Pengalaman dan pengamatan saya menunjukkan, ketahanan
mental dalam bergaul di masa kecil akan berpengaruh kelak ketika dewasa. Orang
tua adalah yang paling berperan dalam hal membangun ketahanan mental anak.
Seberapa penting ketahanan mental? Bagi saya penting.
Sekarang sudah banyak dibahas mengenai adversity quotient (AQ), yaitu
kecerdasan bertahan hidup. Browsing-lah jika belum paham karena sudah
banyak yang menuliskannya. Ketahanan mental, tentu saja berpengaruh terhadap
AQ.
Coba bayangkan ini, jika dalam kehidupan, kita tak bisa
hidup dengan orang-orang yang tak sepandangan dalam berkomunitas atau
bermasyarakat dan memutuskan keluar. Lalu setiap menghadapi masalah yang sama,
kita keluar lagi. Maka apakah masalahnya ada dalam komunitas atau masyarakat?
Tentu tidak, kan? Mau sampai kapan kita keluar dari
setiap komunitas atau lingkungan yang kita masuki setiap tidak cocok dengan
segelintir anggotanya? Masalahnya ada di mana? Pada semua komunitas/lingkungan
atau diri kita sendiri?
Nah, begitu pula dalam dunia anak-anak. Bermain,
bertengkar, bermain lagi, lalu bertengkar lagi adalah hal yang biasa. Bahkan di
mana pun ada anak yang entah kenapa menjadi korban bullying (perundungan).
Tentu tak ada orang tua yang menerima dengan lapang dada
jika anaknya mengalami perundungan. Saya pun tidak. Malah rasanya sakit.
Mungkin lebih sakit dibandingkan apa yang dirasakan anak saya. Seperti ketika
akhirnya mengetahui anak sulung saya mengalaminya.
Anak yang di-bully bisa mengalami depresi. |
Ketika Affiq duduk di bangku sekolah menengah pertama
sekian tahun lalu dan mengetahui dari kawannya ada 3 anak lain yang mem-bully-nya
sejak duduk di kelas 1 – 3, hati saya bahkan merasa hancur. Suami saya pun
merasakan sakit, saya tahu itu. Tetapi sebagai orang dewasa, kami harus
bersikap waras.
Affiq sangat tertutup. Berkali-kali ditanyai tentang apa
yang dia alami, dia diam saja. Malah terlihat tidak suka dan marah jika didesak.
Bersyukur, ayahnya anak-anak mendapatkan informasi detail dari seorang kawan
Affiq yang merasa kasihan. Terima kasih banyak, Nak. Tante tak akan pernah sanggup membalas kepedulian dan kebaikanmu. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rezeki
padamu.
Saya masih ingat apa yang dikatakannya kepada suami saya
(menurut penjelasan suami saya waktu itu): “Om, andai Affiq tidak dikasih
begitu, dia bisa ranking satu. Affiq itu pintar sekali.”
Saya bukannya tergila-gila dengan ranking satu.
Saya tak pernah mendorong anak-anak saya
supaya meraih posisi itu. Bagi saya,
sekolah itu untuk belajar, untuk menuntut ilmu.
Bukan untuk meraih posisi.
Tapi tak saya pungkiri, ada rasa kecewa yang dalam mendengarkan
ini karena itu berarti potensi besar Affiq tak bisa keluar semua “hanya” karena
di-bully! Dia bersekolah di salah satu sekolah terbaik di kota ini.
Selama 2 tahun lebih potensi dirinya tidak tereksplorasi maksimal. Hati ibu
mana yang tak hancur?
Beruntung sekolah menanggapi dengan baik ketika pak suami
mengadukan hal ini. Saksi-saksi dikumpulkan dan ketiga anak yang menjadikan
Affiq sebagai pembantunya itu diberi ultimatum. Ultimatumnya begini: “Jika terulang
lagi, tak ada ampun. Angkat kaki dari sekolah ini meskipun ujian nasional tinggal
menghitung hari”.
Pak suami masih merasakan belum puas. Tetapi bagi saya ultimatum
itu sudah cukup untuk mereka karena akhirnya ulah mereka berhenti. Tak bisa
juga memberikan hukuman yang terlalu berat karena mereka masih kategori
anak-anak dan masih punya kemungkinan untuk berubah menjadi lebih baik.
Saat Affiq saya ajak bicara, saya katakan padanya adalah
kewajibannya melindungi dirinya. Bagi seorang muslim, jihad adalah
sebutan ketika melindungi diri dari kezaliman. Apa yang dilakukan
kawan-kawannya adalah kezaliman. Jika mengalami hal yang ekstrem maka mati pun
tak apa selama di jalan Allah.
Hei, saya tak mengajarkan anak saya menjadi ekstremis
atau radikalis, ya. Saya mengajarkan anak saya melindungi diri sebab suatu
hari nanti dia harus melindungi keluarganya juga. Dan saya tahu,
dalam Islam, lillahi ta’ala – bahkan perjuangan sekecil melindungi diri
dari kezaliman, balasannya surga!
Suami saya punya pengalaman dengan
bullying pada masa
kanak-kanaknya
karena badannya yang kecil. Dia sering
menjadi “anak bawang” dalam lingkungannya.
Tetapi dia tak menyerah.
Kalau perlu berkelahi, dia lakukan itu.
Suatu ketika, saat perundungan verbal tak tertahankan
lagi dia rasakan, dia memukul orang yang selalu mengejeknya meskipun badannya
jauh lebih besar. Orang itu KO dan setelah itu dia tak pernah berulah lagi.
Sepertinya rasa malu mencegahnya mem-bully lagi.
Kalau mau dicari tahu “mengapa anak saya di-bully?”
bisa jadi tak akan ketemu jawabannya. Anak-anak pelaku bully sering
kali tak punya alasan untuk melakukannya. Mereka hanya merasa lebih nyaman
jika terlihat superior tapi sesungguhnya jiwa mereka kerdil.
Anak-anak seperti itu pun
orang dewasa seperti itu
ada di mana-mana. Mau mensterilkan
atau merekayasa lingkungan supaya
sama sekali tak bertemu mereka
bukanlah solusi terbaik. Kita memang perlu
menghindar sebisanya tapi jauh lebih penting
untuk melatih mental supaya tangguh.
Beberapa kawan yang expert dalam dunia pendidikan
dan psikologi pernah berkata kepada saya, “Kuatkan anakmu.” Ya, itulah yang
saya berusaha lakukan. Saya dulu anak yang penakut. Ketika dewasa,
saya tak bisa menghadapi orang yang berbeda pendapat dengan saya. Dalam
kejadian ekstrem, saya bisa terkena serangan jantung ringan.
Saya perlu berjuang menguatkan diri untuk menghadapi
perbedaan pendapat hingga saya merasa cukup kuat saat ini. Saya merasa
lebih nyaman kini, ketika mental saya lebih kuat menghadapi semua itu.
Saya ingin melatih anak-anak saya untuk lebih tangguh
daripada saya sedini mungkin karena perbedaan, pertentangan, dan orang-orang
rese itu keniscayaan yang harus dihadapi dan tidak bisa selalu dihindari.
Anak pem-bully merasa nyaman dengan merasa diri superior. |
Ah ya, mungkin ada yang bertanya, bagaimana dengan Affiq
sekarang? Sekarang dia berstatus sebagai mahasiswa baru. Saat SMP dia tak
pernah mau ikut kegiatan ekstra kurikuler dan cenderung menarik diri. Saat
duduk di bangku SMA, dia aktif dalam beberapa kegiatan ekstra kurikuler hingga
saat ini.
Dia juga belajar karate dan sudah dua kali ikut ujian
kenaikan tingkat. Semoga Allah meridhainya tumbuh dengan mental yang semakin
kuat dari hari ke hari dan tak menemui lagi problema seperti yang dia alami
sewaktu SD. Bantu aminkan ya karib dan kerabat.
Makassar, 18 Oktober 2019
Kisah bully
ini belum berakhir sampai di sini. Masih ada kisah lain yang dialami
Athifah, putri kedua saya. Semoga energi saya cukup besar untuk menuliskannya
karena menuliskan kembali hal ini seperti membuka luka lama.
Tetapi saya
perlu menuliskannya sebagai catatan pembelajaran saya dan semoga bisa menjadi
pembelajaran bagi kita semua karena bully tak bisa dibiarkan.
Baca juga:
- Bully ... Oh ... Bully
- Anak-Anak Tukang Bully Makin Banyak Saja
- Curhat Tak Kesampaian di Diskusi Publik Media dan Isu Kekerasan pada Perempuan dan Anak
Share :
Setuju banget Mbak kalau orang tua adalah orang yang berpengaruh penting dalam membangun ketahanan mental pada anak.
ReplyDeleteSiap, sepakat ya, Mbak
DeleteKesehatan mental juga sangat penting untuk membangun mental yang kuat pada anak ya, Mbak.
ReplyDeleteYup, dibutuhkan itu.
DeleteTerkadang, melawan untuk melindungi diri sendiri itu memang dibutuhkan dan wajib dilakukan.
ReplyDeleteSetelah baca tulisan Mbak, saya juga jadi ingin melatih anak saya untuk memiliki mental yang kuat untuk melindungi dirinya.
ReplyDeleteIya Mbak, menghukum anak tidak perlu yang berat, percuma kalau dihukum berat tapi si anak tidak tau maksut kita. Selagi bisa dinasehatin dan si anak mengerti mungkin itu akan jauh lebih baik ya, Mbak.
ReplyDeleteIya, Mbak kalau orang rese di hiraukan bisa jadi makin rese heheh, jadi lebih baik dihadapi saja.
ReplyDeletewah kak semoga anak2 kita semua dijauhkan dari pembully ya.. aku pun sedang dlm upaya mengatasi bully yg dialami anak2ku kak..
ReplyDeleteDg melakukan bully mengangkat sedikit kelemahan dr lawannya dia menjadi seperti superior. Kasihan
ReplyDeleteKadang suka gemes liat anak tiba2 jadi murung tapi kalo ditanya kenapa gak mau jawab. Smg anak2 kita semua terbebas dari perundungan teman2nya
ReplyDeleteAnak dibully maupun membully bagi orangtua adalah PR besar, karena itu menyangkut perkembangan karakternya kelak saat dewasa.
ReplyDeleteTrauma bullying bisa berbekas sampai kita dewasa. Ketidak mampuan kita melawan bullying bisa menjadi dendam dan rasa sakit hati yang tersimpan dalam di relung2 bathin. Affiq beruntung sekali punya kedua orang tua yang awware dan tidak diam saja dalam menghadapi bulyying terhadap Affiq. Tfs
ReplyDeleteMasalah yg sulit dituntutaskan sampai saat ini mmg bully. Kyknya sdh jadi trunanmi dih hehe
ReplyDelete