Bermula dari Fort Rotterdam
Masih di benteng kebanggaan Fort Rotterdam saya habiskan minuman ion itu. Fort
Rotterdam yang dibangun oleh Karaeng
Tumapparsi Kallonna pada tahun 1545 menjadi titik kumpul kami – para
peserta ajang yang diberi nama Djalan-djalan ke Bangoenan Bersedjarah Kota Makassar.
Sembari menunggu para peserta hadir semua, kami
mengganti kostum dengan baju kaos berwarna abu-abu dan name tag yang
diberikan panitia dari Lembaga Lingkar. Lembaga Lingkar ini komunitas yang concern
dengan sejarah dan kerap menyelenggarakan kegiatan yang mendekatkan sejarah
dengan warga kota. Ini kegiatan Lembaga Lingkar kesekian kalinya yang saya ikuti.
Selalu saja menarik mengelilingi benteng yang memiliki
luas bangunan 11.805,85 meter persegi ini. Pada lahan seluas 12,41 ha, terdapat
16 unit bangunan, sumur kuno, parit keliling, dan memiliki 5 bastion yang
penamaannya sesuai kerajaan sekutu seperti, Bone, Bacan, Buton, Mandarsyah, dan
Ambonia yang diisi pasukan sekutu.
Benteng ini dahulu berfungsi multi fungsi, mulai dari
benteng pertahanan masa kerajaan Gowa-Tallo, benteng pertahanan, pemukiman
pejabat dan elite Eropa, rumah sakit, kantor pemerintahan dan kantor dagang,
dan gudang perdagangan pada masa VOC hingga Hindia Belanda.
Ketika masa pendudukan Jepang (1942 – 1945), Benteng
Rotterdam digunakan sebagai pusat penelitian ilmu pertanian dan bahasa. Pada
tahun 1945 – 1949, Benteng Rotterdam beralih fungsi menjadi pusat kegiatan
pertahanan Belanda dalam menghadapi para pejuang Republik Indonesia.
Pada tahun 1950 benteng ini sempat menjadi tempat
tinggal anggota TNI dan warga sipil sebelum akhirnya jatuh kembali ke tangan
Belanda pada tahun yang sama dalam rangka pembentukan Negara Indonesia Timur.
Pada perkembangannya, Fort Rotterdam yang telah
dipugar difungsikan menjadi kantor oleh pemerintah. Salah satunya yang kini
berkantor di sana adalah Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan.
Saya pernah mendapatkan informasi bahwa benteng ini
merupakan salah satu dari benteng tua paling terawat di dunia. Oya, Fort
Rotterdam telah ditetapkan sebagai “benda cagar budaya” pada tanggal 22
Juni 2010 berdasarkan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik
Indonesia Nomor PM.59/PW.007/MKP/2010.
Melintasi RRI
Dari Fort Rotterdam, kami berjalan kaki menuju
tetangga terdekat di sebelah utara benteng, yaitu RRI (Radio Republik Indonesia). Sebagai orang yang
berasal dari generasi X, tempat ini juga menjadi tempat bersejarah bagi saya. Dulu
kami hanya mendapatkan hiburan dari satu-satunya stasiun televisi (TVRI) dan
dari stasiun-stasiun radio AM/MW, salah satunya RRI.
Sewaktu duduk di taman kanak-kanak, tahun 1979 atautahun 1980, saya pernah menjadi bagian dari tim sekolah – TK Indriya KWL yang
melakukan pertunjukan radio di sana. Saat itu saya koq berani saja menyanyikan
lagu Bunga Nusa Indah. Setelah itu sampai sekarang, jangan harap saya mau
bernyanyi dengan gagah berani seperti itu lagi. 😂
Seorang kawan, mantan penyiar RRI menceritakan kisah horor
dari gedung ini. Mulai dari suara alat musik yang terdengar tanpa ada yang memainkannya, suara
tangisan, kisah bunuh diri penyiar cantik, ketika tidur malam – bangunnya sudah
di tempat berbeda, dan kisah sakit dan meninggalnya pegawai setiap jelang ulang
tahun RRI. Begitulah, kisah bangunan bersejarah tak lepas dari kisah horor.
Simak
saja sejarahnya berikut ini. Radio pertama kali mengudara di Makassar pada tanggal
8 Desember 1942saat, Jepang pertama kali datang ke Makassar. Bangunan radio
pertama di Makassar adalah rumah warga bernama Dg. Lala (seorang kontraktor bangunan).
Ketika itu nama stasiun radio Jepang ini adalah Makasaru
Hozo Kyoku (MHK). Sekaligus menjadi stasiun radio pertama di Makassar
bahkan di Indonesia timur. Siaran milik MHK berupa propaganda perang Asia Timur
Raya yang diselingi lagu-lagu keroncong, Bugis, dan lagu Jepang.
Setelah akhir perang dunia II De Bruin (komandan
pasukan) mengambil alih MHK lalu mengganti namanya menjadi Radio Oemroep
Makassar (ROM) yang dipimpin oleh Mr. Sholtens. Pada tahun 1947, ROM berganti
nama menjadi Radio Oemroep in Overgangtijd (ROIO). Pada bulan Mei tahun 1950,
radio ini berganti nama menjadi RRI
(Radio Republik Indonesia).
Melihat dari Dekat Rumah Leluhur
Marga Lie/Lishi Jiamiao atau Eng Djoe
Tongatau Wisma Sejahtera (1885)
Melintasi bagian depan RRI, kami menyeberang jalan
Ahmad Yani, masuk ke Kawasan Pecinan
di jalan Sulawesi untuk melihat dari dekat Rumah Leluhur Marga Lie. Menurut Inskripsi tahun
1888, bangunan ini didirikan setelah meninggalnya mantan Kapiten Lie Siauw
Teak pada tahun 1885. Rumah abu ini didirikan di dalam kawasan rumahnya.
Lie Siauw Teak diduga bukan merupakan imigran pertama
di Makssar tapi dia seseorang yang sukses sehingga berhasil mendapatkan
sebidang tanah dari pemerintah Hindia Belanda untuk memperluas pekuburan tua
yang saat itu mulai terlalu kecil. Pekuburan baru ini kemudian diberi nama
Sintiong atau kuburan baru.
Lie Siauw Teak memiliki dua Putra Sanliang dan Dongyi
yang meninggal sangat muda dan dua putri (Xingniang dan Heniang). Dia lalu mengadopsi
dua putra dari adiknya Mingong dari tiongkok, Shanshu dan Shanjia.
Mengunjungi Klenteng Ibu Agung Bahari (1738)
Klenteng Ibu Agung Bahari terletak di seberang Rumah Abu Lie. Klenteng
dibangun pada tahun 1738. Klenteng ini dibangun oleh Lie Lu Tjang pada masa kapitan Ong Goat Ko (Wang Yue dalam bahasa Mandarin) yang
mulai membangun kehidupan sosio cultural masyarakat Tionghoa di
Makassar.
Klenteng ini dibuat untuk dipersembahkan bagi Tianhou
atau Dewi Langit (untuk memuja Dewi Ma Tjo Poh) yang dipercaya sebagai dewi
pembawa berkah dan keselamatan di laut. Oleh karenanya itu patung di atas
kleteng dibuat menghadap ke laut.
Bangunan ini pernah dipugar pada tahun 1805, 1831, dan
1867. Kapiten Nio Tek Hao mulai memugar saat bangunan rumah ibadah ini dalam
kondisi rusak. Sayangnya karena kerusuhan anti ina yang pernah terjadi di
Makassar pada 1997, yang tersisa dari bangunan awal hanyalah pintu gerbang
depan.
Melihat-lihat Gedung Kesenian Sulawesi Selatan (1896)
Dari jalan Sulawesi, rombongan “Djalan-djalan ke
Bangoenan Bersedjarah” kembali ke jalan Ahmad Yani dan memasuki sebuah gedung. Ingatan
masa kanak-kanak saya mengingat gedung ini sebagai gedung yang bisa dipakai
untuk pertunjukan, selain auditorium RRI.
Nama lain Gedung Kesenian Sul Sel ini adalah Societeit de Harmonie. Gedung ini dibangun
ketika pemerintah kolonial Belanda menjadikan kota Makassar sebagai kota
pemerintahan dan kota niaga (gemeente). Bangunan ini didirikan pada
tahun 1896, untuk memenuhi kebutuhan akan tempat pertemuan, perkumpulan, pesta,
pertunjukan sandiwara, musik, dan acara resmi lainnya.
Saat itu, pertemuan atau kegiatan yang diselenggarakan
di situ dihadiri oleh tamu-tamu penting dan petinggi Belanda, orang-orang
Belanda, orang-orang China kaya, dan segelintir bangsawan pribumi. Hiburan yang
ditampilkan merupakan karya para dramawan Eropa terkenal tapi dimainkan secara
amatir oleh para pemain drama lokal.
Societeit de Harmonie, foto dari Lembaga Lingkar |
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), gedung ini
dijadikan balai kota masyarakat. Selain itu, Societeit de Harmonie juga
digunakan sebagai tempat rapat untuk kepentingan Jepang, selain untuk
pertunjukkan seni. Namanya diganti menjadi "Mikasa Kaikan" dan
digunakan untuk kegiatan budaya bagi penduduk Jepang dan lokal.
Selepas Jepang angkat kaki, grup-grup seniman tidak
bisa leluasa tampil karena Societeit de Harmonie dikuasai oleh Belanda,
keturunan China, dan golong pribumi tertentu. Beruntung pada tahun 1952, atas dukungan
Gubernur Sulawesi – Andi Pangerang Pettarani, seniman lokal berhasil mengambil
alih gedung ini.
Tanggal 10 November – 7 Desember 1955 diadakan
festival seni drama Indonesia 1 di gedung ini. Tahun 1960 – 1978, gedung ini
dijadikan sebagai kantor DPRD Sulawesi Selatan. Pada tahun 1978 – 1980 menjadi sekretariat KNPI, kemudian diserahkan
kepada Dewan Kesenian Makassar (DSM). Pada tahun 1982 diselenggarakan festival
teater IV yang diikuti 5 grup teater.
Salah satu bangunan tua di kawasan Pecinan. Kami melewatinya dalam perjalanan menuju Societeit de Harmonie. |
Bangunan dengan atap berbentuk limas berkemiringan
tajam yang merupakan unsur lokal ini sekarang sering digunakan warga berkegiatan.
Ada ruangan berbentuk teater di dalamnya yang sudah direnovasi dan memadai
untuk digunakan.
Makassar, 23 September 2019
Bersambung
Ini baru
sebagian perjalanan kami, selanjutnya saya tuliskan di tulisan berikut, ya.
Oya, keterangan detail tentang tempat yang didatangi berasal dari Lembaga
Lingkar.
Simak akun Instagram @lembagalingkar untuk mengetahui
informasi kegiatan atau wisata sejarah Lembaga Lingkar berikutnya.
Baca juga tulisan terkait Lembaga Lingkar:
- Menapaktilasi Sejarah Orang Tionghoa dan Pecinan di Makassar
- Merawat Ingatan Sejarah Kita
- Spirit Kartini Versi 3 Perempuan Pegiat Literasi
- Perempuan dan Museum Kota di Peringatan Hari Kartini
Baca juga tulisan-tulisan yang terkait Fort Rotterdam:
- Mumi dan Jejak-Jejak Sejarah di Fort Rotterdam
- Tour de Fort Rotterdam
- Anak-Anak Muda Penyala yang Luar Biasa
- Yang Terlewatkan di Pesta Komunitas Makassar 2015
- Mengunjungi Rumah Dongeng di Pesta Komunitas Makassar
- Semaraknya Kids Corner di MIWF 2016
Share :
wah aku suka banget ahl yang berbau sejarah, selalu nemu hal baru , jd pingin ikut
ReplyDelete