Tulisan berjudul Wujudkan Pemerataan Sistem Pendidikan Inklusif untuk Capai Tujuan Pendidikan Nasional ini diikutkan
lomba menulis Bisnis.com akhir tahun lalu. Sayangnya gagal masuk ke dalam 50
besar. Untuk menjadi 50 besar harus mendapatkan vote dan views yang
besar, lalu keseluruhan pendaftar di-ranking berdasarkan urutan
perolehan itu.
Setelah itu baru dinilai kualitas tulisannya oleh juri. Saya percaya diri
kalau tulisan ini “boleh diadu kualitasnya” namun ... sayangnya, tulisan saya
tak berhasil tembus 50 besar. Perolehannya sebesar 262 vote dan 1000-an views
(saya lupa tepatnya berapa yang sudah baca). Rasanya usaha saya sudah
optimal untuk share ke mana-mana. 😅
Apa boleh buat, para peserta yang masuk 50 besar itu jumlah vote dan
views-nya RAKSASA semua 😆. Sampai puluhan ribu
yang baca dan ribuan yang vote. Entah bagaimana bisa seperti mereka. 😁 Ah sudahlah, yang penting sudah berusaha. Tulisan ini
saya tayangkan di sini. Semoga bisa bermanfaat.
Link tulisan asli:
https://writing-contest.bisnis.com/read/20191201/557/1176753/wujudkan-pemerataan-sistem-pendidikan-inklusif-untuk-capai-tujuan-pendidikan-nasional
Wujudkan Pemerataan
Sistem Pendidikan Inklusif untuk
Capai Tujuan Pendidikan Nasional
“Bagus sekolahnya.
Banyak anak bodo’-bodo’ jadi pintar keluar dari sini,” kata seseorang
kepada suami saya ketika mengunjungi sekolah dasar itu. Tak enak didengar tapi apa
hendak dikata. Begitulah pandangan umum orang di Makassar terhadap anak yang
perkembangannya tak seperti anak seusianya.
Bungsu kami
kini sudah kelas 3 di sekolah tersebut. Dia masuk melalui jalur inklusi.
Keadaannya yang speech delay dan terlambat dalam beberapa hal
dibandingkan anak seusianya membuat kami memutuskan memasukkannya di sekolah
ini.
Di sekolahnya,
belasan anak berkebutuhan khusus diakomodasi belajar bersama anak-anak reguler.
Sistem inklusi yang dirintis sejak tahun 2002 membuat semua guru, siswa, hingga
penjaga kantin paham bagaimana bersikap terhadap ABK.
Di tengah
keterbatasan kurangnya tenaga pendidik kategori Aparatur Sipil Negara, saya menyaksikan
berjalannya sistem inklusif di sekolah ini. Tak harus mahal ternyata untuk
menjadi sekolah inklusi. Jalan terbuka bermodalkan itikad baik dan tekad kuat
dalam mengikuti peraturan pemerintah.
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif
Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan & Memiliki Potensi Kecerdasan
dan/atau Bakat Istimewa telah mengatur caranya.
Pasal 1
Permen tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta
didik yang memiliki kelainan dan berpotensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan
secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Tujuan
pendidikan inklusif (Depdiknas: 2009, 10-11) di antaranya adalah: memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada semua anak mendapatkan pendidikan layak sesuai
kebutuhannya, membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar;
membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka
tinggal kelas dan putus sekolah, dan menciptakan sistem pendidikan yang
menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap
pembelajaran.
Adapun manfaat
pendidikan inklusif untuk ABK/disabilitas adalah meningkatkan kepercayaan diri,
berkesempatan menyesuaikan diri, dan memiliki kesiapan menghadapi kehidupan di
masyarakat. Sedangkan peserta didik pada umumnya dapat belajar mengenai
keterbatasan, kelebihan, dan keunikan tertentu pada temannya sehingga dapat
mengembangkan keterampilan sosial, menumbuhkan rasa empati dan simpati terhadap
orang lain (Kustawan, 2013: 18).
Setelah 10
tahun ditetapkan, seharusnya pendidikan inklusif menjadi pola yang wajar dan
mendewasa. Kenyataannya tak demikian sebab banyak sekolah tak menerapkannya. Belum
lama ini di Makassar, seorang difabel daksa ditolak masuk sebuah SMP negeri yang
menyatakan dirinya sekolah inklusi.
Beberapa
bulan lalu, lini masa Facebook saya ramai dengan kasus seorang siswi SMA
difabel netra yang menuntut persamaan hak belajar di sekolahnya. Permasalahan
itu mencuat ketika permintaan menggunakan laptop dan menggunakan GPK ditolak.
Keinginannya untuk bersekolah tidak diamodasi dengan baik oleh pihak sekolah.
Lagu lama,
sekolah inklusi menolak difabel. Padahal kisah difabel yang menginspirasi sudah
banyak beredar. Helen Keller (penulis Amerika, 1880 – 1968), salah satu
contohnya. Helen adalah orang buta-tuli pertama yang lulus perguruan tinggi. Dia
dosen dan penasihat senior bagi difabel. The Story of My Life adalah salah satu
buku karyanya yang berisi kisah hidupnya.
Dr. Handry
Satriago, profesional berkursi roda
merupakan CEO dari perusahaan besar. Sebelumnya dia bekerja di beberapa
perusahaan lokal sebagai Direktur Business Development. Nur Sahadati Amir
(Nunu), kawan blogger saya, memiliki beberapa keterbatasan fisik. Walau
sering mengalami diskriminasi, Nunu berhasil menyelesaikan S1-nya. Kini dia bekerja
sebagai ASN pada sebuah instansi di Jakarta dan tengah menyelesaikan studi S2-nya.
Pada tahun
2015, Anis Rahmatillah – pengguna laptop dengan kaki karena lengannya tak bisa
berfungsi sebagaimana mestinya, meraih juara 1 pada Olimpiade Sains Nasional.
Nick Vujicic – motivator kelas dunia telah mengunjungi lebih dari 25 negara
meskipun dia terlahir tanpa kedua kaki dan lengan.
Mereka bukti
bahwa keterbatasan bukan berarti sama sekali tidak mampu. Alih-alih dikasihani,
difabel hanya butuh dimengerti dan dimaklumi bahwa mereka berdaya dengan cara
berbeda. Fasilitasi mereka dengan metode yang tepat, misalnya dengan dengan
menjalankan sistem pendidikan inklusif.
Albert
Einstein yang pernah disangka bodoh dan bermasalah pada masa sekolahnya pernah
menulis, “Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to
climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.”
Semua
orang jenius. Tetapi jika Anda menilai seekor ikan dengan kemampuannya memanjat
pohon, ia akan hidup selamanya dengan percaya bahwa dirinya bodoh. Seorang difabel netra memiliki kecerdasan
yang sama dengan yang mampu melihat. Biarkan dia belajar menggunakan laptop,
jangan minta dia untuk melihat ke papan tulis lalu menulis!
Berdayakan
semaksimal mungkin lulusan Pendidikan Luar Biasa untuk menjadi GPK, tingkatkan
kapasitas mereka dengan pelatihan yang sesuai, dorong penerapan pendidikan
inklusif baik di sekolah swasta maupun negeri, penuhi kebutuhan guru ASN di
sekolah negeri termasuk tenaga GPK-nya, berikan dana operasional pendidikan
inklusif, dan edukasi para kepala sekolah serta orang tua perihal pendidikan
inklusif.
Sekali lagi,
dengan itikad baik dan tekad kuat segala keterbatasan bisa di atasi. Bukti terselenggaranya
pendidikan inklusif dengan biaya minim sudah ada, yaitu sekolah anak bungsu
saya. Maka janganlah mengatakan tidak bisa atau tak mampu jika belum berusaha.
Bukankah
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia adalah tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang termaktub dalam UU
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional harus kita dorong
terlaksananya?
Bukankah
warga negara yang baik bersedia mendukung program yang baik? Bersediakah Anda share
tulisan ini agar makin banyak orang yang aware dengan pendidikan
inklusif?
Makassar, 2019
Baca juga tulisan-tulisan tentang difabel:
- Hari Down Syndrome Sedunia: Kalah-Menang Bukan Masalah
- Serba-Serbi Difabel
- Berharganya Ruang, Waktu, dan Kesempatan Bagi Anak Difabel
- Inspirasi Difabel Songsong Asian Para Games
Baca tulisan-tulisan tentang sekolah/pendidikan inklusi:
- Menaruh Asa pada Pergub untuk Sekolah Inklusi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
- Konsep Pendidikan Inklusif
- Peran Guru Pendidikan Khusus Bagi Sekolah Inklusi
- Tanggung Jawab Kita dalam Mewujudkan Sekolah Inklusi
- [Opini Harian Fajar] Menanti Merdekanya Pendidikan yang Inklusif Bagi Semua Anak
Share :
Sistem pendidikan inklusi ini saya belum ketemu sih di sekitar, ada anak dari saudara suami difable juga sekolah di sekolah khusus padahal secara kecerdasan nurut saya ga ada masalah apa-apa.
ReplyDeleteAkan ttetapi sistem pendidikan di negara kita usdah banyak kemajuan ya untuk para difable ini karena lebih diperhatikan dan skill mereka pun mulai dipertimbangkan.
Menurut saya memang penting sih pemerintah menata lagi sistem pendidikan terutama untuk ABK, entah pelatihan juga untuk guru-gurunya dan sosialisasi ke masyarakat luas untuk bersikap terhadap anak ABK. Karena seringkali kasian anaknya malah jadi dikucilkan mba. Sedih liatnya.
ReplyDeleteJangan memandang sebelah mata anak-anak
ReplyDeletedifabel karena sesungguhnya mereka lebih berprestasi drpada anak keumuman.
saya bersedia aja sih mbak, untuk lebih mensosialisasi pendidikan inklusi tersebut. Sedikit share, ponakan saya menderita autism namun dia bisa bersekolah di sekolah biasa bukan di SLB
ReplyDeleteSaya juga sungguh berharap, sekolah inklusif diterapkan di semua sekolah Indonesia tanpa pandang bulu
ReplyDeleteHasilnya akan baik untuk kedua belah pihak
Bener banget mbak, saya selalu ingat pesan guru saya "Jangan mengira hanya hewan yang bisa memanjat pohon adalah hewan yang pintar, jika demikian maka tidak akan ada ikan yang pintar". Kita semua pintar dengan porsinya masing-masing
ReplyDeleteHarusnya di zaman serba digital sekarang tidak lagi ada diskriminasi-diskriminasi itu untuk difabel ya mba. Era serba terbuka, informasi masuk dari mana saja. Saya pun heran kok masih ada pola pikir yg sempit dan tidak ikut menyukseskan pendidikan inklusi.
ReplyDeleteHarusnya di zaman serba digital sekarang tidak ada lagi diskriminasi-diskriminasi terhadap kaum difabel ya mba. Era serba terbuka, informasi masuk dari mana saja. Saya pun heran kok masih ada pola pikir yg sempit dan tidak ikut menyukseskan pendidikan inklusi.
ReplyDeleteSekolah inklusi buatku sangat menolong dan membantu. Kebetula anakku usia 5 tahun tapi speech delay. Ahamdulillah banyak perkembanga
ReplyDeleteOh ya kak, tapi ada saya baca juga status seorang teman fb dengan 3 anak ABKnya yang sepertinya dia tidak melulu setuju dengan pendidikan inklusif. Jadi dia setuju dengan pendidikan macam di SLB gitu, para ABK bisa dididik pula kemandirian hidup di sana. Nanti sa infokan akun fb beliau nah.
ReplyDeleteSaya pernah punya pengalaman mengajar di salah satu SMK dekat rumah semasa kuliah. Salah satu murid saya dulu termasuk yang butuh perhatian khusus, dan nggak semudah yang dibayangkan. Semoga banyak lembaga pendidikan yang melakukan hal ini, agar pendidikan jadi merata. Aamiin.
ReplyDeleteHi, Mbak. Sekolah anak-anakku sudah dua tahun ini berstatus sebagai sekolah inklusi. Di sana ada anak-anak ADHD, speech delay, sampai difabel. Yang sangat aku apresisasi, sekolah mengundang perwakilan orangtua murid untuk menyampaikan perubahan tersebut beserta alasannya. Sekolah juga menyelenggarakan workshop yang wajib dihadiri semua orangtua murid dan memaparkan apa dan bagaimana sekolah inklusi.
ReplyDeleteKami juga diperkenalkan siswa/i ABK yang mana saja beserta fotonya. Tujuannya, agar apabila kami menemukan anak-anak tersebut berada di red zone sekolah, kami bisa membimbing mereka kembali ke kelas atau ke ruang guru terdekat.
Salam sayang untuk putranya ya, Mbak.
Sebenarnya sudah banyak sekolah inklusi, hanya kadang sumber daya terbatas..
ReplyDeleteKhusunya untuk guru pendamping, biasanya sekolah tetap menerima tapi ortu harus menyediakan guru pendamping sendiri..
Klau di sekolah anak saya seperti itu sih
Di Sekolah anakku juga yang difabel bisa sekolah dan diterima dengan baik, selain untuk pemerataan pendidik saya pikir bagus buat empati anak juga, jadi paham bahwa ada perbedaan fisik macam itu.
ReplyDeleteHarapanku juga sekolah inklusi ini bisa memberikan penolong dan membantu anak-anak yang mengalami perkembangan agak delay. Jadi PR banget buat lembaga pendidikan agan melakukan pemerataan nih.
ReplyDelete