Adik
bungsu saya, satu-satunya laki-laki di antara tiga anak Ayah dan Ibu adalah
kebanggaan karena langganan menjadi ranking satu. Tak jarang dia menduduki
posisi sebagai juara umum di sekolah dan membuat orang tua kami makin bangga.
Namun
pada beberapa kesempatan, Ibu saya merasa terzalimi. Setelah mendapat kabar mengenai
peringkat top yang seharusnya adik saya peroleh, tiba-tiba saja ada nama lain
yang menduduki posisi itu. Menyusul isu kecurangan yang melatarbelakanginya.
Kalau
peristiwa itu layak disebut sebagai kekalahan, Ibu menerimanya saja tapi tak dengan lapang dada. Karena
mempersoalkannya juga hanya akan membuang-buang waktu dan tak ada manfaat
signifikan yang diperoleh. Walaupun demikian, bagi Ibu hal ini bukan sekadar
kekalahan biasa karena harga diri anaknya yang sudah belajar
mati-matian tereliminasi begitu saja.
Rasa terzalimi itu masih terbawa hingga sekarang.
Kalau suatu ketika berhadapan dengan Ibu, please jangan ungkit kisah
masa lalu itu karena beliau masih bisa bertutur kepadamu dengan nada marah.
Sementara adik saya, tentu saja sekarang hanya tertawa jika diingatkan.
Adik
saya sudah membuktikan pada dirinya sendiri dan pada orang tua kami, bagaimana
dia mampu berada di posisinya sekarang ini. Semasa kuliah di institusi
teknologi terkenal di negara ini, dia menyambi kerja pada sebuah perusahaan IT.
Lalu dia lulus dengan sangat memuaskan dan dengan cepat diterima bekerja di
sebuah BUMN.
Cerita
yang mirip saya dengar dari seorang kawan. Anaknya yang langganan mewakili
sekolah – bahkan provinsi ini untuk ikut kompetisi salah satu bidang studi tingkat
nasional terzalimi dengan nilai yang tidak semestinya di rapor. Dirinya dan
buah hatinya tahu persis perolehan nilainya jauh di atas itu.
Kecewa
pastinya. Selain karena melukai harga diri, perolehan nilai secara keseluruhan bisa terpengaruh jika diikutkan pada
seleksi bebas tes untuk masuk peguruan tinggi ternama. Rugi pastinya. Tetapi teman saya dan
anaknya memilih mengikhlaskan kekalahan ini ketimbang meributkannya.
Teman
saya memotivasi anaknya untuk terus belajar dan
membuktikan “nilainya” yang sesungguhnya untuk mata pelajaran tersebut pada
ujian nasional. Kabar bahagia itu akhirnya datang, membuktikan harga diri yang sesungguhnya. Nilai yang sangat tinggi berhasil dicapainya
untuk mata pelajaran itu, tak ada yang melebihinya.
Namun
kadang-kadang ada orang yang merasa perlu memperjuangkan kebenaran di balik kekalahannya. Contoh sederhananya adalah ketika adik
perempuan saya mendapat nilai lebih rendah daripada hasil kerjanya di sekolah
untuk pelajaran Matematika. Ayah mendatangi gurunya dan mengajak berdiskusi hingga
berdebat.
Ayah
adalah guru Matematika kami di rumah. Dan Matematika itu mutlak nilainya. Benar
ya benar, salah ya salah. Kredibilitas
seorang ayah di hadapan anaknya dipertaruhkan di sini. Menurut Ayah, kebenaran
sesederhana ini pun harus diperjuangkan.
Sang
guru tak begitu menerima didebat orang tua siswa. Kredibilitasnya dipertaruhkan.
Akhir dari peristiwa ini, adik saya terpaksa menerima kekalahan dengan turunnya urutan ranking-nya. Untuk nilai yang hanya berbeda
antara 7,5 dan 7 ½, dia harus menerima kekalahan dengan berada di urutan ke-5. Penerima
nilai yang persis sama duduk di posisi ranking 3.
Kekalahan
yang mirip – dalam hal perolehan nilai di sekolah, harus kami telan untuk
Athifah. Karena tak berhak mendapatkan kisi-kisi ulangan akibat tak ikut les
tambahan yang diberikan wali kelasnya, kami harus pasrah berapa pun nilai yang
diberikan oleh sang guru kepadanya karena tak mungkin dia menyaingi
teman-temannya yang les dalam hal perolehan nilai di kelas.
Karena
tak menganggap mempersoalkannya penting, kami menerima saja “kekalahan” ini.
Bisa lebih ribet kalau mempersoalkannya karena wali kelas sangat
berkuasa atas nilai-nilainya, kecuali untuk nilai UAN. Toh pendidikan lebih dari sekadar kompetisi dan ranking satu.
Saya memilih
memotivasi Athifah untuk belajar secara online
menggunakan aplikasi dan mengerjakan soal-soal yang ada di buku kumpulan
soal “berkisi-kisi nasional”. Konon sudah terbukti bentuk-bentuk soal di buku
ini keluar pada ujian akhir tingkat SD.
Tak semua kompetisi transparan seperti pertandingan olahraga di lintasan seperti ini |
Ah
ya, sebenarnya bukan benar-benar tak memperjuangkannya, ya. Untuk kasus Athifah,
mirip dengan kasus putri teman saya di atas. Kami memperjuangkannya dengan
memotivasi buah hati kami, tidak dengan mencoba mendiskusikannya atau
meributkannya dengan pihak sekolah.
Eh
tapi saya pernah lho memperjuangkan nilai saya dulu karena akan signifikan hasilnya kalau berhasil. Ketika kuliah beberapa kali saya lakukan. Walau
setelah dicek ke dosen yang bersangkutan nilai saya sama saja dengan yang
tertera pada pengumuman, saya lega. Setidaknya saya sudah mencoba memperjuangkannya
walaupun tak ada perubahan.
Kalau
saya tak mencobanya, saya mungkin akan menyesal karena hanya sibuk
berandai-andai. Kalau ada perubahan lumayan, kan karena saya tak perlu menunggu
setahun untuk mengambil mata kuliah yang sama dan ikut ujian lagi.
Zaman
dulu itu tak ada semester pendek atau semester antara jadi kalau ada mata
kuliah yang nilainya jelek, harus diprogramkan lagi di tahun berikutnya. Beruntung
banget kan kalau harga diri jadi naik dan bisa berhemat waktu?
Friends,
dalam hidup ini ada
bermacam dinamika dan riak. Semua kasus di atas merupakan contoh-contoh
sederhana. Andai semua kompetisi setransparan pertandingan olahraga yang bisa
kita saksikan bersama-sama tanpa ada satu celah pun yang tersembunyi, tentunya
akan lebih simple hidup ini.
Andai
semua hanya berakhir dengan angka tanpa ada harga diri yang diperjuangkan
berikut nilai-nilai moral, tentunya akan makin sederhana pula. Namun hidup tak selamanya sederhana,
Rozalinda. Beruntung jika ada proses yang bersih yang mengakomodasi perbaikan
yang diharapkan sebagian orang.
Legowo, legowo, legowo. |
Adalah
hak setiap orang untuk mempertanyakan, memperjuangkan, memperkarakan, atau
apapun namanya itu, terkait kebenaran yang dilihat dan diyakininya. Toh kita-kita ini warga yang berada
dalam negara yang mengakui sistem demokrasi?
Yang
jelas, mumpung masih di bulan Ramadan, boleh kan saya berharap … buat
saudara-saudari muslimku, semoga kita semua bisa mengalahkan hawa nafsu dan kembali kepada fitrah di penghujung Ramadan nanti.
Selanjutnya, kita sama-sama yakin, sebaik-baik hakim adalah Allah yang Maha Adil. Legowo, legowo, legowo.
Makassar, 27 Mei 2019
NB:
Hanya
catatan ringan seorang mamak, sebagai bacaan ringan saja. Tidak untuk dikaitkan
ke mana-mana.
Share :
Kekalahan yang harus sampai wali murid debet di sekolah itu ya kadang keterlaluan. Tapi memang kenyataannya ada. Dan saya pernah menyaksikan sendiri, gara-gara saol ranking. Sedangkan nilainya lebih tinggi daripada rangkin yang diatasnya. Debat, gurunya yang mengalah.
ReplyDeleteBegitulah kalo ranking di atas segala-galanya dalam dunia pendidikan hehehe.
DeleteWell said, kakak. Salam yaa buat temannya 😉
ReplyDeleteSaya yakin dia membaca ini, Cha ;)
Deleteyaah, terkadang kita memang harus lapang dada menerima kekalahan. terkadang kita juga harus memperjuangkannya. Dan terkadang pula, waktu akan membuktikan hasilnya :)
ReplyDeleteYes, that's right :)
Deleteya kita memang hrs lapangd ada untuk menerima kekalahan ya, nice artikel
ReplyDeleteIya, Mbak. Terkadang pun ada yang harus diperjuangkan.
DeleteBener kak, kadang memang kita harus lapang dada terima "kekalahan", toh nantinya akan ada pembuktian dari kesuksesan yang diraih di masa depan.
ReplyDeleteYes, kadang-kadang seperti itu.
DeleteSemangat kak, setidaknya kita pernah berjuang, memperjuangkan sesuatu. Kalau kita gagal berarti kita setidaknya sudah melakukan sesuatu. Dibanding kita tidak pernah sama sekali mencoba
ReplyDeleteBetul sekali. Lebih ada value-nya memperjuangkannya ketimbang diam saja padahal menginginkan perbaikan.
DeleteSepakat kak, yang sering sulit adalah bagaimana melihat kegagalan itu sebagai upaya untuk membaikkan di kesempatan lain.
ReplyDeleteToss, Kak Enal.
Deletesaya ingat waktu masih SD. dari kelas 1 sampai kelas 6 saya selalu langganan rangking 1. tidak pernah bergeser kecuali di cawu pertama waktu masih baru masuk.
ReplyDeletedi ujian akhir kelas 6 saya lihat sendiri beberapa teman diberi kunci jawaban oleh guru. saya tidak tahu kenapa, apakah karena dibayar? atau karena kerabat guru? saya masih sangat lugu waktu itu. tapi yang saya ingat betul ketika hasil ujian keluar, nilai saya kalah dari beberapa teman yang sebenarnya sepanjang kami sekolah 6 tahun bisa dibilang selalu ada di belakang saya. teman yang nilai NEM-nya paling tinggi itulah salah satu yang mendapatkan kunci jawaban waktu ujian.
sakit hati? pastilah. saya merasa dicurangi, tidak adil. tapi mungkin karena waktu itu saya masih kecil dan lugu, kejadian itu tidak saya ceritakan ke siapapun. kekahalan karena kecurangan itu saya telan sendiri.
Apalagi dulu itu, nilai NEM berpengaruh sekali untuk mendaftar di sekolah favorit ya, Daeng. Ada baiknya juga disimpan sendiri ketika itu, jadi orang tua ta' tidak ikut merasa tersakiti. Kadang orang tua lebih sakit hati ketimbang anaknya.
DeleteTadinya saya mungkin orang yang sama dengan kebanyakan mereka bahkan mertuaku kak, bahwa kalau sekolah harus ada rangking. Selama saya sekolah kecuali SMA selalu dapat rangking bahkan sering juara umum beruntung saat SMA kelas 2 saya ketemu orang yang agak2 banna jadi ada cerita yang bisa saya ceritakan bahwa rangking tidak menentukan segalanya. Terbukti sekarang temanku kerja di kedubes US untuk US di salah satu negara bagian Afrika dan saya bahagia karena bisa belajar banyak dari eksplorasi kami hingga tidak terlalu fokus sama rutininas kerja tapi tetap bahagia.
ReplyDeleteMudah-mudahan pendidikan seperti ini bisa saya terapkan buat anak-anak, mereka tidak hanya harus cerdas secara akademik tapi juga secara emosional dan spiritual. Aamiin
Beruntung menemukan pengalaman yang membuka wawasan ya Unga.
DeleteAamiin, anak-anak kita perlu belajar banyak kecerdasan.
Miris ya kak Niar. Kalo mau dicari ujungnya kenapa orang bela-belain melakukan hal yang curang itu ndak lain pasti karena materi atau jabatan alias kekuasaan. Kita yang nda cukup di hal itu meski berlaku jujur sekalipun bisa digulingkan demi memajukan yang "punya". Kalo saya sih selalu mikir bahwa Allah Maha Tahu, Allah nda buta dan tuli. Insya Allah akan adaji balasannya kak. Kalo bukan di dunia, ya di akhirat. :)
ReplyDeleteYa, balasan itu pasti ada dan hanya orang-orang yang punya iman yang meyakininya.
DeleteBelajar banyak dari tulisan ini, suatu saat mungkin Saya akan berada dalam fase yang sama ketika mendampingi anak. Kekalahanemang menyakitkan tapi setidaknya sudah berjuang, meskipun arti berjuang di sini pun bisa berbeda makna bagi setiap orang.
ReplyDeleteThanks for sharing kak :)
Ya, perlu mendefinisikan dan memaknai kekalahan. Perlu menyelidiki seberapa pentingnya memperjuangkan sesuatu dan apa efeknya bagi kita dan benar-benar memahami apa sebenarnya yang diperjuangkan.
DeleteCatatan ini meski ringan tapi sarat pelajaran. Terlebih lagi karena hal-hal yang berbau kecurangan kerap terjadi di sekitar kita. Ada yang memilih diam dan lapang menerima kekalahan karena dicurangi, ada juga yang mengambil tindakan demi mempertahankan kebenaran. Yah, siapa yang rela bila dirinya dicurangi tapi yakin dan percaya saja ya kak. Setiap perbuatan sekecil apapun pasti akan menerima ganjarannya. Termasuk ganjaran buat mereka yang berlaku curang.
ReplyDeletePada sebuah kekalahan, bukan hanya ada sportivitas. Sportivitas tentunya keharusan, jika semua proses transparan. Namun di baliknya ada juga harga diri dan nilai moral yang mungkin perlu diperjuangkan. Semuanya harus dipertimbangkan baik-baik. Dan ganjaran, mereka yang punya iman yang akan memahaminya.
DeleteSeperti lagu sheila on 7 ku harus bisa, bisa berlapang dada.
ReplyDeleteKrn dibaliknya selalu ada hikmah yg bsa dipetik
Hm ya ya ya :)
DeleteKemarin saya menonton review dari teman2 di Rumah perubahan terkait buku "Sometimes u win, sometimes u Learn". Hampir sama dengan opininya hehe.
ReplyDeleteOoh, saya belum tahu bukunya jadi tidak tahu di bagian mana yang hampir sama dengan tulisan yang terdiri atas 900-an kata ini :)
Delete