Kalau
di tulisan yang lalu saya menceritakan mengenai isu ORANG DALAM, kali
ini saya mau bercerita tentang bagaimana kami BELAJAR
DARI PROSES yang dilalui, baik itu menyenangkan ataupun
tidak.
Dua
anak kami terlibat dalam SBMPTN dan PPDB tahun ini. Si sulung Affiq
tamat SMA sementara si tengah Athifah tamat SD. Istimewanya lagi, ada
perubahan pada penyelenggaraan SBMPTN dan PPDB tahun ini. SBMPTN
mengharuskan ada UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer) dan PPDB lebih
banyak memberikan kesempatan pada JALUR ZONASI.
Kalau
dirunut-runut lagi ke belakang, ada banyak hal yang bisa kami
pelajari dari kedua hal ini sehubungan dengan proses yang kami jalani
dan dampaknya bagi kami. Selain membantah isu “harus ada orang
dalam”, pelajaran berikutnya adalah belajar menyelami proses.
Memang usaha tak akan mengkhianati hasil. Kalau tak selamanya bagus, pasti ada hikmah di baliknya.
Jatuh-bangun,
tak selamanya mulus. Mulanya Affiq dinyatakan berhak ikut seleksi
bebas tes ke PTN (SNMPTN:
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Saya berpesan supaya realistis. Tidak
usah ikut kalau keinginannya melampaui kemampuan. Bisa ketahuan
karena setelah diurut nilai, untuk satu sekolah saja bisa dicari tahu
siapa-siapa saja saingannya.
Dia
tak mungkin lolos kalau dalam satu sekolah ada yang nilainya lebih
tinggi daripadanya mengambil jurusan yang persis sama dengannya.
“Pilih jurusan/kampus lain. Kalau tetap ngotot percuma, lebih baik
tak usah ikut karena akan buang-buang energi percuma!” tegas saya.
Sumber gambar: Tribun Jogja - Tribunnews.com |
Qadarullah,
Affiq tak lulus seleksi bebas
tes ini. Lucunya, dia
malah senang karena ada kampus yang lebih dia senangi yang masih
berpeluang dia masuki pada tahap SBMPTN (seleksi
dengan tes). Berikut
susul-menyusul segala ujian.
Untuk
madrasah, lebih banyak ujiannya daripada sekolah umum yang harus dia
lalui sebelum Ujian Nasional. Sebelum pelaksanaan Ujian Nasional, dia
sudah harus mendaftar UTBK sebagai syarat mengikuti SBMPTN.
Dua
kali kesempatan mengikuti UTBK dia lalui. Kata Affiq soalnya sulit.
Sayangnya pada kesempatan kedua nilai rata-ratanya malah turun. Saya
memprediksi dia tidak bisa lolos di pilihan pertamanya dengan nilai
segitu. Tapi papanya
menegur saya, katanya saya pesimis pada anak. Ya gimana,
bukannya pesimis toh hasilnya
sudah kelihatan, hehe.
Ketika
seorang teman yang berprofesi sebagai dosen di Politeknik Negeri UP
mengabari ada seleksi di kampusnya, saya manganjurkan Affiq untuk
ikut. Alhamdulillah, Affiq
lulus murni
pada pilihan pertamanya, tanpa
bantuan orang
dalam tentu. Sampai
di sini sudah tenang, ada “pegangan”.
Tinggal
menunggu pengumuman SBMPTN dan alhamdulillah, Affiq lulus untuk pilihan keduanya pada SBMPTN. Sekarang ada dua "pegangan", lulus murni. Tinggal Affiq, memilih yang mana.
Sementara itu proses bagi Athifah pada PPDB berlangsung. Kami sudah sejak lama deg-degan karena tak ada SMP Negeri yang benar-benar dekat dari rumah.
Sementara itu proses bagi Athifah pada PPDB berlangsung. Kami sudah sejak lama deg-degan karena tak ada SMP Negeri yang benar-benar dekat dari rumah.
Athifah
tak lulus MTsN 1, sekolah terdekat dari rumah kami yang mengharuskan
para pelamarnya melalui tes. Dari 1500-an pendaftar hanya diterima
400 orang. Lalu di SMP Negeri lain, yang cukup dekat, jarak tempuhnya
sekira 3 km – dari aplikasi ojek online.
Sebenarnya
yang diukur adalah jarak dalam radius tetapi kami tak punya alat
ukur/aplikasinya. Untuk jalur prestasi, putri satu-satunya ini tak
bisa lolos karena nilainya pas-pasan. Dia punya piagam dari lomba
bercerita dan tadarus namun sayangnya tak diperhitungkan karena
“hanya” tingkat kotamadya.
Piagam
yang dinilai adalah yang memenangkan kompetisi tingkat provinsi dan
nasional. Masuk jalur Inklusi ataupum Prasejahtera juga bukan
kategorinya. Hingga tiba masa pendaftaran jalur Zonasi, suami saya
mencoba mengecek jarak radius rumah kami dengan sebuah SMP yang
jaraknya relatif dekat itu.
Ternyata
radiusnya berjararak 1,5 km. Aha, sepertinya ini sebuah harapan. Maka
berdesak-desakanlah saya dengan 500-an orang tua untuk mendapatkan
200-an kursi. Pilihan kedua
kami tetapkan di sekolah yang lebih jauh. Namanya
juga usaha, walau tak begitu yakin ya dijalani saja.
Pengumuman
tak berpihak kepada kami. Apa hendak dikata kalau sekitar sekolah
tersebut padat penduduknya? Untuk pilihan pertama, yang diterima
paling jauh berjarak radius 600 meter dari sekolah.
Mari belajar dari proses. Pic: Pixabay. |
Sementara
untuk pilihan kedua yang diterima paling jauh berjarak 900 meter dari
sekolah. Sedangkan dari rumah kami, sekolah ini jarak radiusnya 2,4
km. Yaaah, saya ketawa
terbahak-bahak saja. Ndak
mau saya mengeluh. Ndak
ada gunanya, kan.
Saya
ikut senang peraturan pemerintah mengenai sistem Zonasi ini
menyenangkan banyak pihak. Peraturan manusia memang tak mungkin
menyenangkan semuanya. Kalau
kali ini saya termasuk yang tidak diuntungkan, tentunya bukan alasan
bagi saya untuk mencak-mencak.
Yang
terpikirkan adalah mereka-mereka
yang tinggalnya di wilayah yang saya tempati dan
hanya mengandalkan sekolah negeri, apalagi bila nilai anaknya
pas-pasan pastilah
kesulitan juga mencarinya
karena tak ada SMP negeri dalam radius di bawah 2 km dekat sini.
Tapi
apa mau dikata. Begitulah adanya. Pasti ada cara lain yang masih bisa
dilakukan yang tak melanggar aturan agar anak bisa berkah
pendidikannya. Pasti ada.
Makassar,
11 Juli 2019
Baca
tulisan sebelumnya:
Setelah Huru-hara SBMPTN dan PPDB: Jauh dari "Orang Dalam"
Share :
2 tahun lalu saat mendaftarkan sulung kami masuk SMA, saat mendaftar berkasnya ditandain karena domisili kami sesua KK dari provinsi lain. Sementara anak kami lulus pada SMP yang ada di area dekat SMA yang dituju.
ReplyDeleteCukup ironis karena yang diliat hanya KK. Meski akhirnya anak kami tetap diterima lewat jalur ranking nilai tapi tetap jadi pertanyaan buat kami