Luka-luka
Pengasuhan
SANDWICH FEELING yang
timbul bisa macam-macam jenis emosi seperti
bingung, takut, cemas, kesal, dan sebagainya. Emosi tersebut bisa menimbulkan
reaksi pada anggota keluarga lainnya. Emosi negatif yang timbul, bisa saja
memang sudah ada sejak dari dulu dan muncul secara intens sekarang, selama masa
pandemi.
Sandwich feeling ini maksudnya adalah perasaan yang muncul karena kita berada di tengah, antara mengurus orang tua dan mengurus anak.
Sandwich feeling ini maksudnya adalah perasaan yang muncul karena kita berada di tengah, antara mengurus orang tua dan mengurus anak.
Mengapa ada sejak dulu? Meminjam
istilah Mbak Nisa – sang moderator diskusi, karena munculnya dari “luka-luka pengasuhan”.
“Jangan-jangan itu emosi kakek-nenek dulu,” Bunda Elly menambahkan. Setelah
mengenali emosi negatif, beliau mengajak untuk mengenali emosi-emosi positif yang
pastinya ada pada masa kecil dulu.
Jika kita punya emosi negatif, luka pengasuhan, nyaris tak mungkinlah ya sama sekali tak ada kenangan positif dengan ayah-bunda dulu. Misalnya kenangan ketika dibawa jalan-jalan, diberikan oleh-oleh, dan sebagainya.
Emosi negatif yang
muncul, jejak luka masa lalu berasal dari pola pengasuhan yang menghakimi,
melabeli, membandingkan, dan sebagainya. Semua kata-kata yang pernah terlontar
seperti “nakal, jorok, malas, bodoh” dan serentetan omelan seolah menjadi cap
yang tak terlihat tapi membekas dalam diri kita karena berlangsung selama bertahun-tahun.
Pola pengasuhan orang tua
yang membentuk emosi negatif selama bertahun-tahun kini menjadi hambatan utama
untuk mendekat, berdialog, dan mengerti orang tua kita. Hal ini tak kita sadari
namun disadari pun tak enak mengangkatnya ke permukaan.
Kenangan akan perlakuan
yang tujuannya baik tetapi rasanya membekas tak enak itu terlalu kuat menancap.
Padahal di sisi lain, kita dituntut untuk memperlakukan orang tua dengan baik.
Dalam Islam, anak dilarang bermuka masam dan berkata AH pada orang tua, apalagi
berkata kasar.
Bagi yang punya banyak
luka masa lalu, di dalam diri terasa ada hambatan yang sangat besar, berbeda
halnya dengan yang masa kecilnya penuh dengan kenangan indah dan orang tua yang
penuh pengertian.
Di sisi lain, masa
pandemi ini menuntut seorang ibu untuk bukan hanya menjadi ibu sekaligus ibu
guru yang baik bagi anak yang sedang bersekolah di rumah, sekaligus dituntut
menjadi koki yang baik, istri yang baik, manajer keuangan yang baik, dan anak
yang baik. Sungguh, tekanan itu datang dari mana-mana dan mengejawantah dalam
berbagai rasa.
Selain itu, untuk memperbaiki hubungan dengan orang tua. Juga agar mampu mengasuh serta mengasihi orang tua sebagaimana tuntunan agama ... hanya bisa dimulai satu cara, yaitu dengan membereskan persoalan kita dengan diri kita sendiri.
Membereskan
Masalah di dalam Diri
Beberapa cara yang mudah
untuk dilakukan diberikan oleh Bunda Elly agar bisa memperbaiki hubungan dengan orang tua, merujuk kepada Qur’an surah Ali
Imran ayat 159.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Kita sebenarnya
dianugerahi Allah memiliki sifat lemah-lembut tetapi pengalaman hidup membentuk
seseorang menjadi keras, kasar, hatinya mengeras. Termasuk pengasuhan orang tua
yang tidak sengaja lakukan kepada anak juga menjadi salah satu penyebabnya.
Kenangan-kenangan manis
tertutupi oleh emosi-emosi negatif yang muncul bertubi-tubi selama
bertahun-tahun.
Lalu, hal yang sama kita
rasakan dulu akankan kita berlakukan kepada anak-anak kita?
Di sini saya sadar
sepenuhnya, hal ini pernah menjadi bahan pemikiran saya. Saya tahu jika ada yang
tak beres dalam diri saya, saya akan merefleksikan ketidakberesan itu dalam
berinteraksi dengan anak-anak. Mendengar ini saya istighfar dan menangis.
“Tolonglah Nak, maafkan Mama.
Kan dulu Ayah dan Mama nggak
sengaja
melakukan itu terhadap kamu,” ucap
Bunda Elly
yang memerankan dirinya sebagai ibu
dari para peserta.
Walaupun pemahaman agama
(secara kognisi) bagus, emosi negatif bisa saja muncul tanpa disadari.
Sementara kita berada serumah dengan orang tua dan anak-anak, selama 24 jam,
entah sampai kapan.
Tentunya tak elok
memunculkan pembenaran. Konsekuensi logisnya adalah anak-anak melihat perilaku kita
sebagai orang tuanya dan kelak bisa memperlakukan hal yang sama kepada diri
kita!
Kemudian Bunda Elly
memperlihatkan sebuah perspektif yang baru saya sadari kali ini. Yaitu keadaan
yang berlangsung secara turun-temurun!
Belajar
Memahami Apa yang Terjadi pada Orang Tua Kita Dulu
Jadi, orang tua kita dulu
juga mengalami pola pengasuhan yang meninggalkan luka-luka dalam dirinya.
Sementara kakek-nenek kita juga mewarisinya dari orang tua mereka dan meninggalkan luka pengasuhan
kepada orang tua kita.
Selain itu, ada masalah
pada saat mid life
crisis karena banyak sekali yang terjadi
sementara anak-anak pada saat itu sedang dalam masa puber. Orang tua kita dulu
mengalami ini. Ada masalah kompleks dalam pekerjaan dan kehidupan dengan pasangan
kalau fondasi agama tak kuat. Banyak hal bisa terjadi dengan keluarga besar
atau pekerjaan.
Berbagai masalah keluar, dalam
diam. Orang tua kita bisa tiba-tiba mengeluarkan reaksi yang tak terduga kepada
kita. Ibarat kerikil dalam sepatu, pasti mengganggu tapi diabaikan, dipakai
terus sepatunya.
Kita tak tahu banyak sekali latar belakang orang tua kita. Kita tak tahu “bagaimana kerikil dalam sepatu”. Bagi sebagian orang, kepuasan perkawinan itu terendah ketika anak memasuki usia remaja. Lalu orang tua bertemu anak yang tengah bergejolak dalam masa pubertas.
Tak semua orang kehidupan
pernikahannya bagus. Tak kita ketahui latar belakang pernikahan orang tua. Apa
yang terjadi dalam pernikahan mereka.
Ibarat mixer di
dalam mangkuk sementara mengaduk adonan yang ditarik tiba-tiba maka muncratlah
ke mana-mana. Itulah makanya ada emosi-emosi yang terasakan oleh kita sebagai
anak. Terlalu luas untuk dimengert semuanya. Tidak kita tapaki semua jalan
kehiduan orang tua kita.
Lalu, apakah kita masih
akan melanjutkannya kepada anak-anak kita?
Memaafkan bukan hal yang
mudah bagi sebagian orang. Berharaplah hanya kepada Allah untuk memerdekakan
jiwa.
Terapi
Diri untuk Memerdekakan Jiwa dari Emosi Negatif
Ibu Elly mengajak untuk
melakukan upaya “membersihkan diri sendiri”. Misalnya ketika shalat
malam, turunkan kesadaran dengan berzikir. Lalu letakkan jari menjadi detektor
di atas bagian tubuh kita.
- “Wahai lenganku aku izinkan untuk menjadi detektor untuk merasakan yang mana bagian tubuhku yang merasa berat karena menyimpan catatan-catatan emosi,” ucapkan pada lengan.
- “Wahai telapak tanganku, aku izinkan engkau untuk mencabut semua rasa sakit yang telah merupakan beban bagiku,” ucapkan pada telapak tangan.
- Kalau perlu pakai 2 tangan, lakukan gerakan ambil – buang, ambil buang. Bayangkan peristiwa, hilangkan kenangan, suara, wajah sampai tak ada, sampai ringan.
- Jangan lupa katakan: “Saya perlu jiwa, pikiran, pendengaran, diri saya saya merdeka”. Lakukan berulang-ulang sampai skor emosi negatif semuanya jadi nol. Hal ini kita lakukan karena kita butuh memerdekakan diri dulu untuk menghadapi anak dan orang tua.
- Setelah itu ber-shalawat sembari mendengungkannya sampai terasa di kepala untuk membersihkan semuanya yang belum bersih di dalam dada. Biasakan dilagukan yang rasanya enak di hati. Bayangkan nanti kita berharap syafa’at Rasulullah. Saatnya minta ampun kepada Allah, saatnya bermunajat. Memang harus meluangkan waktu.
Saatnya kita minta kepada
Allah agar bisa berbakti kepada orang tua dengan seikhlasnya supaya terlepas
semua hambatan yang ada. Sekarang bulan Ramadhan. Bagaimana supaya Ramadhan
membawa berkah baru dan itu harus bermula dari kita dulu dengan memerdekakan
diri kita terlebih dulu.
Lanjutkan dengan teknik relaksasi: mengingat pengalaman indah dulu dengan orang tua. Disimpan, kita gantikan yang jelek-jelek tadi dengan yang positif. Baring di lantai. Tarik nafas bayi, tarik perutnya gembung, pada saat dilepas perutnya kempes.
Terus lakukan itu. Saat
mengambil nafas, tarik 3 detik, tahan 3 detik, buang 3 detik. Atau tarik 5, tahan
5 detik, buang 5. Supaya oksigen bisa sampai ke otak dan kita bisa berpikir. Ketika
tarik napas bayangkan kenangan indah masa kecil dengan orang tua, tarik 3, tahan
3, lepaskan 3.Tujuan untuk mengganti kenangan/cap jelek masa lalu dengan kenangan
indah.
Cara ini bisa meningkatkan
imunitas tubuh. Secara fisiologis ada penjelasannya tetapi tak memungkinkan
untuk dijelaskan. Selain itu lakukan pula olahraga sederhana setiap hari untuk
me-maintain emosi-emosi negatif tadi.
Cara
Lain yang Bisa dilakukan
Marah dari api, api bisa
padam dengan air. Teknik yang disarankan Imam Al Ghazali. Dari segala penyakit,
obatnya adalah lawannya. Marah adalah sabar. Manfaatnya adalah kalau kita
menahan marah, akan memunculkan pahala.
Caranya adalah
- Dengan memunculkan cinta kepada Allah. Dengan cinta, kita rela diapa-apain oleh Allah. Dengan cinta kepada Allah maka kita cinta kepada orang tua. Ini terkait relasi dengan orang-orang di sekitar kita termasuk pasangan, dan lain-lain. Akan timbul perasaan positif karena segala yang negatif dilawan dengan yang positif. Yang positif setelah itu dibesarkan, untu mengecilkan yang negatif.
- Ridho menerima semuanya. Penderitaan itu dihadapi dengan ridho tanpa marah karena yakin semua datangnya dari Allah. Allah tak menakdirkan sesuatu melainkan kebaikan. Apa yang dilakukan orang tua kita dulu sebenarnya bermaksud baik.
- Menghilangkan tanda kemarahan. Ubah posisi, misalnya yang tadinya duduk maka berdirilah.
- Jika muncul perasaan negatif, tarik nafas panjang lalu tatap langit dan lihat. Katakan bahkan kita mengharap pahala dari Allah, lalu mengapa tak menghilangkan emosi negatif. Lalu lihat ke bumi, ingat azab di dalam kubur.
Kalau Umar bin Khattab,
berkumur-kumur dengan air dingin. Falsafahnya api kalah dengan air jadi kita
tak sempat untuk marah-marah lagi.
Inilah yang harus
dilakukan supaya bisa berbuat lebih baik kepada orang tua.
Karena
Masa Takkan Berulang
Jika memungkinkan datang
kepada orang tua dan bermusyawarah, tanyakan kepadanya mengapa melakukan
hal-hal negatif dahulu dengan menyelesaikan masalah antara kita dan orang tua.
Jelaskan bahwa hal yang tak enak di masa lalu menimbulkan bekas tak enak di
masa sekarang yang membuat kita memperlakukan anak-anak dengan tak enak pula.
Jika orang tua menolak
katakan bahwa umur tak ada yang bisa menebak, bisa saja diri kita yang lebih
dulu menghadap kepada Ilahi maka masalah antara kita dan orang tua perlu
diselesaikan. Ibu Elly mengatakan agar kita meminta maaf kepada orang tua.
Ketahuilah orang tua kita
“kembali anak-anak”, sebagaimana anak-anak, orang tua kita juga butuh pelukan
dan kasih sayang. Bukan sekadar ditanyakan mau makan dan minum apa tapi ada
jarak “emosi” yang terbentang karena masih ada emosi-emosi negatif yang mengganjal.
Bunda Elly memberikan
ilustrasi dulu saat kecil, ketika sakit, ibu mendekap diri kita. Begitu pun perlakuan
kita kepada anak. Ketika sakit, kita akan mendekapnya. Sekarang pun, itulah
yang dibutuhkan orang tua kita. Makanya ketika anak tak datang, orang tua
menelepon karena rindu. Orang tua butuh kehangatan dari anak dan cucu.
Bukan hanya kepada orang
tua kandung, lakukan hal yang demikian pula kepada mertua namun perbaiki dulu
hubungan dengan pasangan.
Selanjutnya, Bunda Elly menyarankan untuk minta maaf juga kepada anak-anak, katakan bahwa kita bukan dengan sengaja menyakiti hati mereka. Hal ini akan lebih meringankan langkah kita.
Kemudian rumuskan ulang
apa yang ingin dicapai selama lock down ini, apa ingin diperbaiki dengan
orang tua. Mengapa? Karena waktu berjalan terus. Ramadhan ini ada bersama
orang tua belum tentu ada Ramadhan tahun depan. Tak ada yang tahu umur
kita kapan batasnya.
6 aspek memberikan
perhatian kepada orang tua
- Apakah cukup waktu dan kasih sayang? Jika kepada anak kita berharap bisa mencicilnya, sama demikian pula kepada orang tua seharusnya.
- Spiritual, sudahkah membantu? Misalkan menggenapkan bekalnya seperti terjemahan, mengantarkan ke kelompok pengajiannya.
- Kesehatan, apakah sudah memperhatikan kesehatannya misalnya melengkapkan kesehatannya dengan fisioterapi misalnya.
- Emosi, apakah kita sudah menjadi pendengar yang baik misalnya.
- Sosial, misalnya mengantarkan ke orang-orang yang ingin beliau temui atau bersosialisasi, bawa ke salon (Bunda Elly juga senang bawa ibunya ke salon).
- Fisik, misalnya menyentuhnya, jangan memakai sarung tangan ketika membersihkannya.
Dan quotes yang
dilontarkan Bunda Elly ini sungguh bikin baper:
“Bagaimana
dirimu memperlakukan anakmu, begitu pun ibumu mau kau memperlakukannya,” tukas
Bunda Elly.
“Jangan
lupa, Anda akan tua. Anak Anda sekarang memperhatikan bagaimana Anda
memperlakukan orang tua Anda. Kelak dia pun akan berlaku seperti itu,” ucap
Bunda Elly.
Bunda Elly kembali
menyinggung mengenai orang tua sepuh kita yang butuh dekapan hangat, butuh belaian.
Mengenai usia mid life (sudah saya tulis di atas) dengan segala
krisisnya dan sebagian dari peserta sedang dalam tahapan itu pula.
“Kalau
semua tak sanggup kamu ubah, belajarlah untuk menerimanya.”
“Teruslah
belajar. Seperti belajar menjadi orang tua, teruslah belajar menjadi anak bagi
kakek-nenek apalagi di masa Covid ini.”
“Perdalamlah
gerontology – yang mana tak ada di Indonesia. Gerontology adalah jurusan
menjadi orang tua. Belajarlah menjadi terapis, terapis bagi diri sendiri, bagi
anak, dan bagi orang tua.”
Sungguh pembelajaran yang
sangat membuka wawasan. Saya jadi mampu melihat hal-hal lain yang dulu tak bisa
saya lihat di antara hubungan saya dengan orang tua.
Beberapa di antaranya
sudah pernah saya dapatkan dalam perjalanan “mencari kesejatian” dan Bunda Elly
melengkapinya dalam pertemuan virtual via Zoom meeting pada tanggal 9
Mei lalu. Semoga saya bisa menjadi anak yang baik.
Makassar, 21 Mei 2020
Share :
psikologi inspiratif dalam menjaga hubungan, kadang semakin dewasa kita semakin lupa ... :(
ReplyDeleteBenar, kadang kita pikir sudah "cukup", hanya perlu terus belajar menjadi orang tua. Padahal juga perlu terus belajar menjadi anak 😩
DeleteBenar, Uda, harus bersyukur. Potensi pahalanya besar.
ReplyDeleteBelajar memahami pola pengasuhan ortu dulu ya, ambil yang baik buang yang jelek. Tapikadang pasti ada hal yang gak kita sukai. Memaafkan diri sendiri sambil memberikan perhatian kepada orangtua dan anak ya. Alhamdulillah kedua orang tua masih ada, jadi sedih gak bisa ketemu di hari raya ini
ReplyDeleteBu ELLY RISMAN idolakuuuuu!
ReplyDeleteSeruuu ya Mba bisa ikutan materi beliau secara virtual.
Makasiii bnget udah bikin resumenya di blogpost ini
Sungguh sarat faedah bangeettt!
Iya belajar memaafkan dan memperbaiki cara pengasuhan yang kurang dari ortu kita ya Kak, biar lebih baik lagi mengasuh anak-anak, bergizi sekali kelasnya..terima kasih pencerahannya..
ReplyDeleteAku pernah ngikutin seminarnya Elly Risman dan mewek dong, Mak. Memaafkan masa lalu ga mudah tapi jangan sampai anak-anak kita mengulang rasa sakit yang sama atau mungkin lebih ya. Nemu kosa kata baru tentang sandwich feeling nih
ReplyDeletejadi terharu... makasi sharingnya kak niar.
ReplyDeleteaku punya luka batin thd ortu, tp itu ga ditunjukin di depan anak2 saat mengurus ortu. kalo mau curhat ya pas lagi ngumpet aja berdua suami. jangan sampe anak2 tahu hubungan buruk di masa lalu antara kakek neneknya dengan ibunya :)
Jadi evaluasi nih mba buat aku..
ReplyDeleteApa udah bener ya selama ini tingkah laku aku menghadapi ortu.
Ortu masih ada,tinggal di dekat rumah. Alhamdulillah masih sehat tapi bapak yg udah agak sepuh. Baca tulisan ini jadi mrebes mili 😠makasih sharingnya mba
Saya tinggal serumah dengan orang tua, Mbak. Anak-anak saya ada empat masih kecil2 dan semuanya kerap bertingkah yang mereka bilang "nakal" dan sejenisnya. Sering dimarahi kakek neneknya, dicap jelek dsb..
ReplyDeleteKadang kalau lagi sadar saya bisa ikhlas menerima semuanya. Tapi, setiap hari ada saja masalah yang muncul. Mereka turut campur dalam pengasuhan anak-anak.
Entahlah.. saya masih terus belajar ikhlas dan berusaha menjadi lebih baik.
TFS, Mbak.. maaf jadi curcol :)
Bener banget ini namanya pengasuhan ini harus bener bener ya sama anak dan kayaknya harus bisa diterapkan dengan baik untuk pola asuh yg baik
ReplyDeletemba, wah ini tulisannya sangat menginspirasi sekali dan aku salut mba bisa angkat ini ditulis di blog
ReplyDeleteBaru tau gerontology niih...kak Niar.
ReplyDeleteApa di Indonesia sudah ada?
jadi ingat masa lalu, saat saya merasa mama gak sayang saya sebab sikapnya yg keras. lalu setelah lulus kuliah, saya perbaiki hubungan gegara ngerti psikologi gerontik
ReplyDeleteTapi emang bener deh ada teman yang susah berdamai dengan ibu atau ayahnya karena luka masa lalunya. Aku jadi dapat banyak insight juga nih dari tulisanmu mbak.
ReplyDeleteMemaafkan pengasuhan orang tua kita, bisa jadi self healing mbak.
ReplyDeleteDan mengambil yang baik baik aja, kita gunakan model pengasuhan yang baik. Aku juga sih, nggak mau marah-marah sama anak-anak, enakan ngomong perlahan malah masuk ke telinga
Setuju kak Membereskan Masalah di dalam diri sendiri point terpenting bnget kmudian taqwa y cintaAllah dgn sesungguhnya ... Jadi dingatkan baca ini
ReplyDeleteWaah ini ketabok banget Mak, aku sedari kecil pola pengasuhannya kaco banget, secara anak yatim pas lahir, jadi di asuh sana sini. Sementara Mamaku ga pernah ngasuh aku, dan itu beneran tertanam sampe usia kepala 4. Alhamdulillah kemaren sudah dibereskan ketika mengikuti kelas Access,memaafkan akan lebih baik, dendam, benci, marah karena ga pernah ngasuh.
ReplyDeleteSetuju banget juga apa kata Ibu elly, aku pernah mngikuti beberapa kali beliau. Ya sudah, ujungnya memang melepaskan beban yang dulu2 dan memperbaikin hubungan, alhamdulillah..
Wah seru ya mbak bisa ikut materi dari Bu Elly Risman secara online. Besok mau aku praktekkan ah, kalau mau marah sama anak kumur-kumur pakai air dingin biar nggak jadi marah
ReplyDeleteBu Elly benar-benar mengupas gaya pengasuhan hingga ke bagian yang detail ya. Membaca tulisan ingin segera bertemu dengan orang tua dan memeluk mereka. Semoga pandemi ini cepat berakhir hingga saya bisa memeluk orang tua.
ReplyDeletememang tidak mudah tapi kita bisa memulainya dengan berdamai dengan diri sendiri duuu ya mba. Luka pengasuhan memang kerap berdampak lama dan dalam
ReplyDeleteJika kita sebagai orang tua tidak belajar dan merenungkan serta merumuskan kembali harus bagaimana pola didik dan pola suh kepada anak-anak kita maka kita akan terjebak dengan pola pengasuhan orang tua kita sendiri. Meniru pola didik mereka sehingga kesalahan didik yang pernah terjadi kepada kita di masa lalu cenderung akan terulang kepada anak-anak kita.
ReplyDeleteTerima kasih lho mba untuk pengingatnya melalui artikel ini. Kebetulan aku tinggal bersama ibuku nih. Alhamdulillah so far aku ga punya beban masa lalu. Bapak dan ibuku meskipun tegas tapi sayangnya luar biasa kepada anak-anaknya. Jadi sekarang ya udah kayak teman saja dengan ibuku ketika harus berbincang-bincang ataupun melakukan aktivitas bersama di rumah.
ReplyDeleteMasyaAllah terima kasih mbak Niar sharingnya. Kdng merasa emang ada luka dr masa lalu, suka terbawa dan khawatir mempengaruhi anak. Nnati kucoba terapkan beberapa catatan di atas yg disampaikan oleh bunda Elly itu
ReplyDeleteKadang aku sudah tahu caraku salah dalam memgaush anak krn aku suka ga sadar ikuti pola asuh aku sama ortu gitu bener banget jadi ortu itu harus terus belajar yah
ReplyDeleteAku banget ini tulisannya mba. Aku n pasangan masing2 terjebak dalam sandwich generation. Skrg aku udah berkurang. Tapi pasangan masih, dan ini masih peer bagi kami berdua.
ReplyDeleteMasya Allah mbak mencerahkan sekali... Karena kadang meski sudah sebesar ini, saya masih suka sakit hati sama orang tua huhu... Berusaha engga reaktif karena saya juga bukan anak dan sempurna...
ReplyDeleteMaterinya bagus sekali Mbak Niar. Bu Elly Risman memang menyentuh hati kalau sudah mengingatkan. Jleb sekali.
ReplyDeleteSaya, Alhamdulillah enggak punya luka pengasuhan dari orangtua. Jadi sejauh ini baik-baik saja. Cuma karena sejak lulus SMA saya merantau, saya merasa hanya bisa memberi materi saja, enggak bisa hadir untuk merawat mereka. Ini bikin sedih saya