Lalu, apakah menolak terus membuat mereka berhenti?
Ternyata tidak! Malah dalam kasus ini, yang memusuhinya bertambah: dua anak
yang bersepupu dan mencari sekutu. Entah apa sebabnya, si Asse – tiada angin,
tiada hujan, pernah mengatakan begini kepada teman-temannya, “Menurutmu, apa
cantiknya Athifah?”
Oya, satu lagi. Sebenarnya Athifah bukan satu-satunya
korban. Para pelaku perundungan itu punya beberapa korban. Jadi memang
ada kesenangan melakukannya lagi dan lagi. Makanya harus dihentikan.
Foto: pexels.com, by Kailash Kumar |
Di tulisan ini saya ingin menceritakan apa yang terjadi
ketika wali kelas Athifah dan kedua anak pelaku bullying itu
mempertemukan mereka dengan saya dan pak suami. Respon beliau bagus, kalian
bisa baca di bagian akhir tulisan Melawan
Pedih, Mengatasi Bullying.
Saya menatap dua anak yang dibawa oleh wali kelas masuk
ke ruang guru. Terkejut melihat Baso. Anak laki-laki itu ternyata bertubuh kecil.
Jauh lebih pendek daripada Athifah dan dia bertubuh kurus! Kalau mau dibalas perundungan
yang dilakukannya, tipe begini gampang saja dibalas. Saya bersyukur
Athifah tak melakukannya.
“Kalian tahu kenapa dipanggil ke sini?” pak wali kelas menatap
keduanya bergantian.
“Tidak,” serentak mereka menjawab.
“Siapa yang sering kamu berikan kata-kata tidak baik dan
menyakitkan?”
“Tidak ada, Pak.”
“Ah, ada yang ko suka bilangi mulutnya kenapa itu.”
“Ooh, Mutia itu, Pak,” jawab Asse.
“Kenapa kau bilangi begitu?”
“Main-main ji, Pak. Karena runcing ki mulutnya,”
Asse tertawa tanpa suara.
“Eh, tidak boleh begitu. Kau suka kah kalau saya bilangi ko,
misalnya kenapa itu hidungmu begitu. Atau kamu, Baso, kenapa ko kecil
begitu. Sukakah?”
Mereka menggeleng.
“Ini ada mama dan bapaknya Athifah,” bapak wali kelas
menceritakan maksud kedatangan kami.
Sumber: pexels.com, by Geralt. |
Saya menatap dua anak itu. “Koleris yang perempuan,”
bisik pak suami di telinga saya. Saya setuju, karakter wajahnya terlihat keras,
khas orang berwatak koleris. “Ayo salaman dulu,” saya mencoba mencairkan suasana
dan mengajak kedua anak itu bersalaman.
Saya berbicara panjang kali lebar kali tinggi. Beberapa
perlakuan tak menyenangkan saya refleksikan kepada mereka dan bertanya apakah
mereka senang mendapat perlakuan demikian. Keduanya sama-sama menggeleng.
“Yang namanya bermain itu, Nak, harus sama-sama senang. Kalau ada temanmu yang bilang tidak mau atau tidak suka, jangan lakukan. Itu bukan bermain namanya,” ini salah satu yang saya sampaikan.
Kepada ketiga anak saya, sering saya katakan hal ini.
Saya tak suka kalau ada yang bercandanya kelewatan sampai yang lainnya menjerit
marah atau menangis. Yang seperti itu sama sekali bukan bermain!
“Kalau bicara, Nak, filter ki dulu. Pikirkan,
apakah akan menyakiti orang atau tidak. Kalau kamu dikatakan seperti itu,
enak, tidak?”
“Kalian itu sudah remaja. Kalau seterusnya sampai dewasa seperti ini, in syaa Allah akan ada yang memukulmu atau bisa berhadapan dengan hukum. Kalau keterusan dan ada yang tidak senang, kalian bisa dihukum. Ada itu yang namanya ‘perbuatan tidak menyenangkan’. Hati-hati!”
Saya juga mengatakan kepada mereka bahwa ada 3 kata ajaib
yang jika diucapkan kepada orang-orang maka akan banyak orang yang senang
dengan mereka. Ketiga kata itu adalah MAAF, TOLONG, dan TERIMA KASIH.
Apa yang ingin saya sampaikan keluar semua seperti keluarnya
segala uneg-uneg. Alhamdulillah saya bisa menguasai diri dengan bersikap
waras. Dalam posisi itu, Baso dan Asse tak bisa berkata apa-apa lagi kecuali
mengiyakan semua nasihat yang ditumpahkan.
Foto: freepik.com |
“Jangan sampai keluar di sini ko bilangi Athifah jamma’
(mengadu) terus ko ejek-ejek ki,” pak guru Matematika itu menatap
Baso dan Asse secara bergantian. “Jangan nah, dipanggil begini ini, dinasihati ko.
Kalau saya misalnya ejek-ejek ko, pasti mi ko bilang ke
mamamu toh?” imbuhnya.
“Iya, Nak. Bukan itu pajamma’ (pengadu) kalo anak
cerita masalahnya ke orang tuanya. Memang seharusnya begitu. Siapa yang bantu
selesaikan kalau bukan orang tua. Tante dan Om ke sini itu sebenarnya Athifah
tidak mau. Athifah maunya berteman sama kalian,” sambar saya.
“Saya panggil Athifah ya Bu, Pak, supaya mereka meminta
maaf,” pak wali kelas menatap saya dan pak suami. Kami mengiyakan.
Pak guru keluar ruangan. Saya menatap kedua anak itu dan
bertanya dengan nada ramah, “Apa cita-cita ta’, Nak?”
“Dokter,” Baso menjawab. Sementara Asse hanya
menggelengkan kepalanya. “Ih bagusnya cita-citanya, jadi dokter. Kalau jadi
dokter, nanti jadi dokter yang baik, bicaranya sopan supaya banyak yang suka dan
pasiennya cepat sembuh. Kalau kasar nanti ndak sembuh pasiennya,” saya
memandangi Baso, tersenyum, dan mengusap punggung tangannya.
Ada senyum tersungging di bibir Baso. Pernahkah kalian
memuji anak kalian dan melihatnya tersenyum mendengarkan pujian itu? Seperti
itu senyuman si Baso.
Ah, saya jadi ingat status Mbak Dian Kristiani – teman Facebook
yang penulis buku anak mengenai pelaku bullying. Katanya anak pelaku perundungan
itu menjadi seperti itu karena tidak pernah berbincang hangat dan dipeluk oleh ibunya.
Seketika timbul ide di kepala saya dan saya melakukannya
usai ketiga anak itu bermaaf-maafan. Saya menyalami Baso sembari mengusap
lembut kepalanya. Lalu kepada Asse, saya peluk hangat dirinya
sembari cipika-cipiki: menempelkan pipi saya ke pipinya dan mengusap lembut
kepalanya yang mengenakan jilbab putih.
Sumber: freepik.com |
Singkat cerita, sejak tanggal 14 itu hingga hari ini,
kedua anak itu tidak pernah lagi mengatakan atau bersikap menyakitkan kepada
putri kami. Semoga cukup menjadi shock therapy yang berfaedah bagi
mereka berdua.
Saat ini Asse dan Baso dalam masa percobaan. Kalau masih
mengulangi lagi perbuatannya, kami akan berhadapan dengan orang tua keduanya. Ah,
semoga saja mereka sudah kapok dan kami tak perlu bertemu orang tua mereka
untuk kasus yang sama. I hope to say the case is closed.
Makassar, 20 Oktober 2019
Alhamdulillah. Semoga Allah memberkahi Pak Alim, wali
kelas Athifah, Baso, dan Asse. Masya Allah, beliau paham dan memudahkan
penyelesaian masalah ini. Senang sekali saya karena tak semua guru seperti
beliau.
Kemungkinan nanti akan saya tulis pasca kejadian di dalam tulisan ini.
Kemungkinan nanti akan saya tulis pasca kejadian di dalam tulisan ini.
Baca tulisan sebelumnya:
Baca juga:
- Bully ... Oh ... Bully
- Anak-Anak Tukang Bully Makin Banyak Saja
- Curhat Tak Kesampaian di Diskusi Publik Media dan Isu Kekerasan pada Perempuan dan Anak
- Rizka: Lawan Bullying dan Mendunia Melalui Komik
Share :
Dehhhh, saya sejak tulisan awal kemarin-kemarin sudah murka, Kak. Naikmi di kepalaku.
ReplyDeleteBahkan sampai di tulisan ini, kayak mau memuncak amarahku.
Tapi pas di bagian Baso senyum waktu dielus tangannya sama Qt, langsungka mau menangis. Huhuhu.
Mauka peluk Baso juga.
Tapi Asse ndk kusuka, Kak. *eh
Yang baca saja bisa ikut pedih ya, Mirna? Jujur, masih ada sisa kepedihanku tapi saya harap mengekspresikan ke dalam tulisan ini mengeluarkan semuanya dan saya tak mau menyimpan dendam atau meniup dendam kepada Baso dan Asse.
DeleteSuamiku sudah pernah ketemu Asse di sekolah saat menjemput Athifah. Suamiku sapa dia dan tersenyum, "Apa kabar?"
Asse balas tersenyum dan menjawab, "Baik."
Sesungguhnya dia anak yang manis.
Ini memang cara paling tepat melawan perundungan ya. Bicara baik-baik dari hati ke hati supaya anak lebih bisa menerima.
ReplyDeleteBayangkan kalau kita bicara dengan nada kasar ke pelaku, bisa-bisa mereka menaruh dendam yang entah kapan akan terlampiaskan bahkan mungkin ke orang banyak.
Good job kak. Langkah yang harus diikuti orang banyak.
Iya, Daeng, untuk kasus ini. Saya terbantu sekali oleh wali kelas. Beliau tenang orangnya, sama sekali tak ada nada marah saat berbicara jadi Saya sekuat tenaga menahan emosi sembari terus berdzikir.
DeleteSemoga mereka tak mengulanginya lagi kepada siapapun.
mbaaa, aku sukaaa banget caramu mengatasi anak2 pelaku bullyingnya. tetep santun, lembut, dan ga emosi samasekali. salut mba. cara ini hrs aku contoh kalo misalnya nanti ada kejadian sama yg terjadi ke anakku. memang sih, ada kalanya,kekerasan itu jgn dibalas dengan kekerasan. terbukti toh, begitu dinasehati secara lembut, anak2 itu jd sadar
ReplyDeleteHiks.. Jadi terharu bacanya kak.
ReplyDeleteKasian sebenarnya mereka itu. Karakter pembully seperti itu biasanya karena di rumah mereka gak dihargai jadinya melampiaskan ke temannya.
Pengen deh berhati lembut kayak Kak Niar kalo hadapi pembully anak, tapi apa daya... Saya dengar saja ada yang ganggu anakku sedikit, murka ma!! Sampai saya bilang ke anak2 "kasi tau temanmu kalo ada yg macam2, bilang Mamimu preman!" Hahah..
Baru tahu nih mbak, kalau anak galak bisa kena perundungan juga
ReplyDeleteKak Niar kereeen!!
ReplyDeleteMemang bullying itu bukan persoalan sederhana
banyak faktor yg memengaruhi bullier.
Semoga solusi ini bisa berkah untuk semua pihak yaaa
--bukanbocahbiasa(dot)com--
Masya Allah, pelajaran penting ini kalau suatu saat anakku dibully atau membully. Aku sering dibully bahkan sampai sekarang dan cuma senyum aja dengernya. Sedihnya jika kita dibully sama orang terdekat. Menyakitkan memang
ReplyDeleteTidak semua orang tua bisa bersikap seperti mbak Mugniar loh kalo anaknya jadi korban bully. Salut bisa menangani dengan tenang dan lembut.
ReplyDeleteJadi inget dengan teman anakku, dulu waktu kls 1 SD, dia sampai tidak mau sekolah dan akhirnya pindah sekolah karena sering digangguin temannya.
Semoga tidak ada bullying lagi ya kak...Alhamdulillah Baso dan Asse berhdapan dengan orang tua Athifah yang baik hati dan sangat teredukasi dalam menangani bullying...
ReplyDeleteMerinding bacanya, Mbak. Anak sy termasuk orang yang sering diejek bahkan pernah oleh wali murid yang lain hanya karena dia punya tahi lalat di pipi. Dia terbiasa sering ditertawakan, tetapi untuk kasus wali murid itu jujur sy kurang bisa menerima. Bagaimana bisa orang tua mengejek anak sy bahkan tepat di depannya? :(
ReplyDeleteagak agak gak mudeng karena nulisnya pake bahasa Makasar mbak Niar, jadi kadang balik lagi baca dan tetep ga ngerti hahahahah
ReplyDeleteintinya anak korban dan pelaku bullying memang harus dihadapkan bersama dan diberitahu keburukan bullying ya
Peran orang dewasa memang sangat penting untuk meluruskan perilaku yang tidak pas pada anak. Semoga bully membully bisa diatasi dg kerja sama yang baik antara ortu dan guru.
ReplyDeletepenyelesaina yang manis, Kak Niar.
ReplyDeleteDulu Aa, anak sulungku kena bullying pas kelas 3 n 4. Di kelas 3 udh lapor n diselesaikan sama wali kelasnya. Pas kelas 4, wali kelas ga bisa nanganin. Daripada Aa makin depresi, aku n anak2 pindah ke Bogor, suami tetep tinggal di Makassar :'(
sbenernya Aa ga sampai dibully fisik, cuma diledek 'banna banna' tapi itu sudah bikin dia tertekan sampe (maaf) pup di celana. Aa anaknya pendiam dan jarang ngomong. mungkin krna dia murid baru pindahan makanya dibully. padahal waktu jdi murid baru di kalimantan, Aa malah jadi pusat perhatian krna prestasinya.
alhamdulillah beberapa bulan kemudian suami dimutasi ke Jakarta n bisa kumpul lagi tinggal di Bogor ampe skr :)
kasus bullying memang harus didekati secara kontekstual ya mba...dilihat ebnar permasalahannya kenapa dan mungkin solusi n pendekatannya jd beda2.>>
ReplyDeleteanakku yg kecil kena bullying fisik oleh teman dekatnya, dia gak nyaman tp bingung kenapa teman baik malah spt itu
.
mungkin dia pikir becanda..pdhal becanda tp manyakiti kan gak pas juga
rupanya si teman terbiasa dan menganggap hal tsb sebagai hal yg bisa dimaklumi..
setlah dijelaskan dia gak melakukannya lagi.
Bullying itu memang ga mandang karakter anak ya mbak.mau diam mau galak tetap aja bisa jadi korban bully. Sebagai orang tua kita harus menghentikannya. Ga boleh dibiarkan
ReplyDeleteReferensi menarik Mbak. Soalnya suka bingung mau ngomong apa ke anak orang lain. Kalau adikku sendiri, aku biasakan biar dia suka mengungkapkan tiga kata ajaib
ReplyDeleteDari artikel ini aku belajar bagaimana mengatasi pelaku bullying mbak
ReplyDeleteMbaknya teduh banget dehh,
Kalau dulu inget kena bullying cuman ga berani ngomong ke ortu wkkwkwk
Makasih buat sharingnya ya mbak
Semoga Asse dan Baso juga kian baik hubungannya dg Athifah
Wah ilmu banget niih buat saya, Mba. Bener yg Mba bilang, tidak semua guru bisa seperi Pak Alim. Semoga anak-anakku diajar guru-guru yg bijak dan netral. Jadi saya bisa mencontoh cara menyelesaikan bullying ini.
ReplyDeleteKalau semua wali kelas seperti Bapak tersebut yaaa. Masih banyak anak yang dirundung atau perundung malah berakhir kurang baik karena komunikasinya yg kurang tepat. Stop bullying
ReplyDeletewaaahh hebat bisa berdamai gt. Waktu masih sekolah dulu juga aksu jadi korban bully mbak. Padahal waktu itu aku lumayan tegas lho, rada galak juga sebenarnya. Tapi ada aja kakak kelas yang ngebully. Dipepet di belakang aula gt. Wah kalo inget masa2 itu gmn deh rasanya. Jaman dulu aku nggak kepikiran buat ngadu ke guru atau ortu si, walau ortu si pelaku juga temenan ama ortu ku. Malah aku ngadunya ke teman2 se-genk & sepupuku. Hasilnya, anak yang ngebully aku malah dilabrak ama sepupuku. Emang bukan solusi yang tepat sih, tapi abis itu mereka nggak berani lagi ganggu aku.
ReplyDeleteTidak semua guru bisa paham dan mau menyelesaikan masalah anak-anak muridnya ya, Mbak.
ReplyDeleteDulu salah satu teman anak saya juga mengalami perundungan. Dan ketika orang tuanya melapor kepada guru mereka, jawaban gurunya simpel aja: ya ...namanya anak-anak.
Dah gitu aja, tepok jidat, deh!
Alhamdulillah terselesaikan dengan baik ya Kak, sedih banget pasti kena perundungan kayak Athifah, aku juga zaman SD pernah kena..sedihnyaa..jadinya sekarang strict soal ini..
ReplyDeletekalau dari senyuman Baso, sepertinya memang dia jarang dipuji ya kak. benar...bisa saja perlakuan mereka untuk cari perhatian karena kurang perhatian orang tuanya
ReplyDeleteAllhamdulullah Athifah gak diganggu lagi ya mbak setelah datang ke sekolah. Itu masalahnya kadang anak ngadu takutnya pembullyan malah bertambah jadi ngeri
ReplyDeleteSuka bngt Cara pemecahannya mba,,, mudah2an saja gak Ada lg korban bullying atau jadi pelakunya klo semua orangtua bisa aware kyk gini
ReplyDeleteWah mb Mugniar keren banget. Kalo aku bisa ngamuk2 duluan, huhuhu. Kasus perundungan memng masih banyak di lembaga pendidikan kita
ReplyDeleteIya banget, untuk bullying, janganlah kita menunggu semua baik dengan sendirinya. Tak akan pernah ada. Yang ada anak malah semakin tersiksa. Orang tua harus turun tangan. Tapi tentu dengan cara yang tetap halus. Supaya tak ada yang merasa dibully balik.
ReplyDeleteSemoga anak-anak kita terhindar dari perundungan. Semoga Asse dan Baso akan selalu menginat nasihat di hari itu hingga dewasa nanti.
ReplyDeletewah salut juga dengan mbak dan suami membantu anak dalam menyelesaikan masalah bully. Saya dulu juga korban bully, dan berusaha mengatasi sendiri
ReplyDeleteDi sini peran guru amat penting ya mba, mau menjembatani keluhan orang tua dan menyelesaikan masalah dengan bijaksana. Kadang ada loh yang gurunya menutup-nutupi dan bilang ah tidak ada apa-apa tuh antara anak-anak itu. Kalau seperti Pak Alim ini yang mau membantu, tentunya perundungan akan segera berakhir karena anak-anak jadi tau konsekuensinya apa ketika mereka melakukan hal tersebut.
ReplyDelete