Yah, maksudnya semacam mau bilang, “Ngapain kamu kritik-kritik
saya, saya kan sudah biasa menulis. Saya sudah berpengalaman jadi wartawan!”
Namun tak berapa lama, orang itu membaca kembali desainnya dalam diam.
Dia tidak sadar, dalam hati suami saya mengatakan, “Sudah puluhan tahun
jadi wartawan masih salah juga?” Duh, malah konyol, kan?
“Malu sendiri ji itu, Kak kalau dia sadari kesalahannya,” ujar
saya.
Sebuah typo pada karangan bunga pemberian seorang pejabat untuk
pelaksanaan sebuah event besar menjadi bahan ejekan. Urusan karangan
bunga tentu urusan stafnya. Kesalahan entah ada pada oknum yang mana. Kata yang
berubah menjadi bahan banyolan beraroma jemawa yang sama sekali tak lucu.
Saya berharap Allah menjaga dari kejemawaan serupa itu. Saya sudah biasa
menulis. Sudah lebih dari 2000 tulisan saya hasilkan, dengan sejumlah buku dan
artikel di surat kabar. Tetapi saya menyadari, kadang-kadang masih saja ada typo
(kesalahan ketik) di dalam tulisan saya.
Pun masih ada saja tata Bahasa Indonesia yang belum saya ketahui.
Sejatinya ilmu itu luas sekali. Bak samudra. Tahu banyak, belum berarti tahu
segalanya. Tahu banyak justru berarti masih banyak yang belum kita ketahui.
Atau sebenarnya justru kita hanya merasa tahu alias sok tahu karena ibarat
melihat puncak gunung es saja. Masih jauh lebih banyak yang tidak terlihat oleh
mata kita.
Kalau saja lamanya seseorang menjadi sesuatu menjadi jaminan tidak adanya
kesalahan yang dia lakukan maka tidak ada yang namanya kecelakaan lalu-lintas oleh
mereka yang sudah bertahun-tahun terbiasa menyetir kendaraan.
Namun pada kenyataannya, masih ada saja sopir bus antar kota yang ceroboh
sehingga terjadi kecelakaan. Tetap saja masih ada kecelakaan pesawat oleh
kelalaian pilot atau petugas. Padahal mereka sudah bertahun-tahun atau malah
puluhan tahun melaksanakan tugasnya.
Justru manusia bisa saja melakukan kesalahan karena menganggap enteng cek
dan ricek atau teledor, atau tersebab yang lainnya karena kekurangan manusia
maka terjadi hal yang tak diinginkan. Siapalah kita yang mau sok-sok bergantung
pada kepiawaian yang nyatanya sok piawai?
Filsuf besar Yunani,
Socrates (469 SM – 399 SM)
pernah mengatakan,
“The only true wisdom is
“The only true wisdom is
in knowing you know
nothing.”
Aku tahu bahwa aku tidak mengetahui apapun atau saya mengetahui
satu hal, bahwa saya tak mengetahui apapun adalah paradoks Sokratik atau
pepatah terkenal yang berasal dari catatan Plato mengenai Socrates (Wikipedia).
Tak banyak orang yang sampai kepada pemikiran seperti ini. Seorang ibu
bahkan mengajarkan kepada anaknya bahwa karena dia seorang ibu, karena dia jauh
lebih tua maka pastilah dia yang paling benar dan paling tahu.
Anda beruntung jika bukan ibu yang seperti itu karena bisa mengajarkan
anak Anda untuk menjadi bijak. Bagaimana jadinya anak-anak yang memiliki ibu
yang merasa maha benar? Akan jadi apa mereka nanti? Ah, saya tak berani
membayangkannya.
Saya jadi ingat kejadian kemarin. Ketika menumpang mobil ojek online, ada
seorang ibu mengendarai motor di sebelah kiri kami. Ibu itu berada di sisi paling
kiri jalan. Persis di persimpangan, mobil yang saya tumpangi hendak berbelok.
Socrates. Sumber: Wikipedia. |
Karena ibu itu berhenti maka mobil mengambil ancang-ancang berbelok ke
kiri. Tiba-tiba motor ibu itu melaju ke depan. Nyaris saja terjadi tabrakan. Mata
ibu itu lebih dulu menyala. Sorotnya mengandung emosi amarah. Dari mulutnya keluar
makian.
Bapak pengendara mobil terpancing emosinya. Menurutnya, si ibu seharusnya
ada di sebelah kanan jika hendak lurus ke depan. Atau jangan berhenti di
persimpangan jika hendak lurus dan tidak memperhatikan mobil yang di sebelah
kanannya hendak berbelok.
Si bapak balas menurunkan kaca mobil dan mengeluarkan nama binatang
secara kasar. “Pak, sudah mi. Orang ndak tahu aturan itu, bawa
kendaraan baru seenaknya. Mana dia poeng yang duluan menyala matanya.
Jangan maki’ ladeni!” pinta saya.
Hih, terbayangkan apa yang akan kita ajarkan kepada anak kita jika kita ibu
yang demikian? Terbayangkah makhluk angkuh macam apa yang akan kita hasilkan?
Makassar, 15 September 2019
Baca juga:
Share :
Nah nah ini dia,sekian banyak tulisan yg saya buat, ternyata saya pun masiiiiih ada aja cacat nulisnya. Banyak kosakata yg salah. Masih berantakan. Masih butuh Ivan lanin, eh.
ReplyDeleteMudah2an diri ini pun masih mau mengedukasi diri dan bisa menerima kritik.
Butuh Ivan Lanin pribadi yah hehehe.
DeleteIya ya, semoga kita terus terbuka untuk belajar, Mbak Lidha
wah pagi ini membaca sebuah pelajaran berharga mbak, lamanya seseorang dalam seuatu bidang bukan berarti tidak akan membuat kesalahan, terkadang kadang menganggap remeh menjadi penyebabnya
ReplyDeleteIya, ya ... saya kira seperti itu.
DeleteTerlalu lama berada dalam sebuah bidang/tempat, rentan membuat kita angkuh dan merasa lebih baik daripada orang lain diluar tempat/bidang kita. Semoga kita dilindungi dari hal-hal demikian
Mengakui kesalahan memang sulit ya, kak. Bisa berefek panjang dan bikin lelah jadinya, ya.
ReplyDeleteAkan lebih mudah prosesnya kalau legowo ya Ipeh
Deletewaaah, memasng masih banyak yg suka typo ya mba Niar. heran apa nggak browsing dulu gitu y ata apa yg tepat, etapi saya jg harus lebih banyak baca nih biar ga typo nti malu deh kalo blogger menyampaikan hal yg salah
ReplyDeleteSering kali keyboard atau jemari tak kompromi dengan yang diketahui, Mbak jadi bisa saja typo tanpa disadari hehehe
DeleteSemoga saya bukan termasuk ibu yang angkuh. Hehehe ..setiap kesalahan yang saya buat saya selalu mengucapkan terima kasih atas koreksi orang tersebut kepada saya, dan untuk anak nih saya selalu mengajarkan untuk selalu meminta maaf jika mempunyai kesalahan
ReplyDeleteAamiin, semoga kita menjadi ibu yang senantiasa belajar ya Mbak Dwi
DeleteYa kak.. kita meskipun nulis tiap hari masih aja ada typo.. Tinggal ralat aja beres. gak perlu ngotot dan merasa tak mungkin ada kesalahan.. Semoga kita tergolong orang2 yang selalu menjaga lisan ya kak
ReplyDeleteIyes benar. Aamiin, semoga Allah senantiasa menjaga kita ya Mbak Dian
Delete