Refleksi Hari Anak Nasional: Benarkah Hak-hak Anak Kita Sudah Terpenuhi Seutuhnya? - DIFABEL yang berasal dari kata different ability sudah jelas
menunjukkan bahwa subyek yang dirujuk “memiliki kemampuan berbeda”.
Misalnya yang difabel netra bisa belajar dengan perantaraan laptop menggunakan voice
maka dia seharusnya boleh menggunakannya selama di dalam kelas.
Tahun lalu, lini masa Facebook saya diramaikan oleh kasus seorang anak
SMA negeri yang difabel netra meminta bantuan untuk berbicara dengan pihak
sekolah yang tidak mengakomodir kemampuannya menggunakan laptop dalam belajar. Malahan
ada guru yang berkeinginan semua anak harus menulis dalam proses belajar.
Sungguh ironi karena di jaman now, pemerintah Indonesia,
pemerintah provinsi, hingga pemerintah Kota Makassar sebenarnya sudah
mengakomodir terlaksananya sistem inklusi di sekolah. Yaitu bahwa semua
sekolah seharusnya menerima anak-anak berkebutuhan khusus, sekira 5% dari total
siswa yang diterima.
Belum lama ini, anak kawan saya – seorang difabel daksa, ditolak oleh
sekolah yang mengaku sebagai sekolah inklusi. Padahal sekolah itu sudah mengikuti
pelatihan untuk penyelenggaraan sekolah inklusi. Syukurnya, anak tersebut malah
diterima dengan empati oleh sekolah lain yang belum memfasilitasi dirinya
dengan sistem inklusi namun bersedia menerapkannya.
Peringatan Hari Anak Nasional yang dipusatkan di Makassar memang sudah
dilangsungkan pada tanggal 23 Juli lalu di Lapangan Karebosi. Namun tentunya
peringatan yang bersifat seremonial seperti itu bukanlah akhir dari
terpecahkannya seluruh masalah anak di negeri ini.
Masih banyak yang perlu dibenahi bahkan dari hal yang paling kecil sekali
pun. Semisal dalam pelaksanaan kegiatan untuk anak-anak yang seharusnya memposisikan anak sebagai
SUBYEK, bukan OBYEK, apakah memang sudah memperhatikan terpenuhinya hak anak
dalam kegiatan itu?
Misalnya saja, dalam acara yang melibatkan ratusan anak. Apakah anak
nyaman di sana di dalam ruangan yang hanya ada satu pintu, tanpa jendela, dan
tanpa berfungsinya pendingin ruangan? Apakah maksud dan tujuan penyelenggaraan
acara dalam perspektif anak sebagai subyek terpenuhi?
Baca juga: Konsep
Pendidikan Inklusif
Atau, dalam sebuah acara outdoor di mana ribuan anak terlibat di
dalamnya, apakah semua anak nyaman berada di sana? Apakah mereka tak
terpanggang sinar matahari yang tak lagi sehat karena sudah mengandung
ultraviolet? Apakah tujuan pelaksanaan acara sejatinya terpenuhi untuk si anak?
Contoh lain, dalam sebuah acara yang tertunda-tunda selama berjam-jam demi
menunggu orang penting datang sementara anak-anak sudah siap sejak pagi-pagi
sekali. Acara tak kunjung dimulai demi urutan ceremony yang harus menunggu
si orang penting. Alhasil sekian jam kemudian barulah acara dibuka, setelah si
orang penting duduk nyaman di kursi kebesarannya.
Image by Daniela Dimitrova from Pixabay |
Terpikirkah, pesan apa yang disampaikan melalui kejadian seperti itu?
Terpikirkah bahwa pesan yang terlihat adalah, “Wahai anak-anak, kelak jika
kalian jadi orang penting, lakukan hal yang sama. Terlambatlah! Tak mengapa
kalian terlambat sebab kalian adalah orang penting. Karena seisi dunia akan
menunggu, bertekuk lutut, dan bertepuk tangan untuk kalian!”
Maka sekian tahun ke depan, acara-acara ngaret akan terus
berlangsung, terutama setelah anak-anak itu menjadi orang penting karena pesan demikian
begitu seringnya mereka terima. Berkat pesan yang berkali-kali mereka terima
telah masuk ke alam bawah sadar kemudian mengemuka dalam realita.
Itu baru satu pesan negatif saja, belum lagi pesan-pesan lainnya. Kita
harus menelaah kembali, kira-kira pesan-pesan penting apa yang kita berikan
kepada anak-anak kita seumur hidup kita? Apakah pesan-pesan yang menguar dari
keseharian kita positif atau negatif?
Makassar, 26 Juli 2019
Baca juga:
- Menaruh Asa pada Pergub untuk Sekolah Inklusi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
- Membangkitkan Pendidikan yang Inklusif di Makassar
- [Opini Harian Fajar] Menanti Merdekanya Pendidikan yang Inklusif Bagi Semua Anak
- Konsep Pendidikan Inklusif
- Gaet Perhatian Siswa dengan Metode yang Menyenangkan, Ya atau Tidak ?
- Speak Up: Pendidikan dan Indoktrinasi Kepentingan
- Sekilas Tentang Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak
Share :
Hahaha iya tuh ya Mbak, emang biasanya kebiasaan nggaret itu masih ada
ReplyDeleteTerkadang saya sendiri sampai hafal Mbak, kalau janjiannya jam berapa ntar mulainya jam berapa wkwk. Nggaret
ReplyDeleteHari anak itu kemarin ya Mbak? Selamat hari anak. Semoga semuanya menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa
ReplyDeleteMemang benar nih Mbak, kalau yang namanya orang penting ya pasti ditunggu
ReplyDeleteWah bener banget nih Mbak, anak memang harus diutamakan nih ya
ReplyDelete