Tanda Tanya Penyangkalan – Sudah lama saya belajar untuk tak menyangkali realita. Mengapa? Karena penyangkalan hanya akan membawa saya kepada halusinasi, melupakan iman dan logika, serta menjauhkan diri dari solusi. Tak saya sangka, kepergian Mama dan Papa membuat saya mendengar penyangkalan-penyangkalan yang justru tak dilakukan oleh anak-anak Mama dan Papa.
“Mama/Papamu tidak kena
covid. Bukan covid. Sakit jantung itu!”
😳😓
Jika terdengar oleh
telinga saya, seketika saya jelaskan mengenai rangkaian pemeriksaan PCR, gejala,
hingga kronologi singkat yang bisa membuat sang penutur paham. Ingin rasanya
mengatakan plis jangan katakan itu karena secara tidak langsung Anda mengatakan
saya kurang iman dan kurang ajar. Siapa yang paling peduli, paling dekat secara fisik dan batin, dan paling bertanggung jawab atas Mama dan Papa? Saya atau Anda?
Dalam website merdeka.com saya baca mengenai penyangkalan atau yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah denial. Konon penyangkalan pertama kali dipaparkan oleh psikoanalis top Sigmund Freud yang mendeskripsikannya sebagai penolakan dalam mengakui fakta yang mengecewakan tentang peristiwa eksternal dan internal, termasuk ingatan, pikiran, dan perasaan.
PENYANGKALAN atau
PENOLAKAN atau DENIAL ini dikenal dalam dunia psikologi. Denial disebut-sebut
sebagai salah satu defense mechanism atau mekanisme pertahanan diri
manusia yang paling primitif. Sejak dulu kala nenek moyang kita mengalaminya.
Pun manusia-manusia modern. Bersyukur ketika menghadapi Mama dan Papa
sakit, saya dan adik-adik dengan sadar mengenyahkan penyangkalan.
Anehnya, justru orang lain
yang mengekspresikannya!
Dalam website sehatq.com
disebutkan bahwa denial bisa menjadi periode sementara untuk mencerna
informasi sehingga tidak berimbas pada kondisi psikologis. Garisbawahi kata “sementara”,
ya sebab penyangkalan sama sekali bukanlah kebiasaan baik.
Bayangkan, jika dalam
kasus covid
yang berujung kematian sementara pihak keluarga dalam keadaan denial terus-menerus.
Mereka “melupakan” hasil PCR dan mencoba meyakinkan orang orang bahwa amarhum(ah)
menderita sakit selain covid sehingga berduyun-duyun pelayat datang ke rumahnya.
Berapa besar penularan
yang terjadi? Berapa banyak orang yang menderita?
Saya baru saja mendengar
kisah ketika seseorang yang baru satu hari tak merasakan gejala covid, langsung
mendatangi sebuah pertemuan di mana semua orang mengenakan masker dengan baik,
hanya dia yang tak disiplin karena menurunkan maskernya di dagu.
Sekian menit berada dalam
satu ruangan dengan beberapa orang tiba-tiba saja dia mengaku “baru sembuh”. Singkat
cerita, orang-orang seruangan tertular semua, ada yang nyaris mati melalui masa
sakitnya.
Eh, sebentar … untuk kasus
ini bisa jadi penyangkalan, bisa jadi kurang ilmu juga. Tapi penyangkalan yang
berkelanjutan itu karena kurang ilmu juga, sih ya. Mirip-mirip. Setali tiga
uang.
Seseorang yang terus
menyangkali keadaannya tidak akan berusaha untuk mencari solusi dari permasalahannya.
Dia bersikap seolah tak ada masalah padahal sesungguhnya ada problema yang
harus segera dipecahkan. Ibarat kata menyimpan asap dari sepercik api.
Lama-kelamaan tentu apinya akan membesar dan tak bisa dipadamkan lagi, makin
jauhlah dari solusi.
Menyadari sepenuhnya bahwa penyangkalan takkan mengubah situasi malah bisa memperunyam, saya dan adik-adik gegas menjalankan solusi yang seharusnya. Berlandaskan pada iman, logika/data/fakta, dan aturan pemerintah. Dengan landasan ini, alhamdulillah keputusan kami bulat. Sempat ada sedikit keraguan tapi semuanya tertepis.
Maka tak ada sesal karena
sudah melakukan yang terbaik. Semaksimal apapun usaha, ketentuan Allah yang
akhirnya terjadi.
7 hari setelah
berpulangnya Papa, suami saya ke warung sebelah. Rupanya penyangkalan
ditemuinya juga di situ, di antara beberapa orang yang menanyainya:
“Pak Marakarma meninggal
bukan kena covid toh?”
😖😰
Sampai sini saya bingung
dengan si denial ini. Ketika kami sekeluarga ikhlas, ridho dengan
ketentuan-Nya. Tak menutup-nutupi apapun, dengan legowo mengatakan orang
tua kami terkena covid, mengapa justru orang luar yang menyangkal?
Makassar,
15 September 2021
Share :
Turut berduka cita Mbak, semoga kedua orang tuanya tenang di sana. Hal yang paling benar, ya menerima kenyataannya saja dan ikhlas, yang kuat, Mbak.
ReplyDeleteTerima kasih, Mbak Nisa.
DeleteSemoga mereka sdh tenang dialam barzah.
ReplyDeleteMenyangkal berarti kita membiarkan orang sakit covid-19 tambah banyak. Mengakui bukti kalau kita sayang sama orang kita dan kepengen ia sembuh
ReplyDelete