Membingkai Rokok dalam Rasionalisasi Kebijakan dan Optimalisasi Pengawasan Harga Pasar – Melihat anak-anak membelikan rokok yang katanya untuk orang tuanya di warung sebelah, saya merasa prihatin. Anak-anak sejak kecil sudah terbiasa dengan rokok. Begitulah. Dalam gang-gang kecil lumrah terjadi anak-anak kecil membelikan ayah mereka rokok di warung. Benda mungil ini walaupun bahayanya banyak, sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia.
Rokok yang “Setara” dengan Sembako
Rama Prima Syahti Fauzi – Analis Kebijakan Madya, Kedeputian Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan, Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dalam webinar bertajuk Rasionalisasi Kebijakan dan Optimalisasi Pengawasan Harga Pasar Rokok menyampaikan mengenai data yang menyebutkan bahwa:
Pengeluaran per kapita sebulan masyarakat untuk rokok dan tembakau menempati daftar urutan lebih tinggi dibandingkan konsumsi protein hewani, sayur, dan buah (sumber: BPS, Susenas Maret 2018).
Selain itu, studi rokok
dan kemiskinan oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia mendapatkan fakta bahwa:
- Penerima bansos (bantuan sosial) memiliki kecenderungan merokok lebih tinggi jika dibandingkan dengan bukan penerima bansos.
- Penerima PKH (Program Keluarga Harapan) memiliki pengeluaran lebih besar untuk membeli rokok sebanyak 3,5 batang per kapita per minggu lebih banyak dibandingkan bukan penerima PKH.
- Perilaku merokok menimbulkan shifting komsumsi, di mana uang untuk makanan digunakan untuk membeli rokok, hal ini sangat terasa oleh masyarakat miskin yang lebih perlu mencukupi nutrisi anak untuk mencegah stunting.
Sudahlah kalau edukasi
bahaya rokok, pastinya banyak di mana-mana. Lha di pembungkusnya sampai di billboard
rokok juga ada tapi tetap saja penikmatnya banyak. Yang mengkhawatirkan, pervalensi
perokok usia anak dan remaja meningkat. Sayang kan jika bonus demografi kita
disusupi rokok?
Aditya Laksmana Yudha –
Pemimpin Redaksi Beritasatu.com yang bertindak sebagai moderator webinar yang
diselenggarakan oleh Kantor Berita Radio (KBR) menyampaikan dasar keprihatinan
terselenggaranya kegiatan ini, yaitu bahwa terkonfirmasi prevalensi perokok
usia 10 – 18 tahun dalam Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) nasional oleh Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) naik menjadi 9,1% pada tahun 2018 dari angka 7,2% pada
tahun 2013.
Akibatnya pemerintah belum
bisa memenuhi target RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) untuk
prevalensi rokok anak (sedianya) pada angka 5,4% pada 2019. Malahan pada RPJMN
2020 – 2024, target prevalensi tersebut direvisi menjadi 8,7% pada 2024.
“Ini menandakan upaya mengurangi konsumsi rokok menjadi upaya yang tidak ada habisnya dan sangat berat. Terbukti angka prevalensi tersebut direvisi naik makanya intervensi kebijakan dari pemerintah dibutuhkan, yaitu bagaimana rokok menjadi mahal, misalnya dari sisi fiskal dari Kementerian Keuangan,” tutur Aditya.
Keprihatinan kepada
meningkatnya perokok anak menjadi penting. Dr. Risky Kusuma Hartono – Peneliti Pusat Kajian Jaminan
Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) menyampaikan salah satu alasannya
yaitu kalau tidak dilakukan intervensi apapun (menurut Bappenas 2021)
maka pada tahun 2030 diperkirakan peningkatan prevalensi perokok anak menjadi
15,9%.
Nah, bagaimana supaya hal
yang memprihatinkan ini tidak terjadi? Inilah yang dibicarakan dalam webinar
yang berlangsung di Zoom dan streaming via YouTube pada 29 Maret
2021 ini, khususnya terkait kontroversi harga rokok yang ternyata masih banyak
yang menjualnya di bawah harga banderol, dijual per batang, dan mudah diperoleh
di mana saja.
Pemaparan dan diskusi ini diwarnai dengan istilah HJE (harga jual eceran), HTP (harga transaksi pasar), dan tarif cukai HT (hasil tembakau).
Pak Rama Prima Syahti
Fauzi memahamkan saya mengenai mengapa rokok termasuk barang kena cukai (bea
yang dikenakan pada barang konsumsi). Alasannya adalah: karena pada rokok ada
karakteristik yang sesuai dengan aturan, yaitu: konsumsinya perlu dikendalikan,
peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi
masyarakat atau lingkungan hidup, atau (4) pemakaiannya perlu pembebanan
pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan (UU No. 39/2007).
Mengapa konsumsi rokok perlu dikendalikan, alasannya sudah saya paparkan di atas, ya. Sementara tentang bahaya rokok bisa dibaca di dalam tulisan Rokok - Si Kecil-Kecil Cabe Rawit yang Sanggup ‘Membunuh’ dan Rokok Harus Mahal untuk Selamatkan Bangsa.
Perjalanan
Kenaikan Cukai Rokok
Nah, bicara
tentang hal-hal demikian sudah terlihat ya kalau saya pro pada pernyataan “rokok
harus mahal”. Sebenarnya, kenaikan harga rokok ini, salah satunya dari cukai.
Untuk cukai rokok, kebijakannya harus mempertimbangkan hal-hal berikut sebagai salah
satu instrumen peningkatan kualitas SDM:
- Pengendalian konsumsi, yaitu penurunan prevalensi merokok pada usia 10 – 18 tahun yang ditargetkan 8,7% pada tahun 2024.
- Keberlangsungan tenaga kerja, petani tembakau, dan industri hasil tembakau secara keseluruhan.
- Penerimaan negara sebagai sumber pembiayaan untuk mengatasi eksternalitas.
- Pengawasan barang kena cukai (BKC) ilegal
- Dampak rokok yang multidimensional.
Wawan
Juswanto, Analis Kebijakan Madya – Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian
Keuangan RI menjelaskan bahwa persoalan cukai bukan semata
tentang prevalensi perokok anak. Beliau juga menjelaskan mengenai instrumen
kebijakan cukai hasil tembakau yang terdiri atas tarif cukai dan harga
dasar/harga jual eceran atau HJE (banderol).
Cukai sebanarnya telah mendorong
harga rokok semakin tidak terjangkau. Menurut Pak Wawan, di banding
negara-negara Asia Tenggara harga rokok di Indonesia lebih mahal. Dirinya juga memperlihatkan
grafik yang menunjukkan bahwa harga rokok (relatif terhadap pendapatan) semakin
mahal (affordability index meningkat) selama 2013 – 2020. Kecuali pada
tahun 2019 harga rokok menjadi relatif lebih murah karena tidak ada kenaikan
tarif cukai.
“Penjualan rokok mengalami pertumbuhan negatif yang dipengaruhi oleh kebijakan cukai dalam beberapa tahun terakhir. Kebijakan cukai juga mempengaruhi pertumbuhan negatif. Di tahun 2020 penjualan rokok mengalami penurunan hingga 322 miliar batang atau turun 9,7% dari tahun 2019. Namun demikian terjadi perubahan market share yang signifikan di tahun 2020, di mana rokok golongan I mengalami penurunan sementara rokok golongan II dan III tumbuh positif. Hal ini menunjukkan telah terjadi downtrading, yakni pergeseran konsumsi rokok dari rokok mahal ke rokok yang lebih murah,” ungkap Pak Wawan dalam presentasinya.
Kontradiksi
Jual Rokok di Bawah Harga Jual Eceran (Banderol)
Di sisi lain, pengamatan
di pasar memang menunjukkan masih banyak yang menjual rokok di bawah harga HJE
maka tujuan pengaturan dalam pengendalian konsumsi rokok secara filosofi harus
dikendalikan dalam harga agar tidak terlalu murah dan tidak mudah dijangkau
anak-anak, serta mendorong persaingan yang sehat antar pengusaha, dalam hal ini
meminimalkan praktik predatory price.
Mengenai harga rokok yang
masih banyak menjualnya di bawah HJE disampaikan oleh Wawan Juswanto, Rama
Prima Syahti Fauzi, dan Adi Musharianto – Peneliti Institut Teknologi dan Bisnis
Ahmad Dahlan (ITB-AD).
MC, moderator, dan para nara sumber. |
Adi memaparkan penelitian tahun 2020 yang menemukan harga rokok dijual di atas 85% dari harga banderol – ada yang menjualnya 91% dari HJE tapi tetap saja lebih murah dari harga banderol. Ini berarti perokok tetap mendapatkan insentif. Bahkan ada temuan, rokok dijual 81% dari harga banderol.
Terkait tema Rasionalisasi
Kebijakan dan Optimalisasi Pengawasan Harga Pasar Rokok, salah satu poin
penting yang dibicarakan dalam webinar ini adalah adanya aturan Menteri Keuangan
nomor 198 tahun 2020 yang salah satu klausulnya menegaskan bahwa harga jual di
tingkat konsumen tidak boleh kurang dari 85% dari harga eceran yang tercantum dalam bungkus rokok namun
faktanya masih banyak rokok yang dijual dengan harga murah.
Dalam peraturan Dirjen Bea
Cukai No. 37 Tahun 2017 disebutkan tentang Harga Transaksi Pasar 85% namun kontradiksinya
adalah perusahaan rokok diperbolehkan menjual kurang dari 85% asal
didistribusikan di kurang dari 50% atau sekitar 40 area kantor Bea Cukai.
Kebijakan
Fiskal Menjadi Variabel Bebas Terhadap Variabel Non Fiskal
Ada yang
menarik dalam presentasi Pak Rama Fauzi yang mengatakan “kebijakan fiskal menjadi
variabel bebas”. Mengapa demikian? Paparannya
menjelaskan bahwa berangkat dari strategi kebijakan RPJMN 2020 – 2024, khususnya
dalam fokus pengendalian tembakau, yaitu menurunkan prevalensi merokok (usia 10
– 18) untuk meningkatkan kualitas SDM
maka pemerintah mengeluarkan kebijakan fiskal dan non fiskal:
- Kebijakan fiskal: UU No. 39/2007 Tentang Cukai, UU No. 28/2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah, dan UU No. 36/2008 Tentang Pajak Penghasilan.
- Kebijakan non fiskal: PP
No. 109/2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif
Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang mengtur produksi dan impor, kawasan
tanpa rokok, peredaran, peran serta masyarakat, perlindungan anak dan ibu
hamil, dan pengawasan dan pembinaan.
Variabel Dana Cukai
Rokok dan Peruntukannya
Earmarking (p.66A UU 39/07): 2%
penghasilan cukai dialokasikan sebagai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
(DBHCHT), yaitu 30% untuk provinsi penghasil, 30% kab/kota penghasil, dan 30%
kab/kota sekitar.
DBHCHT dipergunakan untuk
mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan
lingkungan sosial (salah satunya bidang kesehatan), sosialisasi ketentuan di
bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.
Variabel Dana Pajak
Rokok dan Peruntukannya
Earmarking[1] (p. 31 UU 28/09):
dialokasikan paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat
dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
Penjelasan pasal 31:
- Pelayanan kesehatan masyarakat, antara lain, pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan masyarakat tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok.
- Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional: 75% dari 50% pajak rokok digunakan untuk program Jaminan Kesehatan Nasional.
- Permenkes 53/2017 tentang perubahan atas peraturan menteri Kesehatan nomor 40 tahun 2016 tentang petunjuk teknis penggunaan pajak rokok untuk pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat: pajak rokok untuk pendanaan program jaminan kesehatan nasional sebesar 75% dari alokasi pelayanan kesehatan.
Kebijakan fiskal menjadi
variabel bebas bagi pelaksanaan kebijakan non fiskal melalui earmarking
terhadap dana hasil cukai (DBHCHT) dan dana pajak rokok namun pemanfaatan
keduanya masih lebih besar atau cenderung pada aspek pembiayaan dampak
kesehatan/kuratif, baru sebagian kecil saja digunakan untuk mendukung
pelaksanaan kebijakan non fiskal dan investasi pembangunan SDM.
Rokok: goods yang bad. Presentasi: DR. Risky Kusuma Hartono. |
Rekomendasi
Para Nara Sumber
Keempat nara sumber
memberikan rekomendasi mumpuni guna mencapai pengurangan pada prevalensi
perokok di bawah umur dan juga pada masyarakat golongan menengah ke bawah.
Kerja Sama Lintas
Sektoral
Pak Wawan Juswanto mengatakan
bahwa kebijakan cukai hanya merupakan salah satu instrumen kebijakan
pemerintah. Seluruh stakeholder terkait harus memiliki kesamaan tujuan.
Perlu disusun suatu road map yang komprehensif dan melibatkan banyak
pihak bukan hanya untuk mengatasi permasalahan jangka pendek namun juga sebagai
acuan kebijakan jangka panjang yang mengakomodasi banyak pihak.
Dr. Risky Kusuma Hartono menyampaikan
usulan yang komprehensif:
- Kemendikbud ⇨ menerapkan KTR di kawasan
sekolah.
- Kementerian Agama ⇒ mengeluarkan fatwa rokok
untuk semua.
- Kementerian Perdagangan ⇒ meningkatkan pengawasan
peredaran dan penjualan rokok termasuk rokok batangan.
- Kementerian Keuangan ⇒ meningkatkan tarif CHT,
meningkatkan HJE, dan simplifikasi strata tarif CHT.
- Kementerian Ketenagakerjaan ⇒ mendorong perusahaan menerapkan KTR.
- Kementerian Pemberdayaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ⇒ mendorong instansi
pemerintah menerapkan kawasan tanpa rokok.
- Pemda ⇒ mendukung target RPJMN
penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7% pada 2024.
Dinamika
Ekonomi dan Produksi
Pak Wawan juga mengatakan
bahwa kebijakan cukai memperhatikan struktur ekonomi dan aktor yang beragam
sehingga perlu mempertimbangkan banyak faktor termasuk keberlangsungan
industri, skala bisnis, dan ketenagakerjaan. Penerimaan cukai harus dapat
dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pak Rama Prima Syahti
Fauzi mengatakan bahwa dampak dari tidak
sesuainya harga transaksi pasar (HTP) dengan harga jual eceran menyebabkan
harga rokok tetap terjangkau sehingga pengendalian konsumsi tidak optimal untuk
menurunkan prevalensi merokok.
Pak Adi Musharianto
mengatakan bahwa pemerintah diharapkan mampu menetapkan road map
kebijakan HTP 85% ini secara berkelanjutan dan bertahap, saat ini bisa mulai
dari HTP 85% lalu 90%, 95% hingga 100% atau bisa saja lebih dari 100% seperti
yang dialami rokok jenis SKT saat ini.
“Pemerintah diharapkan
mampu memberikan teguran dan sanksi tegas kepada industri rokok yang masih
menetapkan HTP di bawah 85%. Hal ini sudah ditetapkan pada PMK terbaru dan
semoga bisa terimplementasikan dengan baik,” ujar Pak Adi.
Masih menurut Pak Adi,
selayaknya pemerintah mengimbau industri rokok agar mengutamakan penyerapan
tembakau lokal tentunya di saat yang sama melakukan pendampingan pula terhadap
para petani tembakau agar produknya menjadi lebih berkualitas.
Pemerintah diharapkan
dapat mengantisipasi terjadinya predatory price yang dialami oleh
industri SKT, mengingat dalam kebijakan HTP 85% saat ini SKT tidak mampu
memanfaatkannya karena padatnya beban tenaga kerja yang mereka serap.
Pelarangan di
Masyarakat
Dr. Risky Kusuma Hartono memberikan
usulan terkait penerapan pelarangan di lapangan:
- Membatasi display rokok dan melarang spanduk rokok pada warung rokok. Masih ada 32,6% warung yang tidak pernah menolak anak membeli rokok karena membayar atau disuruh bapaknya dan tidak ada peraturan yang membatasi.
- Membatasi penjualan rokok batangan (sudah diterapkan di negara-negara lain).
- Pembeli harus menunjukkan KTP terlebih dulu.
- Menerapkan zonasi tempat penjualan rokok dengan lokasi sekolah (perlu penelitian lebih lanjut).
Memperketat
Regulasi Bahan yang Terkandung dalam Rokok
Penting untuk memperketak
regulasi bahan yang terkandung dalam rokok karena adanya potensi bahaya bahan
yang terkandung dalam rokok bagi tubuh dan lingkungan. Di samping itu terdapat
inovasi bahan perasa dan pewarna yang ditambahkan pada rokok.
Maka Dr. Risky Kusuma
Hartono mengusulkan untuk menambahkan regulasi larangan dalam tambahan perasa,
pewarna, dan penguat aroma rokok, guna untuk menegaskan agar rokok tidak
diakses anak. Penting juga hal ini mengingat sekarang marak adanya vape dan heat
tobacco product yang mengandung pewarna, perasa, dan aroma tambahan.
***
Memang perlu kerja sama
dan kesungguhan dalam mewujudkan angka ideal bagi penurunan prevalensi perokok
anak dan agar bahaya rokok tidak makin meluas dalam masyarakat, khususnya
golongan menengah ke bawah.
Satu hal muncul dalam
benak saya saat menyusun tulisan ini, bagaimana peran Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak dalam mendorong rasionalisasi kebijakan dan
optimalisasi pengawasan harga pasar terkait rokok? Kalau di antara Anda ada
yang punya bahan bacaannya, boleh ya tuliskan di kolom komentar di bawah.
Makassar,
1 April 2021
[1] Earmarking atau earmarked merupakan salah satu pendekatan
pengelolaan keuangan publik, khususnya bidang penganggaran atau pengalokasian
belanja. Istilah earmarking juga kerap dikaitkan dalam konteks perpajakan,
sehingga kemudian muncul istilah earmarked tax (Agustianto et all, 2019).
Sumber: https://news.ddtc.co.id/apa-itu-earmarking-tax-25712?page_y=867.
Share :
Memang miris kini rokok sudah dianggap barang pokok, orang yang disebut kurang mampu pun sangat mementingkannya. Seperti yang sudah ditulis di atas, pengurangan konsumsi rokok memang membutuhkan partisipasi dan konsistensi dari banyak pihak dan.
ReplyDeleteIya, jadi sepbako - sepuluh bahan kebutuhan pokok. Perlu tindakan serius.
DeleteMenarik artikelnya. Rokok itu ibarat petasan. Sudah tau berbahaya tapi tetap dijual juga bahkan menjadi industri yang menguntungkan baik buat Kota setempat dan pemasukan buat negara juga. Ironis sekarang kota di Indonesia yang paling kaya justru ada di Kediri karena industri rokoknya. Sulit untuk meniadakan rokok yang ada adalah membatasi penjualan rokok
ReplyDeleteItulah, Mas. Padahal bahayanya besar juga bahkan produsen harus mencantumkannya pada kemasan rokok. Butuh tindakan tegas memang.
DeleteKesadaran orangtua untuk tak menyuruh anak di bawah umur membeli rokok perlu ditingkatkan karena itu bisa mempengaruhi anak buat coba coba. Saya paling kzl kalau lihat ada orangtua merokok sembarangan si depan anak terutama yg masih bayi, pengen rasanya bilang, tolong asap rokoknya ditelan pak 😁😁. Semoga pemerintah ambil peran jg buat ruangan khusus merokok di ruang publik. Artikelnya padat, webinarnya ok 👍
ReplyDeleteDulu kalau ada teman datang ke rumah dan minta izin merokok, saya bilang kayak gitu, Mbak, "Kalau bisa telan sendiri asapmu, silakan." Wkwkwkwk.
DeleteWarung warung kecil tetap menjual rokok karena kata mereka kalau gak jual rokok gak akan dilirik dan jadi sepi pembeli. Apalagi rokok sekarang rata2 dijual secara ketengan di warung2, saya setuju dengan pembatasan pembelian rokok seperti di luar negeri dengan memakai KTP tetapi pengawasannya apakah bisa sampai ke warung2? musti ada UU tentang aturan pelarangan penjualan rokok yang jelas sih ya kan mba :)
ReplyDeleteNah itu dia. Butuh pengawasan juga dalam pengimplementasiannya pada masyarakat kita (seperti pemilik warung, pedagang kaki lima) apakah memang menerapkan ketentuan atau tidak.
DeleteAlhamdulillah suami aku bukan perokok mom saya ga betah bau asap rokok suka mual semoga generasi penerus anak anaku juga ga ngerokok... Aammiin
ReplyDeleteAamiin, semoga bebas terus dari asap rokok ya, Mom. Saya pun gak tahan sama asapnya. Untungnya suami saya bukan perokok juga.
DeleteMerokok jadi hal yang perlu diperhatikan betul2
ReplyDeleteTerutama bagi pelajar. Rokok ini membuat anak2 sekolah menjadi lebih arogan, karena mereka merasa lebih keren lebih hebat dari anak anak lainnya. Sebuah gaya hidup yang selalu ada di setiap generasi. Sosialisasi tidak cukup, perlu mungkin hingga ke tahap rehabilitasi agar bisa benar benar berhenti merokok
Nah, harapan saya bisa ke sana juga, Mas Maul. Semoga bisa ya.
DeleteMasalah rokok memang seakan tidak ada ujungnya ya. Soalnya kebiasaan merokok sudah sangat luas di masyarakat kita
ReplyDeleteWah tiap berbicara ttg rokok selalu ingat almarhum bapak..hiks...beliau dulu sakit krn rokok salah satunya...huhu
ReplyDeleteHiks, miris banget ya kalo anak2 udah mengenal rokok bahkan banyak yang menghisapnya sekarang tuh.
ReplyDeleteBtw, beneran Mak ,lingkungan sekitarku of perokok semua, mereka mengeluarkan biaya perbulannya tinggi banget dibandingkan buat makan sehat 😂
Bakalan sakau, klo laper dicarinya rokok dan kopi hhaha.
isu ini memang cukup kontroversial ya mba.. di satu sisi aspek kesehatan sangat menyarankan agar segera dikontrol dan dimitigasi dampak merokok bagi kesehatan ita semua, termasuk anak muda. Di sisi lain industri rokok memberi penghidupan bagi jutaan rakyat Indonesia. Diperlukan kebijakan yang dapat mengakomodasi semua komplkasi ini
ReplyDeleteRokok ini ibarat 2 mata pisau. Lha gimana, produknya secara kesehatan merusak banget tapi perusahaan dan dananya banyak membiayai kegiatan dari musik sampai olahraga. Nggak heran kalau perusahaan rokok sekarang inves di bidang lain kayak ecommerce. Jadi kalaupun mensponsori sesuatu, perusahaan induknya nggak terlihat karena anak perusahaannya yang 'maju'.
ReplyDelete