Perlu dituliskan curhat pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020 yang saya alami ini sebagai catatan sejarah karena berlangsung dalam situasi yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Yaitu, masih masa pandemi corona dan sebelumnya pilkada Makassar hanya mengusung 1 calon yang melawan kotak kosong. Perlu saya ceritakan lagi bahwa pada pilkada tahun 2018 sedianya ada 2 calon yaitu Ramdhan Pomanto dan Munafri Arifuddin. Namun karena sesuatu hal, Ramdhan dianulir dan Munafri maju melawan kotak kosong. Ajaibnya, kotak kosong meraih kemenangan telak. Nah, kali ini Ramdhan dan Munafri kembali maju sebagai calon wali kota, dengan tambahan 2 calon lain dengan pesonanya masing-masing.
Setelah melakukan survei pilwali Makassar ala-ala dan menentukan pilihan, siapa
yang akan dipilih dari ke-4 pasangan calon yang
maju para pertarungan memperebutkan posisi kepala daerah tingkat 2 Kota
Makassar kali ini, saya merasa diri mantap menggunakan hak pilih pada tanggal 9
Desember kemarin.
Empat paslon (pasangan calon) walikota Makassar 2020 adalah:
Nomor urut (1) Moh. Ramdhan Pomanto-Fatmawati Rusdi (Danny-Fatma) diusung Partai Nasdem dan Gerindra. (2) Munafri Arifuddin-Abd Rahman Bando (Appi-Rahman) diusung Partai Demokrat, PPP, dan Perindo. (3) Syamsu Rizal MI-Fadli Ananda (Dilan) diusung Partai PDI-P, PKB, dan Hanura. (4) Irman Yasin Limpo-Andi Muh Zunnun Armin Nurdin Halid (Imun) diusung Partai Golkar, PKS, dan PAN.
Mengambil keputusan siapa yang hendak
dipilih pada pilkada Makassar bukan perkara mudah karena banyak pertimbangan yang harus saya buat. Alhamdulillah-nya
keputusan ini sesuai dengan keputusan suami. Biasanya kami memang berdiskusi
sebelum menentukan pilihan.
Peta dari https://makassarkota.go.id/. |
Saya menghargai pendapatnya sebagai acuan memilih karena akan memilih pemimpin. Siapa yang akan dipilih menjadi wali kota harus melalui pertimbangan yang matang. Saya juga menempatkan diri masih sebagai bagian dari “tim” dengan pak suami. Mengapa? Ya karena demikianlah idealisme saya. No debate untuk bagian ini ya, hehe.
Jauh hari sebelum pemilu, ada kerabat
yang menghubungi, meminta foto KTP dari kami berempat (saya, suami, ayah, dan
ibu saya) sebagai tanda dukungan kepada salah satu calon pilwalkot Makassar 2020. Ayah dan ibu
saya mau memberikan karena memang merupakan pengagum calon tersebut.
Sementara saya dan suami menolak
dengan tegas. “Maaf, saya dan suami tidak bisa, Kak,” ucap saya kepada sang
kerabat.
Mungkin kalau saat itu saya dan suami
sudah menentukan dia sebagai pilihan dan meyakininya, kami akan memberikan foto
KTP. Sayangnya saat itu kami masih belum menentukan pilihan.
Sekadar mengingatkan Pilkada Makassar 2018. |
Sekitar sepekan sebelum hari H, seseorang tak dikenal memasukkan saya ke dalam grup WA salah satu paslon wali kota. Bingung pada awalnya. Namun setelah melihat-lihat nomor yang ada dalam grup tersebut saya menebak seorang tetangga telah memasukkan saya di dalam grup karena mengetahui siapa yang akan dipilih oleh ayah dan ibu saya.
Lah, saya adalah saya, bukan orang tua
saya.😆
Grup itu rupanya merupakan tempat
koordinasi tim pemenangan calon pilihan kedua orang tua saya, untuk wilayah TPS
kami. Begitu admin grup menuliskan bahwa grup merupakan ajang komunikasi untuk
pemenangan paslon termaksud, saya langsung keluar dari grup.
Ribet ah. Kalaupun saya memilih paslon
tersebut, saya tidak mau dimasukkan dalam tim pemenangan. Pilihan saya cukup
untuk saya ketahui berdasarkan alasan yang saya punyai. Untuk menjadikan misi
memenangkannya, harus ada alasan yang jauh lebih besar dan lebih mulia mengapa
ingin memenangkannya.
Ya, meskipun saya lebih menginginkan
dia yang menang misalnya tapi jujur saja, saya tidak tahu untuk alasan mulia
apa saya harus memperjuangkannya agar dimenangkan warga Makassar. Alasan memperjuangkannya
haruslah sangat mulia, filosofis, dan berdasarkan idealisme tertentu, bukan
sekadar alasan keduniaan.
Bakal serba salah jika memperjuangkan
kemenangan orang yang saya tidak tahu persis kemuliaan hati dan kebijakannya
dalam memimpin kami nantinya. Pun saya tidak mengenal karakternya dengan baik.
Saya tak bisa meramal apa yang akan terjadi di masa depan. Kalau terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan, dosa yang saya tanggung bakal lebih besar.
Munafri, Ramdhan, Syamsu Rizal, Irman. Foto dari Makassartribunnews.com. |
Asas pemilihan bebas toh, tak ada yang boleh mengikat saya Saya tak hendak membela si calon sampai mati juga. Kalaupun saya memilihnya dan seandainya sekian tahun ke depan dia masih mencalonkan diri lalu ada calon yang lebih baik, saya kemungkinan besar akan beralih ke lain hati. Lagian seenaknya saja di admin grup memasukkan saya tanpa minta izin dulu.
Well, dari rangkaian proses panjang menuju
tanggal 9 Desember, saya bersyukur akan satu hal, akhirnya dua spanduk bergambar
salah satu paslon yang tepat mengarah ke jendela kamar saya akhirnya
diturunkan. 😁
Saya sudah berniat, kalau tidak
turun, akan saya tegur Pak RT sebelah – pendukung keras paslon yang wajahnya tiap hari saya lihat itu di
depan orang banyak karena dia melanggar aturan masa tenang. Ternyata beliau
paham. Satu spanduk berukuran besar dan satu lagi yang lebih kecil sudah turun pada
H – 2.
Bosan juga setiap melihat ke arah jendela,
wajah paslon itu terus yang saya lihat. Mana pula sekitar 4 kali para pendukungnya kumpul-kumpul dan bikin keriuhan musik hingga tengah malam, mengganggu waktu tidur saja. 🙈😹
Posisi spanduk itu mengarah ke
jendela kamar saya secara strategis. Orang-orang sekitar mungkin malah
melihatnya hanya sesekali karena harus secara sengaja melihat ke arah spanduk
digantung di atas sana. Yang sedang berkendara belum tentu melihatnya ketika
melewati wilayah kami.
Tapi saya melihatnya bisa sepanjang
hari, setiap melayangkan pandangan ke arah jendela. Eneg kan!
Wuih sudah 800-an kata saja tulisan
ini. Pada tulisan berikut saya mau cerita proses pilwali Makassar 2020 di TPS tempat saya
mencoblos pada hari H. Semoga masih mau
membaca curhat saya berikutnya. Terima kasih buat kalian yang sudah
membaca curhat saya sampai di sini.
Makassar, 11
Desember 2020
Share :
Pilkada dimanapun memang suka bikin deg2an. Tapi ini adalah proses demokrasi dimana Kita sebagai pemilih berperan Serta menentukan nasib daerah sendiri. Semoga pilihannya yang terbaik ya Mbak
ReplyDeleteKalo dari cerita yang aku baca, berarti Mbak Niar termasuk orang yang peduli dan tahu betul soal paslon Pilkada. Soalnya pas pulkam, di daerahku kan juga ada Pilkada, trus kalau kutanya orang2 sana termasuk ibu dan tetangga2ku, pada nggak tahu siapa aja yang nyalon. Orang pas debat aja, salah satu kandidat ada yang datang sendiri, padahal yang lainnya pasangan.
ReplyDeleteSaya juga dah eneg kak sama spanduk di daerah daya banyak banget entah itu yang kecil atau segede baliho juga ada haha jujur aja mereka ini ga pernah ke daerah saya jadi belum pernah lihat aslinya sih.
ReplyDeletePikada di Indonesia dan segala dramanya hehehe.. well, yang penting memilihi sesuai keputusan hati dan tanpa paksaan siapa pun
ReplyDelete