Kalau
dirunut-runut lagi ke belakang, ada banyak hal yang bisa kami
pelajari dari kedua hal ini sehubungan dengan proses yang kami jalani
dan dampaknya bagi kami. Yang pertama adalah:
Jauhkan istilah “orang dalam” jika menyangkut pendidikan kalau ingin bermartabat.
Entah
berapa kali sudah saya membantah anggapan bahwa untuk masuk ke
sekolah negeri favorit itu “harus punya kenalan orang dalam”.
Jika saya mendengar seseorang mengatakannya di dekat saya dan jika
situasi memungkinkan, seketika akan saya bantah.
Soalnya
mendengar hal itu bikin saya jengah. Seolah-olah semua anak yang
bersekolah di sekolah favorit itu masuk dengan cara tak murni.
Seolah-olah harus KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) untuk masuk ke
sekolah negeri favorit. Padahal kan tidak demikian adanya.
Benar, ada saja anak-anak yang diusahakan oleh orang tuanya masuk sekolah
pakai jalur belakang atau istilah lainnya “letjen” (lewat
jendela). Tapi mereka tak banyak. Paling banyak sekitar 1 di antara
30 – 40 anak di sekolah yang bersangkutan.
Ketika banyak orang yang tiba-tiba pindah domisili demi mengejar SMP
impian agar anaknya masuk melalui jalur zonasi, kami tak
melakukannya. Seorang kawan berkata, “Andai saya tahu, Kak, saya
masukkan ki’ di Kartu Keluargaku.”
Pengumuman diakses di website ini. Sumber: Kabar24 - Bisnis.com |
“Tidak,
saya ndak pake cara begitu,”
ucap saya padanya. Bukankah hal tersebut sama dengan berbohong?
Apakah perlu berbohong untuk mencari berkah? Ah, saya kira tidak
perlu. Jangan sampai nanti anak-anak berusaha mencari celah untuk
mengakali aturan.
Sulung
saya lulus dari SMP dan SMA negeri favorit tanpa ada kenalan kami
yang memasukkannya. Nilainya memang memadai untuk lulus tanpa perlu
kami mencarikan kenalan orang dalam untuk meluluskannya.
Sebaliknya
ketika si tengah lulus SD, nilainya tak memadai untuk masuk ke
sekolah kakaknya dulu walaupun sekolah itu tak menerapkan sistem
zonasi sepenuhnya (MtsN 1 dan MAN 2 (Model) berada di bawah
Departemen Agama jadi sah-sah saja melakukannya).
Ketika
mengantar Athifah tes masuk di MTsN 1, suami saya bertemu beberapa
guru dan petugas keamanan (Satpam) yang menegurnya karena masih
mengenalinya. Apakah kami menggunakan jasa mereka? No. Kami
tak melakukannya meskipun ketika dia dinyatakan tak lulus.
Usaha
masuk sekolah dengan “lewat jendela” sebenarnya melanggar
hak anak lain yang nilainya lebih tinggi untuk masuk.
Memang pihak sekolah seolah melegalkan tapi tetap saja tak benar
adanya jika anak kami tak berhak masuk karena nilainya tak memadai.
Hal ini jadi seperti “pasar”,
ada pembeli karena ada yang dijual.
Jika
tak berhak lalu mengambil langkah memaksakan diri, kata teman saya
akibatnya akan menjadi
tidak berkah. Kaum
muslim yang beriman tentu lebih memilih cara-cara berkah dalam
menjalani kehidupannya.
Masuk
PTN (perguruan tinggi negeri) pun, masih ada orang yang beranggapan
“butuh kenalan orang dalam”. Beberapa kali pula saya harus
meluruskan pikiran orang yang menyatakan hal ini. Saya dan suami saya
lulusan dari PTN dan fakultas favorit di kota ini, kami bisa
menceritakan banyak bukti yang membantah anggapan tersebut.
Ujiannya
tiba ketika si sulung lulus SMA tahun ini dan mengincar jurusan
favorit. Jurusan yang ada hubungannya dengan aktivitas yang
disukainya: seputar utak-atik desain dan animasi di laptop. Saat ini,
pada 4 universitas negeri di Makassar, kami punya teman-teman yang
sudah menjadi dosen senior bahkan ada yang sudah menjabat sebagai
Ketua Departemem di jurusan yang disasar.
“Kadang-kadang saya tergoda pengen bicara sama teman-teman kita, Pa - minta diuruskan begitu. Tapi rasanya malu. Rasanya seperti menggadaikan harga diri kalau sampai saya berani bicara sama mereka,” ungkap saya kepada suami pada suatu hari.
Saya
bersyukur masih ada kekuatan besar yang menahan diri untuk
menggadaikan harga diri. Ketika reuni kelas saat SMA dan seorang
kawan mengetahui anak saya mendaftar untuk ikut ujian masuk sebuah
kampus negeri, seorang kawan mengungkapkan kepada kawan lain yang
dosen di kampus tersebut dukungan untuk saya.
Dia
mengatakan, “Itue anaknya mau masuk di kampusmu, bantu dulu tawwa!”
“Tidak
... biar dia berusaha sendiri,” ujar saya. Saya memang hanya mengabarkan, tak minta diuruskan.
Sang
teman yang dosen tentunya tidak begitu saja mengiyakan. Dia
menceritakan ada kasus di mana seorang mahasiswa diterima karena dia
orang dekat dari “orang dalam” dan ternyata tak sesuai harapan.
Jadinya si mahasiswa itu malah berpotensi
membuat orang yang memasukkannya merasa malu.
“Mama,
tidak melakukannya, Affiq. Alhamdulillah kamu
bisa lulus di pilihanmu. In
syaa Allah
berkah. Dan kamu
masuk dengan membawa
harga diri,”
ucap saya kepada Affiq usai pengumuman diterimanya dia di salah satu
kampus pilihannya.
Saya
menceritakan kepada Affiq semua hal di atas dan kesyukuran kami. Dia
yang bertanggung jawab atas pilihannya dan apa yang dia jalani. Dia
bisa masuk kampus yang dipilihnya dengan kepala tegak.
Semoga harga diri dan berkah membawanya kepada kesuksesan.
Baarakallahu fiik, Nak.
Makassar,
10 Juli 2019
Catatan:
Ini pendapat saya, kalau ada yang berpendapat berbeda, silakan. Bisa saja tak ada yang benar atau salah. Yang jelas semuanya kembali kepada kita sebagai pelaku karena kita yang akan mempertanggungjawabkannya kepada Sang Pencipta. 😇
Share :
Semakin kesini, masuk perguruan tinggi khususnya negeri sepertinya semakin 'mudah' Knapa? Karena ada beberapa jalur yg bisa dilalui selain tes awal. Ada juga yg bisa lewat jalur mandiri, jalur prestasi dll...
ReplyDeleteEntahlah ini suatu kemajuan atau kemunduran
Untuk yang jalur reguler tidak makin mudah juga. Daeng. Ada yang namanya UTBK, ada saya cerita di atas, koq. Yang mau ikut jalur reguler harus ikut tes ini dulu dan nilainya ndak bisa dimainkan.
DeleteMaa syaa Allaah baarrakallaah kakak Afiq bisa lulus di PTN yang diinginkannya. Tentu sangat membanggakan bisa lulus karena usaha sendiri ketimbang lulus karena ada bantuan orang dalam. Salut sama kak Niar dan suami selaku ortu yang tegas mengambil sikap menentang, walaupun sampai sekarang mungkin masih banyak yang melakukan cara2 lewat jendela seperti itu.
ReplyDeleteAamiin, terima kasih.
DeleteSemoga kami bisa konsisten. Mohon doanya :)
luar biasa kak!
ReplyDeletememang seharusnya begitu. kita sebagai orang tua harus memberikan contoh kepada anak bagaimana menjaga idealisme dan kejujuran, jangan sampai digadaikan bahkan untuk hal mednasar seperti pendidikan.
mau dapat pendidikan saja, masak harus mendidik anak untuk curang?
Nah, itu dia point-nya, Daeng.
Delete