Saat itu, di sebuah grup
kami membincangkan tentang mereka yang tak peduli dengan seruan di rumah saja
selama PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Kepada mereka yang menganggap
pelonggaran berarti kebebasan berkumpul-kumpul kembali. Termasuk kepada mereka
tak mau memakai masker ke mana-mana.
Kami resah tapi tak bisa
berbuat apa-apa lagi selain berusaha melindungi diri dan keluarga sendiri
semaksimal mungkin. Kami bukan covinoid (covid paranoid),
terlebih bukan covidiot (covid idiot). Sebab kalau kita mencari
tahu di sumber yang terpercaya, Covid-19 – penyakit baru bagi semua manusia, di
belahan bumi mana pun, ras dan agama apapun ini sangat unik.
Sehingga kita membutuhkan
cara baru dalam memperlakukan diri dan sekitar kita. Sayangnya penyakit ini
belum ditemukan vaksinnya. Sesiapa yang sudah pernah positif, tidak lantas
bebas lantaran masih bisa diserang kembali pada gelombang kedua, ketiga, dan mungkin
yang seterusnya.
Bahkan belum selesai gelombang
pertama pun, dia masih bisa kena. Kalau diistilahkan mungkin bisa dikatakan
gelombang 1A, 1B, dan seterusnya. Jika bahan bacaan meluas, berbagai informasi
kita terima namun tidak berarti yang berlawanan ditolak mentah-mentah. Ingin
mengingkari herd immunity namun bisa saja, itu terjadi.
Reaksi umat Islam dalam
menjalani tata cara beribadah berbeda. Saya tak ingin menjelaskan di sini
perihal mana yang benar dan mana yang salah. Saya mengikuti suami mengikuti
tuntunan MUI – Majelis Ulama Indonesia. MUI diikuti, kan bukan hanya sekadar
dalam penentuan hilal hari raya.
Sebagian masyarakat
sepaham dengan MUI, katakanlah Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Wahdah Islamiyah,
dan masih banyak lagi. Sebagian yang lainnya berbeda sikap, mengikuti kata
hatinya, kata akalnya, dan kata pemerintah lokal.
Oke, baiklah. Saya tidak
mau memusingkan pilihan orang-orang yang berbeda. Entah yang pilihannya
berbeda, apakah pusing dengan pilihan orang yang tak sama dengannya?
Karena “mengajak kepada
kebaikan” kini berbeda versi. Versi saya dengan versi mereka berbeda. Versi
Anda juga mungkin sama atau berbeda dengan saya. Dan barangkali kita semua
ingin menyerukan semua orang kepada kebaikan.
Hari ini sebagian besar
di rumah kami memutuskan untuk melaksanakan shalat Id di rumah saja,
seperti seruan MUI pusat hingga MUI provinsi Sulawesi Selatan. Pun seruan
gubernur Sulawesi Selatan. Apalagi kota dan kecamatan kami zona merah. Kelakuan
sebagian besar masyarakat masih seperti tidak ada apa-apa.
Namun ayah saya yang
usianya jelang 80 tahun memutuskan ikut shalat Id di masjid sebelah yang
tetap buka selama sebagian Ramadhan dan akan buka besok shalat Id.
Para orang tua - lansia termasuk golongan yang rentan terpapar. Sudah begitu kecamatan kami termasuk zona merah. Di lorong (gang) kami belum ada yang positif. Tapi di lorong dekat sini sudah ada yang positif dan suaminya sering “ main” dan shalat di dekat sini. Entah apa ukurannya zona hijau itu, apakah RT atau RW? Terus bagaimana dengan potensi OTG yang makin banyak?
Tapi sudahlah, kami menghormati saja keputusan Ayah yang rupanya sulit digoyahkan. Saya dan
adik perempuan tak bisa berkata apa-apa lagi. Mungkin adik laki-laki bisa
berbicara padanya.
Di satu sisi, Ramadhan
dan lebaran kali ini membuat saya lega. Saya bukan orang yang suka
dipusingkan dengan penampilan, baju baru, dan segala pernak-pernik duniawi.
Setiap Ramadhan dan lebaran saya gelisah karena tidak bisa benar-benar
menerapkan apa yang saya harapkan berhubung masih tinggal bersama orang tua
yang punya keinginan berbeda.
Hari ini, saya lebih lega.
Tak perlu ada kepusingan akan penampilan diri, akan penampilan rumah, dan
sebagainya yang menghabiskan waktu dan tidak tahu apa esensinya. Mungkin saya anti
mainstream ya hehe. Saya inginnya lebih fokus kepada pencarian makna Ramadhan
dan Idul Fitri saja.
Di sisi lain, perbedaan
yang ada sekarang mengejutkan juga. Okelah kalau masing-masing mau menghargai
pendapat yang berbeda dengannya. Kalau demikian, tak mengapa. Semoga tak ada
pergesekan keras.
Cukup kita saling
memahami saja bahwa masing-masing kita akan dimintai pertanggungjawabannya oleh
Allah subhanahu wata’ala kelak di akhirat. Apa yang menjadi landasan
dari keputusan yang diambil haruslah kuat dan tidak perlu pertentangkan dengan
yang berbeda pendapat. Bagaimana pun juga sesama muslim itu bersaudara. Iya,
kan?
Selamat Hari Raya Idul
Fitri, mohon maaf lahir dan batin, ya.
Makassar, 23 Mei 2020
Share :
Selamat Idul Fitri ka, walau tahun ini gak pulang untuk merayakannya bersama keluarga gapap dehhh hihi...
ReplyDeleteLebaran yang akan teringat dan menjadi kisah istimewa yang akan diceritakan oleh anak keturunan kita kelak.
ReplyDeleteSedih karena tak bisa berbas saling berkunjung seperti biasa, namun harus diterima dengan lapang dada sebagai satu ketentuan dari Rabb kita. Pasti ada hikmah di baliknya.
Betul, jauh lebih baik patuh kepada aturan, daripada ngotot mempertahankan keyakinan yang belum tentu benar. Demi terciptanya kemaslahatan bersama.