Jangan sampai daring jadi darting, begitu yang saya tekankan pada diri saya. Sesekali ada rasa gemas-gemas lucu tapi saya tidak mau terjerumus hingga naik darah. Mencoba saja menikmati drama pembelajaran daring selama masa pandemi belum memungkinkan anak-anak mengikuti pembelajaran tatap muka di sekolah.
Mau tak mau harus diakui peran utama
pedidikan anak ada pada orang tuanya, terkhusus saya sebagai ibunya yang lebih
lama bersama anak-anak. Walau menyadari saya banyak kekurangannya, saya tetap
harus berupaya menjalani peran itu.
So, ini dia 3 cara menikmati drama pembelajaran
daring agar anti
waswas belajar dari rumah:
1. Mengamati Kebutuhan
Anak
Untuk anak sulung, meskipun dia mahasiswa,
saya tak melepasnya begitu saja mentang-mentang melihatnya mandiri dibanding
adik-adiknya. Saya tetap memperhatikan apa saja aspek-aspek terkait pendidikan
yang dia butuhkan.
Saya mencari informasi mengenai
beberapa hal terkait kampusnya dan mata kuliahnya. Saya sudah memberikan
isyarat kepadanya jika ada kesulitan dalam menghadapi mata kuliah supaya dia
cerita agar saya dan papanya bisa membantu mencarikan solusi. Solusi tak harus
dari kami, bisa dari orang-orang yang kami kenal.
Kuliahnya sehubungan dengan IT dan
kami kenal orang-orang IT di Makassar yang kemungkinan bisa membantunya jika
mengalami kendala dalam menyelesaikan mata kuliah tertentu.
Mengapa saya menganggap hal ini
penting?
Karena saya ingin anak-anak tahu dan praktik
hal ini: ketika menemukan masalah, cari solusi. Kalau mereka tak bisa
menemukan solusinya seorang diri, cari bantuan. Hal ini penting untuk kesehatan
mental mereka kini dan kelak.
Pada sebuah webinar yang diselenggarakan
oleh Yayasan Peduli Sahabat, nara sumbernya: Kak Arif Santoso mengatakan bahwa
anak-anak kita perlu diajarkan cara yang tepat untuk curhat. Cara yang
proporsional, bukan lebay.
Mengapa?
Tentunya alasannya adalah karena curhat
bisa menjadi langkah awal anak-anak kita mencari solusi atas masalah
mereka.
Jangan mengatakan, “Memangnya
anak-anak bisa punya masalah?”
Bisalah. Jangan dianggap enteng. Anak-anak
yang sudah bersosialisasi dengan sebayanya bisa saja punya masalah dan kalau
dia tak punya tempat cerita maka masalahnya dipendamnya sendiri. Hal ini akan
berakibat tidak bagus.
Ingat kasus anak SMP dan SMA yang bunuh diri yang belum lama ramai diberitakan?
Ada anak SMA bunuh diri di kabupaten Gowa, Sulsel sekira 2 bulan lalu. Beberapa bulan sebelumnya ada 2 mahasiswa di tempat berbeda di Makassar, pada hari yang sama bunuh diri.
Nah, anak-anak itu pasti memendam
sesuatu yang mana mereka tidak menemukan jalan keluarnya sehingga memutuskan
bunuh diri merupakan jalan keluar yang tepat. Ngeri, ya?
2. Menjadi Jembatan
Antara Guru dan Anak
Guru anak Anda menjelaskan materi
yang diberikannya? Guru-guru putri saya yang duduk di kelas 8 ada yang
menjelaskan materinya dan ada yang hanya memberikan tugas.
Penjelasan guru, rupanya tak selalu
mudah dicerna oleh anak. Beberapa kali, saya harus berperan sebagai jembatan
antara guru dan anak. Yaitu dengan cara menjelaskan kembali penjelasan guru,
menggunakan gaya bahasa yang mudah dimengerti oleh anak.
Misalnya pada pelajaran bahasa
Indonesia. Jangan dikira pelajaran ini mudah. Tak selamanya, Marimar! Salah
satu bagian sulit dari pelajaran ini adalah pada teori menentukan mana kalimat
pokoknya dan apa jenis-jenis paragraf yang menyusun sebuah teks eksposisi.
Saya harus memutar otak berkali-kali,
Marimar! Entah berapa kali putaran barulah saya sampai kepada kesimpulan yang
(mudah-mudahan) tepat lalu menjelaskannya kepada putri saya. Saya
menyebutnya “bridging” atau menjadi jembatan karena saya harus mengolah
kata-kata agar putri saya bisa mengerti.
Apakah selesai sampai di situ saja?
Tabelnya sederhana tapi mengisinya ternyata tak sederhana, Gaes. Dan masih ada satu tabel lagi. |
Oh, tidaaak. Karena ketika saya mencoba menjawab soalnya saya pun kesulitan sendiri hahaha. Jadinya, saya membantunya mengerjakan tugas itu, tidak membiarkannya mengerjakan tugas pembelajaran jarak jauhnya seorang diri.
Tapi tidak pada semua tugas saya
bantu seperti itu, lho ya. Lebih banyak yang dia kerjakan sendiri. Putri saya
bertanya dan menunggu saya membantunya jika dia memang tak bisa mengerjakannya.
Saya bersedia saja. Menurut saya ya
wajar saja saya membantunya karena saya sendiri merasa sulit mengerjakannya, terlebih
anak saya. Sudah begitu penjelasan yang diberikan guru yang bersangkutan juga bukan
penjelasan yang langsung bisa dimengerti oleh anak SMP (lha saya saja harus
putar otak hingga berkali-kali putaran!).
3. Kalau Butuh Bantuan,
Cari!
Saya bukan super mamak. Tidak
semua hal sanggup saya kerjakan sendiri. Mengamati kebutuhan anak-anak, tak
semua saya bisa tangani sendiri. Seperti yang saya sebutkan di atas, untuk si
sulung – jika ada kendala mata kuliah, bisa saja saya dan suami mencarikan
orang yang bisa membantunya. Saya inginnya dia tidak mudah terpuruk ketika menemukan
masalah mengingat ketertutupannya.
Untuk si tengah, dia sudah tahu
mencari jawaban di Brainly atau googling sebagai alternatif. Soalnya tak
semua tugas yang diberikan bisa dicari jawabannya di dalam buku cetak. Bersyukurnya, dia terbuka jika ada kendala. Untuk si
bungsu, ada guru pembimbing khususnya yang membantu kami.
Saya juga harus mengingat hal ini ...
jika perlu bantuan, cari! Bantuan pertama tentunya dari suami sendiri. Bisa
juga dari luar.
Karena sebagai mamak, ndak boleh
mengabaikan kesehatan mental diri sendiri kan ya. Bantuan bisa saja berupa jeda
sejenak dengan melakukan me time atau memberikan reward kepada
diri sendiri.
Kalau saya ingin tetap waras, tidak
sulit sama sekali. Cukup biarkan saja saya bercengkrama dengan laptop dan
kata-kata, usai itu, rasanya sudah bisa refresh kembali. Jangan sampai terjadi
seperti yang orang-orang bilang itu: “Dari daring jadi darting.”
Mamak harus tetap waras!
Makassar, 22 November
2020
Catatan
Tulisan ini merupakan tulisan kesekian mengenai drama pembelajaran daring. Untuk membaca tulisan-tulisan lain, silakan ketikkan keyword "drama pembelajaran daring" pada kotak pencarian blog ini.
Share :
walopun anak zaman sekarang ini sudah pandai kalo belajar tinggal ok google, tapi pengawasan orang tua diperlukan. bisa bisa malah main tiktok kuota nya habis ga faedah hehehe
ReplyDeleteNha itu ... controlling juga perlu wkwkwk.
DeleteAnakku juga sering pake branly dan google, memang menjadi penghubung antara guru dan murid itu wajib banget untuk masa pjj gini ya mbak
ReplyDeleteIya, anak tetap butuh diberi penjelasan ya Mbak.
DeleteMbak, ternyata anakmu yang sulung udah kuliah ya. Kukira masih kecil-kecil, soalnya Mbak Mugniar tampak masih muda gitu. Anakku yang sulung baru 2021 nanti masuk kuliah. Ya sama mbak, meskipun udah mandiri, tetep kuberikan perhatian dan bimbingan terkait pendidikannya. Gimanapun, kita tetap harus ada di sampingnya, di tengah metode belajar daring saat ini.
ReplyDeleteAnakku yang kecil udah SMP, udah mandiri juga, tapi tetap ada saja drama walaupun nggak separah waktu dia masih kelas 6 (saat awal2 pandemi) :D
Tampak muda kalo lihat dari jauh, Mbak wkwkwk.
DeleteDrama yang berbeda ya dengan di tingkat sekolah sebelumnya hehe.
Aku selalu menikmati cerita-cerita PJJ ini. Kadang pas didengar lucu2 menggemaskan tapi aku yakin aslinya nggak kayak gitu, lebih struggling. Aku juga selalu nanyain ke keponakanku dan dia selalu kasih tau gimana bundanya ngomel2 pakai gaya dan intonasi ala bundanya, hihi.
ReplyDeleteWkwkwk bagus juga Mbak, ditanyain ponakannya jadi dia ada tempat cerita juga. Bisa tahu, anaknya bisa jalani PJJnyaatau tidak. Saya juga ngomel kalau anaknya kejauhan mainnya. Misalnya lagi kerja tugas eh scrolling IGnya lama ... ya ampun.
DeleteSaya setuju kalau perlu bantuan segera cari. Ngerjain tugas sekolah bisa sangat dramatis.
ReplyDeletememang perlu strategi khusus untuk pastikan proses pembelajaran jarak jauh ini bisa berhasil dengan baik ya mba
ReplyDeletewaaa temenku juga nih tiap hari ada aaja yang diceritain tentang dua anaknya yang lagi PJJ selama pandemic ini hihihi,kadang lucu juga denger ceritanya
ReplyDeleteBetul banget mbak Mugniar
ReplyDeleteBahasa Indonesia tu ngga mudah
Beberapa kali saya ikut rapat guru- orang tua murid menjelang UAN (anaknya banyak sih, ada 4 :D) yang Alhamdulilah sekarang tidak menentukan kelulusan
Pada kesempatan pertemuan tsb, guru selalu mengulang hal yang sama, bahwa banyak anak memperoleh nilai 10 untuk matematika
Tapi nggak tiap tahun ada anak yang berhasil dapat nilai 10untuk Bahasa Indonesia
Dah 8 bulan daring gini jdnya benar2 new normal. Jd dah biasa ya, anak anak juga dah menyesuaikan, dmk pula guru n ortu hehe
ReplyDeleteDengan adanya pembelajaran daring, kita jadi semakin menyadari bahwa mengajar bukanlah hal yang ringan. Banyak aspek yang harus dikuasai selain tentu saja ilmu itu sendiri. Semoga banyak hikmah yang bisa kita dapatkan dari situasi ini
ReplyDeleteBetul. Ibunya jangan sampai ikut stress hanya karena tugas belajar anak yg PJJ. Kalau Mbak menulis di laptop, saya mah cukup buka hp aja. Karena cuma hp adanya hehehe
ReplyDeletehampir setahun ya pjj ini, emang banyaj bgt dramanya...
ReplyDeletetapi mw gmn lagi, namanya juga demi mencegah anak terkena virus
Semangat semua Mamak di dunia. Semangat ya, Teh Mugniar. Keponakanku juga cari jawabannya di Brainly hehe
ReplyDelete