Dalam sebuah pengajian online, saya menggarisbawahi penyampaian nara sumber yang berbagi inspirasi beberapa hari lalu. Tentang “pandangan jauh ke depan” atau visi. Beliau seorang pemimpin perusahaan yang mewarisi kebesaran perusahaan yang telah dirintis oleh ayah dan ibunya.
Nama besar ibunya ada di
balik kesuksesan perusahaan yang menjadi salah satu yang terbaik di dunia saat
ini dan menjadi pionir brand kosmetik halal di
Indonesia.
Di balik ibunya, ada
ayahnya yang bekerja melengkapi kompetensi sang ibunda. Menarik sekali bagi
saya menyimak kisahnya. Kental mengenai bagaimana nilai-nilai keluarga
diwariskan pada anak-anak dalam keseharian lantas membawanya ke dalam
perusahaan.
Beberapa bulan yang lalu, saya
menyimak ibundanya berkisah dalam lingkup pengajian yang sama, mengenai
nilai-nilai yang diterapkan dalam perusahaannya yang berdiri tahun 1985 ini.
Salah satunya adalah empati kepada karyawan dan memperlakukan mereka selayaknya
keluarga sendiri.
Kembali kepada lelaki berusia kepala 3 tadi, anak sulung si ibu. Lelaki ini berkisah bagaimana etos kerja ibundanya. Dalam usia kepala 6 sekarang masih produktif bekerja. Belum pensiun. Masih bersemangat. Jadinya malu kalau malas-malasan, begitu kata dia.
“Tidakkah lelah, Ibu?” tanyanya
suatu ketika kepada sang ibunda. Jawabn ibundanya membuatnya memiliki energi
baru, “Tidak lelah kalau kamu bekerja untuk kepentingan orang lain. Akan
melelahkan kalau bekerja untuk kepentinganmu sendiri.”
Salah satu pandangan jauh
ke depan yang membuat perusahaan itu tetap bertahan setelah mengalami beberapa
kali krisis. Krisis ekonomi akhir 90-an dilaluinya dengan baik, kini masuk
krisis masa pandemi
covid-19 dan perusahaan itu telah memyumbang sebesar 40M rupiah untuk penyelesaian masalah akibat covid-19.
Satu hal menarik lainnya yang
diceritakan lelaki itu adalah mengenai bagaimana ayahnya mewanti-wanti untuk “tidak
menikah lagi”, agar bersetia pada satu istri.
Menurutnya, pandangan jauh ke depan yang dimiliki seorang muslim akan
menahannya untuk memutuskan menikah lagi.
Mengapa?
Karena dengan satu istri
saja, membangun satu generasi bukanlah hal mudah. Bagaimana dengan istri lebih
dari satu? Tentunya lebih tak mudah lagi. Saya beberapa kali mendengar pendapat
senada. Misalnya: “Dengan satu istri saja ada kesulitan-kesulitan, dengan istri
dua, kesulitan itu berlipat dua, demikian seterusnya.”
Wallahu a’lam.
Saya tak ingin menggugat argumen
kalian yang berbeda pendapat di sini. Fokus saya adalah pada statement “pandangan
jauh ke depan” dengan mengutip apa yang pernah saya dengar oleh orang-orang
yang “visioner” dalam sudut pandang ini.
Saya senang menyimak penuturan para pengusaha mengenai nilai-nilai yang dipegangnya. Meskipun bukan pengusaha, saya bisa mengadopsinya untuk diri sendiri karena sejatinya visi/pandangan ke depan memang harus kita punyai, sebagai individu sekali pun.
Menarik menyimak betapa
peran ibu yang visioner penting bagi pengembangan diri anak-anaknya. Lelaki itu
menceritakan bagaimana dia sekarang, karena nilai-nilai warisan ibundanya
begitu berpengaruh. Lalu bagaimana ibundanya menjadi sukses, juga karena peran
besar ibundanya. Masya Allah, ya.
Mengenai pandangan jauh ke
depan ini “nyambung” dengan pembahasan mengenai kerusakan lingkungan
hidup dan amburadulnya penataan wilayah yang terlihat akhir-akhir ini.
Sudah bukan rahasia lagi
kalau perilaku yang merusak lingkungan dan penataan wilayah yang tidak
memperhatikan analisis mengenai dampak lingkungan akibat buruknya akan terjadi.
Bahkan menjadi beban yang diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Maka tak heran bencana
alam terjadi di mana-mana. Menyenangkannya, masih ada orang-orang yang tergerak
melakukan gerakan untuk memperbaiki lingkungan dengan menyentuh generasi muda.
Salah satunya adalah Golongan Hutan – silakan browsing untuk mengenal
lebih dekat tentang Golongan Hutan.
Pandangan jauh ke depan,
bagi orang Islam sering kali ringan saja diucapkan dan didengar. Ingin mati
masuk surga. Siapa sih yang tidak mau masuk surga. Saya juga mau. Saya juga
ingin punya banyak amal jariyah. Tapi pelaksanaannya tidak mudah-mudah
amat rupanya. Begitu banyak kelalaian dan pengabaian yang saya perbuat. Hiks.
Semoga masih bisa memperbaiki diri.
Makassar, 19 Januari 2021
Catatan:
Kisah di atas tentang Pak Salman Subakat - CEO Paragon Technology and Innovation (produsen Wahdah Cosmetics).
Share :
Setuju banget, tanpa sadar terkadang apa yang terjadi saat ini pada diri sendiri sesuai dengan apa yang kita impikan dahulu.
ReplyDeleteIya benar. Makanya ada nasihat, jika ingin punya generasi bagus maka perbaguslah diri sendiri.
DeleteAku jd inget pas interview di kantor yg trakhir, aku ditanya Ama HRD, apa visiku ke depan. Jujur waktu itu bingung. Lah baru fresh grade, itu kerjaan pertama yg aku dapet. Boro2 mikirin visi, udah diterima aja happy banget hahahaha.
ReplyDeleteTapi memang kita tuh dalam hidup hrs punya visi, yg jauh ke depan. Bukan utk jk pendek. Jk panjangnya ingin seperti apa. Dan kalo bisa harus bermanfaat juga utk orang2 di sekitar kita, bukan hanya menguntungkan diri sendiri :)
Kalo inyerview utk kerjaan begitu, jawabannya harus visi yang sesuai dengan visi perusahaan kali ya, Mbak Fanny? 😃
Delete