Memperhatikan 7 Hal dalam Dunia Pendidikan Ini untuk Adaptasi Perubahan - Bulan Januari kemarin, siapa menduga di Indonesia kondisi akan seperti sekarang. Covid-19 menjadi momok yang sangat menakutkan dan meluluhlantakkan banyak tatanan kehidupan, termasuk dunia Pendidikan di Indonesia. Mau tak mau sekolah dan kampus dipaksa melakukan sistem pembelajaran daring agar anak-anak bangsa tetap bisa bersekolah.
Faktanya, kebanyakan dari
kita tak siap. Permasalahan bukan hanya dalam hal fasilitas sekolah/guru namun
juga mengguncang hubungan antara orang tua dan anak. Banyak terjadi kasus ibu-ibu
yang darah tinggi akibat frustrasi mendampingi anaknya belajar.
Kesehatan mental menjadi isu besar. Bukan
hanya bagi para pekerja yang kehilangan mata pencarian atau mereka yang
terpapar virus corona. Isu kesehatan mental juga merambah ibu dan anak yang tak
siap dengan segala dampak pembelajaran jarak jauh.
Belum lama ini, seorang siswa SMA di Kabupaten Gowa bunuh diri – meskipun pihak sekolah menyangkal sistem pembelajaran membuat sang siswi frustrasi namun ada sinyalemen dia tak kuat menghadapi cara belajar dari rumah.
Dua berita mahasiswa yang
tewas ketika mencari sinyal internet di pedalaman Sulawesi Selatan juga mengemuka. Saya masih ingat, salah
satunya adalah kisah seorang mahasiswi yang daerah rumahnya tak ada sinyal
internet.
Untuk mendapatkan sinyal
yang bagus, dia harus bermotor diantar kerabatnya. Di tengah perjalanan dia
terjatuh dari motor karena ujung roknya
masuk ke dalam jari-jari roda motor. Tak dinyana itulah pengantar ajal
menjemputnya.
Menyimak
segala drama pembelajaran daring, baik yang dialami sendiri maupun yang dialami
orang lain, saya melihat aneka permasalahan dunia pendidikan terjadi karena
adanya KESENJANGAN yang signifikan. Banyak hal harus berubah sementara banyak
orang yang masih ingin menerapkan cara-cara lama.
Beberapa
Permasalahan yang Terjadi dalam Dunia Pendidikan
1.
Masalah
pada Tenaga Pengajar
Banyak guru dan dosen yang
belum terbiasa menggunakan perangkat teknologi guna mendukung aktivitas belajar
online. Sebagian mengaku tak mampu belajar, sebagian lagi mengatakan
takkan bisa belajar hal-hal baru lagi.
Ya, ada orang-orang yang ada di
dalam zona nyaman dan merasa ilmu yang mereka punyai sudah memadai. Tetap meyakini
pembelajaran dengan pena dan kertas adalah yang terbaik padahal zaman sudah paperless.
Siswa sudah menyetor tugas lewat direct message eh tetap harus ke
sekolah untuk menyerahkan buku tugasnya.
Beberapa masalah
lain terungkap dalam webinar Pembelajaran
Daring: Solusi Atau Masalah yang berlangsung bulan April lalu.
Padahal nyatanya ada juga
tenaga pengajar yang berasal dari generasi X bahkan Baby Boomers yang
mampu menguasai teknologi. Nge-Zoom oke, menggunakan Google Classroom
mampu, pakai Whatsapp apalagi. Terlebih para guru milenial, mereka lebih mudah
lagi belajar teknologi baru. Jadi, kuncinya adalah kemauan belajar.
Tak semua pengajar mampu
memberikan metode kreatif dalam mengajar. Sebagian masih terus berkutat dengan
pemberian tugas tanpa memberi pengertian kepada para siswa. Apa boleh buat,
jangan salahkan siswa yang makin akrab dengan Google dan Brainly.
Padahal nyatanya ada
pengajar yang bisa kreatif, meminta
siswa merekam dengan video tugas yang diminta kemudian diunggah menggunakan
internet, ditujukan kepada guru yang bersangkutan.
Syukurnya pula,
masih ada guru yang rela menyibukkan dirinya dengan pembuatan video
pembelajaran, di mana melalui video itu siswa bisa menyimaknya menerangkan
materi seolah-olah sedang menerangkan di depan kelas, seperti beberapa guru putri saya yang duduk di kelas 8. Dan masih guru pendidikan khusus yang rela mencari metode-metode pembelajaran baru dalam mendampingi putra saya yang sekarang kelas 4.
2.
Masalah
pada Orang Tua dan Siswa
Orang tua banyak yang gaptek,
tak tahu bagaimana membantu anaknya menjalani pembelajaran daring. Terlebih
siswa, tak tahu harus melakukan apa. Ada yang karena tak memiliki perangkat canggih. Apa
boleh buat, memang tak semua anak memiliki ponsel, tak semua anak leluasa menggunakan gadget
milik orang tuanya, dan tak semua orang tua juga punya gadget yang
memadai.
Gambar dari Canva. |
Di sisi lain, banyak orang tua tak paham perannya dalam mendampingi anak belajar. Ada yang tega menyiksa anak hingga anaknya itu terbunuh. Ada juga yang hanya bisa mengomel dan menyalahkan keadaan serta pihak lain.
3.
Masalah
Literasi Digital
Saya melihat hal ini
sebagai masalah besar.
Masih banyak pengajar yang
tak bisa menuangkan isi pikiran dan perasaannya dengan tepat menggunakan bahasa
tulisan pada media di internet. Begitu pun orang tua siswa, masih banyak yang
tak tahu menuliskan ungkapan perasaan dan pikirannya dengan tepat.
Menyingkat kata,
penggunaan huruf besar dan kecil yang tak tepat, penggunaan tanda baca tak dipahami
sebagai alat mengekspresikan diri. Jangan heran jika masih banyak siswa ataupun
mahasiswa yang sama atau bahkan lebih parah.
Masalah sederhana saja
seperti pengisian daftar hadir bisa menjadi masalah harian yang tak kunjung
usai sampai corona pergi dari muka bumi ini jika tak dibereskan. Sudah menulis
nama, tiba-tiba dihilangkan oleh yang lain.
Seorang guru mengeluarkan
anggota grup kelasnya karena beberapa voice
note bernada mengejek diunggah bocah. Ketika saya ceritakan kepada seorang
kawan – doktor Ilmu
Pendidikan, dia bertanya, “Apakah gurunya pernah memberikan aturan grup harus
bagaimana dan tidak boleh bagaimana sebelum mengeluarkan anggotanya?”
(Jawabannya “tidak”).
Ah, jadi ingin berandai-andai …
Jika jadi pemimpin, inginnya lakukan ini untuk dunia pendidikan.
Tapi ...
Sebelum berimajinasi, saya
ingin cerita mengenai kisah bisnis Sophie Paris dan pendirinya. Pada tanggal 25
November 2017, saya mendapatkan undangan menghadiri sebuah event yang
memberikan insight mengenai Belajar dari yang Sukses dan Gagal
dalam Berbisnis.
Bruno Hasson – founder
yang sekaligus CEO Sophie Paris menjelaskan bagaimana Sophie Paris bertransisi dari offline
ke online yang waktu itu sudah berjalan 20% online. Ke depannya,
direncanakan akan benar-benar online 100%.
Bruno Hasson ketika berada di Makassar, 25 November 2017. Dokpri. |
Saat itu Bruno bertutur mengenai Sophie yang mengusahakan para anggotanya bisa cerdas menggunakan media sosial atau dunia online sebab perkembangan teknologi tak bisa ditahan-tahan.
Perkembangan yang sangat
pesat menyebabkan banyak toko offline mati. Sebut saja Mangga Dua. Di
luar negeri, sudah jamak terjadi toko offline tutup satu per satu. Maka
mau tak mau kita harus bisa belajar. “Ada kalanya harus dipaksa belajar,” kata
Bruno.
Tahun 2019 Sophie Paris
sudah benar-benar beraktivitas daring. Bersamaan dengan Sophie melakukan
upaya-upaya digitalnya, CNI dan KLink juga menjalankannya. Tak dinyana ketika covid-19 menjadi
pandemi, Sophie Paris, CNI, dan Klink sudah melakukan banyak hal secara daring dan
kini “tinggal” mengembangkannya.
Berbeda dengan
perusahaan-perusahaan lain yang tidak terbiasa dengan dunia digital, besar
sekali tantangan mereka kini.
Apa hubungannya
hal-hal di atas dengan dunia pendidikan?
Pastinya ada. Dunia
pendidikan harus memperhatikan dan mengakomodasi perubahan di dunia industri.
Perubahan terjadi sedemikan cepatnya pada
era ini perlu segera diantisipasi agar pendidikan nasional mampu menghasilkan sumber daya
manusia yang andal pada zamannya nanti.
Dalam buku Mendidik Generasi Z &
A – Marwah Era Milenial Tuah Generasi Digital karya J. Sumardianta & Wahyu Kris AW disebutkan bahwa:
Di antara semua sektor industri, pendidikan memiliki masa jeda terlama kedua – 50 tahun. Menurut Robert T. Kiyosaki – penulis buku Why Students Work for C Students and B Student Work for the Government (2013) industri pendidikan adalah salah satu yang memiliki masa jeda paling lambat. Masa jeda adalah waktu yang dibutuhkan sejak suatu gagasan baru ditemukan sampai penerapannya.
Jadi, anak-anak kita yang
bersekolah hari ini akan menjadi kakek-nenek ketika sistem pendidikan
benar-benar mengadaptasi perubahan yang ditawarkan saat ini. Coba lihat
sekeliling kita. Kurikulum 2013 saja sudah 7 tahun berlalunya tapi masih banyak
sekolah yang belum bisa menjalankannya dengan baik!
Maka, mari berandai-andai jika punya
akses terhadap perkembangan dunia pendidikan:
1. Mencari cara yang tepat bagi anak, orang tua dan
dunia pendidikan dalam memahami potensi anak.
Tiap anak unik sebagaimana
uniknya setiap orang dewasa. Kecerdasan tak bisa hanya diukur dengan nilai tinggi pada
pelajaran Matematika saja misalnya. Seseorang yang lulus kuliah di Fakultas
Kedokteran tak berarti lebih cerdas daripada seseorang yang memilih kuliah di
bidang seni.
Teori yang
dikemukakan oleh Howard Gardner pada tahun 1983 mengenai kecerdasan
majemuk menjadi teori yang banyak dibicarakan. Menurut teori Gardner, tak ada
manusia yang tak cerdas dan tak ada anak yang bodoh dan pintar.
Sudah selayaknya setiap
anak memilih pendidikannya sesuai dengan potensi kecerdasan yang dimilikinya. Jangan
paksa dia mengerjakan soal Matematika rumit jika dia memang tak punya potensi
di situ. Toh dalam kehidupan nyata soal-soal serumit integral pangkat tiga tidak akan
pernah dipergunakan untuk mencari solusi?
Setiap anak
butuh mengetahui potensi dirinya, dia berminat pada bidang apa dan paling jago
di bidang apa. Orang tua tentunya harus punya wawasan tentang itu. Jangan paksa
anak bersekolah vokasi Teknik Mesin jika dia tak berminat. Nah, perlu juga
tenaga pengajar memahami hal ini hingga bisa mengarahkan setiap anak dengan
tepat ke jalur yang tepat.
2.
Menyelaraskan
dunia pendidikan dengan dunia industri.
Sebagian dari isi
perguruan tinggi akan beradu nasib di dunia industri sebagai pekerja. Sejak
zaman saya masih jadi fresh graduate, salah satu keluhan mengenai
lulusan baru adalah tidak siapnya lulusan baru menghadapi dunia kerja. Apa yang
dipelajari di kampus tidak bisa langsung diterapkan di dunia kerja.
Lha bagaimana kalau pada
kenyataannya teknologi yang ada di dunia industri sudah jauh lebih maju
ketimbang pengetahuan yang diperoleh selama di kampus?
Pada webinar series topik
leadership yang diselenggarakan oleh PT. Semen Tonasa pada tanggal 2 November lalu, Pak Subhan, SE. MM. Ak – Direktur Utama PT. Semen Tonasa memperlihatkan tabel yang menampilkan
kemampuan yang sedang bertumbuh
(dibutuhkan) dan sedang mengalami penurunan (kurang dibutuhkan) pada tahun
2022.
Mahasiswa butuh materi seperti ini. Event ini diselenggarakan oleh Semen Tonasa. |
Selain itu ada jenis-jenis bidang pekerjaan yang sedang “bangkit” dan mengalami penurunan pada tahun 2022. Tentunya arah studi dalam perguruan tinggi sebaiknya mengacu kepada hal-hal ini. Sayang sekali jika di dalam lingkup perguruan tinggi, para pengajar dan mahasiswa “sibuk sendiri” sehingga tak bersiap menghadapi “arah masa depan”.
Perlu memberi
perhatian pada kurikulum yang menitikberatkan pada kebutuhan sekian tahun ke
depan agar lulusan perguruan tinggi siap menghadapi segala tantangan pada
masanya.
3.
Meng-upgrade
kualitas tenaga pengajar mumpuni yang kreatif, inovatif dan visioner.
Para guru dosen harus
menjadi contoh “kemauan belajar tanpa henti”. Pengetahuan dunia berkembang,
tidak stagnan maka sejatinya guru dan dosen juga terus belajar dan update
pengetahuan. Perlu menerapkan mekanisme rotasi atau malah “kick” bagi
mereka yang tak mau berkembang.
Mungkin sedikit sadis tapi
rasanya lebih sadis kalau ada oknum pengajar yang memelihara kepongahan dan
merasa mumpuni padahal tak pernah upgrade pengetahuan baru sejak
meninggalkan bangku kuliahnya. Kasihan anak didiknya.
Herry
Prasetyo dalam bukunya Menjadi
Guru yang Hebat dan Menyenangkan menuturkan bahwa pada hakikatnya guru adalah
seorang murid karena harus belajar demi pengembangan dirinya. Teruslah belajar
untuk menjadi guru yang hebat dan menyenangkan.
Jika guru harus
belajar, maka orang tua pun demikian, bukan? Bukan hanya paham potensi dan jenis
kecerdasan yang dimiliki anak. Penting bagi orang tua untuk memahami arah dunia
pendidikan dan bagaimana dunia pendidikan tinggi yang dijalani anaknya bisa
mendukung dunia kerja nantinya.
Bagaimana cita-cita anak
yang sudah paham dengan potensi dirinya perlu diselaraskan dengan bentuk
dukungan orang tua. Peran orang tua, khususnya ibu sebagai madrasah (sekolah)
pertama bagi anaknya tetap berjalan dengan metode yang disesuaikan dengan
kebutuhan anak dalam mengarahkan anak memaksimalkan mengasah potensi anak.
Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya. Berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya (dari muslim . or. Id, dinukil oleh syaikh Shaleh al-Fauzan dalam kitab “Makaanatul mar-ati fil Islam” halaman 5).
4.
Memberi
perhatian pada pendidikan inklusi.
Tidak semua anak sama.
Anak bungsu saya speech delay makanya saya dan suami memasukkannya ke
sekolah dasar yang menerapkan sistem pendidikan inklusif.
Sejak tahu mengenai
pendidikan inklusi pada awal tahun 2000 dan melihat sendiri perkembangan
pendidikan inklusi, saya melihat masih banyak hal yang harus dibenahi. Pola
pendidikan ke depannya juga harus terus berkomitmen dengan sistem ini karena
walaupun upaya sudah banyak dilakukan, penerapannya belumlah ideal, terlebih di
sekolah negeri.
Dalam tulisan Menanti
Merdekanya Pendidikan yang Inklusif Bagi Semua Anak yang dimuat di Harian
Fajar, saya mengemukakan bahwa:
Pendidikan inklusif diakomodasi oleh Permendiknas RI Nomor 70 Tahun 2009. Sebelumnya, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional yang menghasilkan DEKLARASI BANDUNG yang mana Indonesia berkomitmen menuju pendidikan inklusif. Indonesia mengikuti kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif.
Setiap anak Indonesia berhak mendapatkan hak dan kewajiban secara penuh sebagai warga negara sebagaimana Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), diperjelas oleh Konvensi Hak Anak (1989), Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1990), Peraturan Standard PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat (1993), Pernyataan Salamanca, dan Kerangka Aksi UNESCO (1994).
Itikad baik sudah ada.
Perkembangan sudah ada namun belum signifikan untuk hitungan 11 tahun sejak
Permendiknas No 70 tahun 2009 dikeluarkan. Masih banyak keterbatasan yang cukup
kompleks terkait penerapan system pendidikan inklusif.
Kabar baiknya, saya baru
mendengar Bimtek Inklusi online untuk ratusan guru sudah berlangsung dan
ini menandakan satu itikad baik lagi dari Kemendikbud. Tinggal bagaimana
komitmen, keberlanjutan, dan juga dukungan dari pemerintah daerah dalam
menyelenggarakannya.
Semoga saja
pada debat-debat pasangan calon wali kota yang akan bertarung pada pemilu akhir
tahun ini, ada materi tentang pendidikan inklusif dibahas juga.
5.
Memberi
perhatian pada pendidikan karakter.
Sudah sejak lama
didengungkan mengenai isu pendidikan karakter. Tentunya perlu diperhatikan
keberlanjutannya dengan mengevaluasi yang sudah dilakukan. Tentunya dengan
memperhatikan karakter kids jaman now, mengizinkan pembelajaran karakter
yang aplikatif berbasis agama, dan karakteristik bangsa Indonesia yang majemuk.
Pendidikan karakter juga
sebaiknya memperhatikan perkembangan dunia industri ke depannya sehingga
anak-anak sekarang menjadi pribadi yang mampu segera beradaptasi pada zamannya
dan terbuka untuk kolaborasi. Salah satu karakter yang harus dibangun adalah
TANGGUH.
Fauziah Zulfitri – konsultan manajemen sumber daya
manusia, CEO
Insight Indonesia pernah menyebutkan pentingnya resilient mentality dan resilient leadership kepada para peserta webinar
yang didominasi oleh mahasiswa.
Resilient mentality adalah kemampuan untuk
segera bangkit kembali dari kesulitan. Seorang leader yang menjalankan resilient
leadership mampu mempertahankan sikap positif dan bisa melihat banyak
peluang untuk bertahan bahkan pada periode turbulensi.
Ketika dihadapkan
pada kondisi ambigu, seorang pemimpin yang tangguh mampu menemukan cara
bergerak maju dan melewati segala tantangan. Mengapa saya ambil contoh sebagai pemimpin? Karena pemimpin sejatilah yang memiliki karakter mumpuni untuk menjadi manusia tangguh pada masanya. Siaa tak ingin anaknya memiliki karakter pemimpin?
6.
Memberi
perhatian pada pendidikan lingkungan hidup.
Kerusakan alam di berbagai
tempat di negara kita parah. Kecerobohan manusia pada alam telah meninggalkan
jejak-jejak asap akibat kebakaran hutan, banjir bandang, tsunami, berkurangnya
biodiversitas, dan sebagainya.
Mubariq Ahmad –
Direktur Eksekutif Yayasan Strategi Konservasi Indonesia pada
webinar
Suara
Kita Tentang Perubahan Iklim pada 14 Agustus lalu mengatakan bahwa penting
untuk memberikan konsep tarbiyah lingkungan. Hablumminallah dan hablumminannas
penting tapi hablumminal ‘alam juga tak kalah pentingnya.
Pendidikan lingkungan
hidup memang harus dimulai dari
keluarga. Tak jarang keluarga berada atau keluarga yang terlihat berpendidikan
masih buang sampah di jalanan. Jika di rumah memang diterapkan, mungkin kita
masih berharap anak-anak mereka akan membawanya kepada kehidupan nyata.
Mubariq Ahmad dalam webinar Suara Kita Tentang Perubahan Iklim. Dokpri. |
Namun pada kenyataannya tak demikian maka pendidikan lingkungan urgent untuk dimasukkan dalam kurikulum. Tentunya dengan metode yang cocok dengan anak-anak kita. Tidak perlu dipelajari setiap pekan jika itu hanya sebatas teori yang harus dihafalkan dan dituliskan.
Kita membutuhkan
peran generasi
muda yang sadar akan pentingnya lingkungan bagi kerbelangsungan
hidup bangsa maka penting menjadikan mereka cerdas memperlakukan lingkungan.
Contoh
baik diperlihatkan oleh Golongan Hutan dalam mengedukasi generasi muda. Golongan
Hutan adalah upaya advokasi publik beberapa organisasi masyarakat di bidang
lingkungan untuk meningkatkan pemahaman publik, terutama orang muda usia 17
hingga 25 tahun, tentang pentingnya penyelamatan hutan dan lingkungan hidup (https://coaction.id/).
Golongan
Hutan menggunakan media sosial untuk menyebarluaskan informasi-informasi bermanfaat
terkait hutan dan lingkungan hidup dengan gaya bahasa gaul, khas anak muda masa
kini. Sekiranya berkolaborasi dengan pemerintah atas dasar kesamaam visi dan
misi tentunya bisa lebih menggaung lagi.
7.
Memberi perhatian pada isu kesehatan mental.
Kesehatan mental menjadi
isu yang penting dalam masa pandemi ini. Perubahan yang terjadi seketika
membuat sebagian orang sulit beradaptasi dengan cepat dan baik. Pengurangan
pegawai, kehilangan mata pencarian tak bisa dielakkan lagi.
Bukan hanya orang dewasa
yang butuh akan kesehatan mental. Anak-anak kita juga. Belum lagi tuntas
perihal cyber bullying ataupun perundungan dunia nyata sebagai salah
satu isu yang dibahas para pemerhati kesejahteraan anak, bagaimana anak bisa
menghadapi perubahan yang demikian cepat dalam sistem pendidikan di Indonesia sekarang sudah harus mendapat perhatian juga.
Anak yang mendapat
perlakuan kasar dari orang tuanya dalam masa pembelajaran jarak jauh bukan
cerita fiktif. Orang tua yang stres bukan kisah hoax. Menyadari
orang-orang dewasa yang sedang diuji ketangguhannya bisa terjatuh mentalnya
maka sadari pulalah bahwa anak-anak perlu diberi pemahaman cara membebaskan
diri dari masalah.
Anak-anak perlu diajarkan untuk mengenali emosi dirinya, mengetahui masalahnya, dan mencari solusi atas masalahnya jika tak mampu menyelesaikannya sendiri. Anak-anak perlu diberi pengertian jika menyimpan masalah bisa membuat beban hidup yang dibawa hingga sekian tahun ke depan.
Kalau orang tua menyadari
hal ini amanlah ya. Bagaimana kalau tidak? Maka sekolah/kampus perlu
memperhatikan dan membantu mencarikan solusi.
Pada webinar Waspada Saat Anak Tak Mau
Curhat
yang diselenggarakan oleh Yayasan Peduli Sahabat tanggal 17 Oktober lalu, nara
sumbernya: Kak Arif Santoso mengatakan bahwa anak-anak kita perlu diajarkan
cara yang tepat untuk curhat. Cara yang proporsional, bukan curhat lebay.
Sekolah juga harus memberi perhatian mengenai hal ini.
Mengapa? Sebab dengan curhat
bisa jadi anak menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapinya, agar anak tak
mudah mengalami masalah kesehatan mental dan tak sulit menuju resilient mentality.
💙💚💜
Sebagai penutup, saya
ingin mengutip apa
yang dikatakan Prof. Dr. Winamo Surakhmad dalam karya bukunya
yang berjudul Pendidikan Nasional, Strategi dan Tragedi:
Kalau kita sepaham bahwa pendidikan adalah tentang kehidupan untuk kehidupan, jelas praktik pendidikan tidak lain dari menyiapkan anak bangsa menghadapi kehidupan. Untuk mengembangkan pendidikan yang mengabdi pada kepentingan kehidupan manusia, adakah lagi sumber terbaik untuk mencari strategi kecuali mencarinya pada dan dari kehidupan itu sendiri!
Saya setuju. Apa yang
diperoleh dalam dunia pendidikan anak-anak kita seharusnya niscaya untuk
menjadi hal yang bermanfaat pada masanya nanti, ketika waktunya tiba bagi anak
terjun ke masyarakat. Jangan sampai menjadi pribadi yang gamang dan tidak tahu
hendak melakukan apa. Maka beradaptasi sesegera mungkin terhadap perubahan
harus dilakukan.
Makassar, 29 November 2020
Share :
Mantap tulisan ini, mewakili hampir semua sektor yg bermula dari pendidikan.
ReplyDeleteTulisan yang pantas menang.
Aamiin. Terima kasih, Kak.
DeleteTulisan Mbak Niar selalu mendalam tapi tetap enak dibaca. Banyak yang jadiin bahan tulisan akademis, kalau kayak gini.
DeleteTulisan yang bagus, menyeluruh, membahas persoalan dunia pendidikan dari berbagai aspek....
ReplyDeleteTerima kasih.
DeleteKetujuh tips nya sangat mengena Kak. Semoga terbaca oleh para pihak terkait dan menghasilkan perubahan signifikan yg diharapkan.
ReplyDeletelengkap sekali tulisannya mbak. Bener banget dunia pendidikan ini harus benar-benar diperhatikan. karena penting untuk kedepannya. Semoga bisa ada jalan keluarnya ya, mbak
ReplyDeleteUlasan yang sangat lengkap perihal pelunya adaptasi sesegera mungkin terhadap perubahan
ReplyDeleteSepakat, jangan sampai anak-anak nanti menjadi pribadi yang gamang dan tidak tahu hendak melakukan apa. Karena yang diperoleh dalam dunia pendidikan seharusnya bisa menjadi hal yang bermanfaat pada masanya nanti, ketika waktunya tiba bagi anak terjun ke masyarakat dan menjalani kehidupannya.
Masa pandemi yang entah kapan berakhir ini memang menguras tenaga dan energi banget ya, mbak. Juga pastinya kesabaran. Adik saya yang mendampingi anak-anaknya belajar juga jungkir balik mendampinginya. Yang cowok harus dicerewetin, kakaknya sih udah mandiri tapi nyantai banget. Tadi aja pas PJJ dia termasuk yang akhir-akhir ngumpulin. Di lain sisi ponakan saya ini sebenernya melek digital banget. Suka bikinin video kine master buat bisnis ortunya
ReplyDeleteResilient mentality adalah kemampuan untuk segera bangkit kembali dari kesulitan. Seorang leader yang menjalankan resilient leadership mampu mempertahankan sikap positif dan bisa melihat banyak peluang untuk bertahan bahkan pada periode turbulensi
ReplyDeleteTentang resiliensi ini sungguh PR buangeettt buat saya dan anak. Kami berdua nih mentalnya agak2 tempe banget dah kalo bicara soal ketangguhan/resilien. semogaaa Allah mudahkan kita semua untuk menjadi sosok yg jauuuhhh lebih baik.
aamiiinn
Uraiannya lengkap sekali Mba Mugni. Mau nggak mau kita harus beradaptasi dengan keadaan sekarang setelah pandemi. Memang masih banyak sekali kekurangan disana-sini, tapi kalau memang ada niat untuk belajar akan ada kemajuan di setiap pencapaian kita.
ReplyDeleteKeren banget tulisannya Mbak. Saat ini memang mengharuskan kita semua untuk beradaptasi pada perubahan dalam dunia pendidikan. Keterbatasan finansial, sinyal yang nggak coverage pada suatu area, kreativitas guru & ortu, kerjasama ortu/anggota keluarga dengan anak (siswa) duh sangat luar biasa...
ReplyDeleteartikel yang sangat detail... ya ampun saya juga greget nih dengan daring, anak-anak saya yang masih SD dikasih tugas terus menerus hinnga menumpuk orangtua bukan main lelahnya, sebagai Guru anak didiknya sayapun tidak full mengikuti kelas dengan banyak alasan... ahhhh pingin nangiiissssss
ReplyDeletecari cara sepanjang hayat itu sudah jadi kewajiban orang tua, mbak.. karena bagaimanapun, dunia akan terus berubah dan kita dituntut untuk terus beradaptasi mengikuti perubahan pendidikan :)
ReplyDeletetemen Intan nih mbak masih TK, kemarin ngobrol sama mama nya mau dicabut dulu sekolahnya. Karena merasa kurang mampu mendampingi anaknya sekolah dari rumah. Aku suka banget sama ulasan mbak Mugniar ini.. Lengkap!!!
ReplyDeleteTahun ini emamg banyak sekali sesuatu yaga baru dan harus diadaptasi dalam waktu yg cukup panjang ya, semoga kondiri ini segera berlalu
ReplyDeleteAnakku tidak sekolah formal jadi alhamdulillah kurang drama soal PJJ ini. Dia ikutan kelas online science seminggu 2x itupun di awal semangat eh belakangan ga mau lanjut. Tiap mau kelas, harus diingatkan buat segera bersiap, memperhatikan, Dan seterusnya. Nah gimana yang tiap Hari harus PJJ. Orang tua kudu sabaaar banget, guru juga upgrade skill Serta berpikir kreatif supaya proses belajar mengajar menyenangkan.
ReplyDeleteLengkap dan detail banget tulisannya Mbak. cuma berharap ada mi ini segera berakhir dan pendidikan Indonesia bisa semakin maju serta permasalahannya dapat teratasi dengan baik.
ReplyDeleteLengkap dan detail banget tulisannya. sebagai orang tua Aku cukup ngerasain sih masalah-masalah pendidikan saat ini. Dan skrg cuma bisa berharap semoga pandemi ini lekas berakhir
ReplyDeletePerlu sekali adaptasi perubahan di dunia pendidikan. Meski masih ada kesenjangan yang signifikan mengingat banyak hal harus diubah sementara banyak orang yang masih ingin menerapkan cara-cara lama.Perlu kerjasama semua untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik nantinya
ReplyDeleteEmang beneran kudu beradaptasi banget ya kak ama sistem online ini, ga perlu kebanyakan ngeluh, karena pasti akan banyak kendala nya, fokus ama solusi aja. Terima kasih sharing nya kak
ReplyDeleteWalaupun sudah tidak berdekatan dengan dunia pendidikan, karena seisi rumah sudah dewasa. Sangat menambah wawasan sekali bun, selalu takjub dengan artikel komplitmu.
ReplyDeleteAku mau nangis, kak Niar.
ReplyDeleteSungguh gak semua anak bisa punya kesempatan yang sama di masa pandemi ini.
Jadi banyak-banyak bersyukur dan tidak mengeluh dengan apa yang diberikan.
Banyak sekali masalah yang timbul terutama saat pendidikan dihadapkan dengan jarak seperti ini.
DeleteBeberapa kali anak merasa kurang paham dan bingung menyampaikan via daring.
Tapi salut untuk para guru.
Semoga perjuangan ini bisa bersinergi dengan baik.
Benar kak. Ini salah satu hal yang selalu saya ingatkan pada anak saya. Untuk banyak-banyak bersyukur, Alhamdulillah punya fasilitas. Ingat kalau dia ada teman, yang mesti ke rental dulu buat ngeprint tugas..mesti ke rumah keluarganya dulu buat internetan. Hiks
DeleteWowww padat berisi dan super lengkap banget ini ulasannya mba.
ReplyDeleteNgobrolin pendidikan emang sangat multisektor, multiaspek, dan multi pendekatan mba...
Sekalgus bahwa segala aspek kehidupan langsung td langsung terkait dengan pendidikan
Wah mudah-mudahan ide-ide brilian dari mbak ini dibaca oleh para pelaku dibidang pendidikan. Agar membawa pendidikan Indonesia semakin baik lagi ya
ReplyDeletePendidikan memang suatu topik yang tidak pernah habis habisnya untuk dikupas.. dan memang ini melibatkan kepentingan seluruh masyarakat, apalagi pendidikan membutuhkan biaya yang besar, dan hasilnya tidak dapat dilihat denan cepat dan harus dilaksanakan secara terus menerus.. (lelah tapi tetap harus dilaksanakan)
ReplyDeleteSaya jadi ingat perkataan guru saya dulu, kalau Indonesia itu kelas masyarakatnya ada semua dari modern hingga masih berpikir tradisional. Sungguh berat memang sebagai pemimpin harus bisa mengajarkan dan meratakan semua. Semoga Indonesia semakin siap dengan sistem pendidikan baru ini, tak lupa difasilitasi dan disiapkan juga
ReplyDeleteSebuah catatan yang bagus, dimana kondisi akhirnya menuntut kita untuk berubah di segala hal, termasuk di dunia pendidikan. Melakukan upgrade diri untuk mendapatkan pola pikir lebih kreatif sangat perlu, tidak hanya pada guru, tapi orang tua juga
ReplyDeleteSemoga pandemi segera berakhir ya, memang tak semua anak bisa memiliki fasilitas pendidikan yang memadai terutama di saat pandemi. Ada saja orang tua yang tidak punya gadget. Jadi anaknya ga bisa belajar online
ReplyDeleteHalo mba Niar. Isu kesehatan mental ini nih yang jarang di bahas dan kerap terabaikan mba :( Senangnya kalau ini juga di sampaikan untuk dijadikan perhatian ya
ReplyDeletePendidikan ini memang perlu dirombak ya. Banyak hal yang perlu diperbaiki dari sisi ortu, guru, murid, dan sistemnya sendiri. Dari sisi murid, tekanan lainnya yang biasa dialami adalah kalau bisa IPA dianggap pandai dan cerdas. Sedangkan IPS dianggap kasta kedua. Padahal tiap orang punya bidang dan minatnya masing-masing ya.
ReplyDeleteBelum lagi masalah ekonomi. Masa pandemi begini, anak-anak yang dari keluarga miskin tak punya gawai, seharusnya ada cara untuk menanggulanginya. Kalau gurunya kreatif, atau dinas turun tangan, bisa misalnya dengan radio komunitas atau radio lokal dipakai buat medium/sarana mengajar pengganti gawai.
Saya apresiasi banget dengan para pengajar yang mau selalu beradaptasi. Karena dunia pendidikan terus mengalami perubahan.
ReplyDeleteSebenarnya perubahan2 perilaku khususnya dalam pendidikan ini akan kita alami di masa mendatang sih ya, hanya saja saat pandemi begini memaksa kita berubah saat ini juga ya. Baik dari sisi gurunya, orangtua maupun juga siswanya.
ReplyDeleteMemberi perhatian pada kesehatan mental ini setuju banget ya Kak Niar... pembelajaran daring suka tidak suka bikin anak dan orang tua rada stres. Setuju sama ke-7 di atas diterapkan di dunia pendidikan untuk adaptasi perubahan.
ReplyDeleteMau tak mau pandemi ini memaksa semua orang untuk mau berubah dan melakukan perubahan ya, mba. Tak terkecuali orangtua juga harus mau belajar tentang teknologi meskipun awalnya gaptek demi mendukung kelancaran belajar anak. Komunikasi dengan ank pun harus berjalan dua arah dan harmonis sehingga terjalin kerjasama yang baik
ReplyDeleteberasa lagi baca buku kuliah umum mba Mugni, saya setuju banget dengan point-pointnya, terutama yangs aya rasakan bahwa anak memang harus sejak kecil sudah diarahkan pada resilient mentality dan leadership. terasa banget sejak kecil saya sudah diajarkan seperti ini, dan sudah dewasa metal baja saya terasa banget dibandingkan dengan saudara saya yang belum tahan banting saat berada disituasi yang kurang baik.
ReplyDeleteSorotan tentang pendidikan selama masa pandemi ini semakin tajam setajam silet, hehehe. Mau bagaimana lagi, memang begitulah adanya. Kita semua perlu berbenah. Tulisan ini telah mewakili hampir semua aspek soal pendidikan. Awezome!
ReplyDeleteSetuju banget Mak dengan pendidikan karakter. Menuju 100 tahun Indonesia merdeka karakter kids zaman now harus benar-benar dibentuk karena mereka yang nanti akan menjadi penerus sebagai pemimpin, ya.
ReplyDeleteyup.. masih banyak peer untuk memperbaiki pendidikan tanah air ya mba, tapi percaya deh kalau semua mau berubah kita bisa menjadl lebih baik. Tapi ya begitu harus semua berubah, ya manajemen sekolah, pejabat pendidikan, pengajar, orang tua dan mindset siswanya juga.
ReplyDeleteLengkap banget ini tulisannya Mak. Luar biasa. Aku pun setuju dengan poin pendidikan inklusi. Kebayang ya, yang anaknya normal saja di sistem PJJ ini banyak ortu yg kewalahan, gimana yang anaknya berkebutuhan khusus.
ReplyDeleteDan ya, saya juga setuju bahwa perkembangan dunia pendidikan harus selaras dengan kemajuan dunia industri. Kelemahan kita di situ.
Saat pandemi seperti sekarang ini memang semuanya dituntut kudu menyesuaikan diri ya mbak, ya gurunya ya ortunya, dll
ReplyDeleteEmang msh banyak yang kalang kabut juga sih dna aku menyesalkan yang suka mengeluhkan ini, knp gak mencoba dulu gtu...
Setuju banget gunanya pendidikan bukan buat sekadar dapat nilai tapi mempersiapkan kehidupan di masa mendatang ya
Banyak hal yang dipaparkan ya, pada webbinar ini. Pasti banya banget catatannya. Memang benar sih, perkembangan pendidikan vakum agak lama dalam artian jeda antar konsep baru sangat lama. Yang beredar sekarang kebanyakan konsep lama yang diperbarui/disesuaikan dengan keadaan, tapi karena kurang matang tak bisa dikatakan sebagai hal yang benar-benar baru.
ReplyDeleteyang dibutuhkan saat ini adalah kesehatan mental dari kedua orang tua dalam mendampingi anak-anaknya belajar. Emang kondisi lagi rawan sekali, tapi menghadirkan hati dan pikiran saat belajar daring dengan anak-anak sangat diperlukan.
ReplyDeletemasih banyak sekali penyesuaian yang perlu kita lakukan untuk mendapat manfaat nyata dari masa PJJ ini ya mba
ReplyDeleteSetuju sm yg nomor 5 mba. Tentang memberi perhatian pd pendidikan karakter. Menurut penelitian anak skrg kurang akan karakter ini. Krn mungkin ktk sekolah terlalu berpaku pd nilai yg lain.
ReplyDeletePenutupnya kunci banget tuh kak! Betul, sejatinya yaa pendidikan itu sebagai persiapan anak-anak ketika menghadapi kehidupan kelak. Bismillah, semoga kita semua bisa mendampingi anak-anak dengan baik.
ReplyDeleteMenyiapkan generasi muda tuh prioritas deh kalau menurutku mba. Apalagi dengan kondisi pendidikan seperti sekarang ya, sudah saatnya berbagai pihak yang terkait dengan pendidikan segera melakukan perubahan agar anak pun mudah beradaptasi. Ilmu yang didapat tetap lancar, metode yang diterapkan sebisa mungkin disesuaikan dengan jamannya.
ReplyDeleteMantap banget mbak... Semoga mimpi mbak niar (dan mungkin semua orang tua) di bidang pendidikan bisa terwujud...
ReplyDeleteSangat setuju, Mba. Pandemi ini bukan hanya siswa yang belajar, namun semuanya ikut belajar. Saya sendiri pun seorang guru, tetap harus belajar mengupgrade kemampuan.
ReplyDeleteUlasan yang lengkap, Mbak Niar. Memang sistem pembelajaran digital ini memaksa kita untuk belajar lebih banyak lagi, nggak cuma pasrah dengan keadaan. Harus lebih peka dengan keadaan juga dan melihat ke dalam keluarga gimana pengasuhan dan pendidikan di rumah.
ReplyDeletePandemi ini jadi mengajarkan semua orang untuk menjadi guru ya mbak..terutama untuk diri sendiri,,kalau untuk diri sendiri berhasil pasti bisa jadi guru untuk orang disekitarnya..intinya sih harus selalu upgrade kemampuan ya
ReplyDeleteWaah tulisan Mbak Niar lengkap banget. Informatif . Meski panjang juga gak capek bacanya. Membahas dari berbagai sisi
ReplyDeleteGood luck Mbak. Wawasan jadi nambah baca artikel panjang ini.
Bener banget kak Niar, semua elemen harus saling bersinergi ya supaya di masa pandemi ini semuanya terbiasa dengan perubahan.
ReplyDeleteKalau aku memang peran pokoknya di ibu ya
ReplyDeleteKarena kalau bukan ibu atau orang pertama yang mengasuhnya, tentu akan beda tumbuh kembang terlepas dari pengaruh lingkungan juga
Orang tua 90's punya karakteristik yang berbeda dengan orang tua dulu, sangat berbeda. Sayang yang mereka tafsirkan adalah membela anaknya meskipun dalam keadaan yang salah tanpa melihat kenapa dan mengapa, padahal seharusnya orang tua harus menjadi sosok pendukung, pemberi motivasi, dan mengajari akhlak.
ReplyDeleteBahwa jika di dunia kerja nantinya hal-hal seperti ini lumrah dan tidak bisa diadu kepada orang tua.