DI Aceh).
TFS
sering membuat panggung untuk pentas anak-anak dan menyelenggarakan pameran
yang menampilkan karya mereka. Bukan hanya dalam tataran lokal, kolaborasi
dengan suatu pihak di Singapura dan Amerika pun pernah dilakukan termasuk mengadakan
pameran di Jakarta dan di dua negara tersebut.
Panggung
dan pameran menjadi sensasi tersendiri bagi anak-anak pulau dalam meningkatkan
kepercayaan diri mereka. Usaha yang memperlihatkan hasil signifikan mengundang
donasi dari banyak pihak. Melalui Kitabisa.com, TFS berhasil membuat satu kapal
pribadi yang akan dipergunakan dalam waktu dekat. TFS juga menerima donasi dari
pemerintah Amerika Serikat dan pemerintah Australia.
Sebanyak
kurang lebih 190 anak mengecap pelajaran dari TFS melalui 96 relawan. Para
relawan diberangkatkan menggunakan kapal semi tradisional bersama buku-buku dan
bermacam alat dan bahan. Suatu ketika Nunu mengunjungi sebuah pulau tanpa
membawa buku tetapi membawa coklat, anak-anak di sana menanyakan mana buku,
mengapa tidak dibawa.
Bagian
tentang anak-anak yang menanyakan buku ini nyambung dengan kisah Harnita
soal pentingnya
menyediakan buku di sekitar anak-anak agar mereka terbiasa
melihatnya kemudian tergerak membacanya.
Hal
lain yang secara signifikan berpengaruh terhadap anak-anak pulau adalah visi akan masa depan. Kalau dahulu pernikahan dini adalah
kelaziman yang harus mereka jalani, bersama mereka sekarang ada mimpi lain
selain jadi pengantin. Sebagian dari mereka misalnya sudah mulai berpikir untuk
mengejar mimpi menjadi bidan atau guru di pulau mereka.
Tak lama lagi kapal ini akan berlayar |
Sekali
lagi saya merasa beruntung dan bersyukur sekali bisa mengenal lebih dekat lagi
orang-orang luar biasa yang hadir di sini. Saya sudah cukup lama mengenal Nunu
karena dia pernah menjadi ketua komunitas bloger Anging Mammiri tetapi baru
kali ini saya mendengar langsung darinya kisah The Floating School.
Bukan
hanya itu. Moment Surat-surat Kartini dan Perempuan Masa Kini di Museum
Kota Makassar ini nyata menambah daftar keajaiban ngeblog yang saya alami dan
membuat kecintaan saya pada dunia blogging ini semakin besar.
Para volunteer The Floating School |
Makassar 2 Mei 2019
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bu Nurul Chamisany dan
Anna Asriani. Sehat dan bahagia ki’ selalu sehingga bisa terus berkarya
dan berkontribusi memperkaya Makassar.
Baca
juga:
- Kegelisahan di Hari Kartini: Tentang Literasi Kita
- Sama Seperti Kartini, Kami pun Menulis
- Mengurai Empat Hal Perjuangan Kartini
[1]
Saya menyimak presentasi yang diberikan pada Seminar Internasional bertajuk
Kartini Zaman Baru: Reflections on the Condition of Contemporary Indonesian
Women yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Sejarah FIB UNHAS.
Share :
Wah keren banget nih Mbak. Memang dengan ngeblog kita bisa meninggalkan jejak ya yang bisa dibaca dan juga diambil pelajaran
ReplyDeleteSeneng aja Mbak. Sama kata "Semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru"
ReplyDeleteWah seru banget nih acaranya. Bisa mendapatkan ilmu baru juga
ReplyDeleteLiterasi ini memang sangat penting untuk para remaja ya Mbak
ReplyDeleteSaya langsung terfokus sama kerajinan tangan yang dari kain flanel Mbak. Bagus banget :D
ReplyDeleteBerawal dari niat yang begitu mulia untuk mengajak siapapun agar suka membaca dan memberi akses ilmu pengetahuan terutama pada anak-anak, saya salut dengan konseep KBJ. Semoga niatnya berkah yaa. Saya jadi terinspirasi nih dengan buku-buku yang ditinggalkan anak-anak yang menumpuk di rumah.
ReplyDeleteBanyak perempuan hebat di sekitar kita yang merupakan jelmaan sosok Kartini masa kini. Salah satunya ya kak Niar.
ReplyDeleteI'm so proud of you, kk :*
Seandainya di Makassar k', aihh pengen sekali ikut acara ini. Narasumbernya inspiratif semua.
ReplyDeleteBTW, ada typo ta' di paragraf pembuka kak...
"menceritakan tentang problematikan para perempuan migran dan apa yang dilakukah..."
KBJ emang keren banget ya kak 😊. Kak Niar juga, dan saya rasa Kak Niar yang paling mengikuti Kartini dalam hal meninggalkan jejak. Tapi saya tetap tak setuju kalau kita disamakan dengan Kartini 😊. Kita jauh lebih hebat
ReplyDeletemembayangkan ketiga perempuan hebat di atas berkolaborasi dalam sebuah program. tentu akan dahsyat jadinya.
ReplyDeleteMaa syaa Allaah inspiratif sekali kegiatannya kak. Saya baru tahu tentang Kedai Buku Jenny ini. Luar biasa ya Mbak Nita saking pedulinya dengan literasi sampai buka Kedai Buku di rumah sendiri. Materi yang dibawakan oleh Kak Niar dan Kak Nunu ini juga tak kalah inspiratif. Sayang sekali saya tidak hadir di kegiatan sekeren ini.
ReplyDelete