Masih ada bungkus kacang ijo terakhir yang dibeli bapak saya pada Sabtu lalu. Biasanya kalau ada daun kelor, beliau pergi membeli sendiri kacang ijo di warung sayur dekat rumah, lalu menyodorkannya pada saya tanpa berkata-kata. Saya sudah paham, maksudnya supaya saya masak sayur daun kelor dengan kacang ijo. Maklum, orang Bugis akrab dengan sayur kelor.
Bukan kacang ijo baru sih
karena Papa - "my family man" meninggalnya sudah lebih dari 1,5 bulan tapi masih bagus. Masih
bisa dimasak. Saya baru ingat mencari kacang ijo ini ketika belum lama saya
baru ngeh, kelor yang ditanam almarhum Papa sudah sangat tinggi
pohonnya. Saking tingginya, saya tidak bisa meraih dahan terbawahnya.
Kepada penjual sayur
keliling langganan saya tawari untuk mengambil daun kelor sesukanya jika dia
mau dan boleh dijual, “Mau ki’, Daeng? Siapa tahu mau ki’ jual
kelor. Tapi tebas sendiri ki’ ka tinggi mi pohonnya. Baru ka’ juga
perhatikan tinggi mi ternyata kelor yang ditanam bapakku.”
“Iya di’, Aji kasian,” ucap pak penjual sayur. Dia dulu biasa melihat ayah saya berkutat dengan tanaman-tanamannya di pekarangan rumah. Biasanya memang Papa sendiri yang mengerjakannya, mulai dari menanam, menyiangi, menyirami, hingga menebas dan menebang yang sudah terlalu rimbun.
Mengurus tanaman adalah
salah satu kesukaan Papa. Bisa berjam-jam beliau mengurusi semua tanamannya
sampai Mama merasa terabaikan dan memanggil-manggilnya baru Papa masuk rumah
kembali.
Tukang sayur saya
persilakan melihat pohon kelor.
“Ada parang ta’?”
“Tunggu, saya carikan ki’,
ada parangnya Bapak.”
Saya hanya bisa
menerka-nerka di mana Papa menyimpan parang yang biasa dipergunakannya menebas
dan menebah dahan tanamannya. Hanya ada di 2 tempat, kalau bukan di pekarangan
samping, ada di gudang. Alhamdulillah, ketemu.
Pak penjual sayur hanya
bisa menebas dahan paling bawah dari pohoh yang sudah lebih dari 2 meter
tingginya itu. Saya mempersilakannya mengambil lagi jika mau memanjat-manjat
dengan bangku tinggi yang dulu dibuat Papa. Papa punya beberapa macam bangku
yang terbuat dari kayu. Bangku-bangku itu ada yang dipakai duduk dan ada yang
dipergunakan untuk menjangkau atau mengambil sesuatu di ketinggian yang tak
bisa dijangkau tangan dengan cara biasa.
Penjual sayur itu menolak.
“Ini mo,“ katanya satu dahan yang diambilnya sudah cukup. Saya meminta
sedikit saja, hanya sekitar 2 tangkai dari dahan yang ditebasnya. Jadilah siang
itu saya masak sayur daun kelor dengan kacang ijo.
Manfaat Kelor
Kelor disebut-sebut
sebagai sumber pangan super food karena banyaknya manfaat yang
dimilikinya. Dari kompas.com saya dapatkan informasi bahwa:
Bahkan, Organisasi Pangan
Dunia Food and Agriculture Organization (FAO) sempat memasukkan kelor sebagai Crop
of the Month tahun 2018. Dilansir dari Medical News Today, 2 Januari 2020,
daun kelor mengandung banyak sekali senyawa yang menyehatkan. Kandungan yang
terdapat dalam daun kelor adalah vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B3,
vitamin C, folat, kalsium, kalium, besi, magnesium, fosfor, dan seng.
Luar biasanya, kalau mau
berbisnis di lahan ini bisa juga. Saya pernah minum teh kelor dari Nusa
Tenggara Barat bahkan seorang pengusaha kelor asal Blora mampu meraup omzert 4
miliar rupiah per tahun melalui bisnis tanaman yang bernama Latin Moringa
olifeira ini.
Mengolah
Kelor
Untuk mengabadikan ingatan
saya posting di Facebook dan tak menyangka mendapat cukup banyak
sambutan, mulai dari cara mengurus pohon kelor sampai cara mengolah daun kelor
untuk dikonsumsi. Biasanya saya mentok di: bikin sayur bening atau dicampur
kacang ijo, direbus saja, atau dimasukkan ke mi instan. Sejumlah karib dan
kerabat mengusulkan demikian:
- Ditebang saja supaya tumbuh lagi tunas baru. Bagia yang ditebang bisa ditancapkan lagi ke tanah. Biasanya mudah tumbuh saat musim hujan seperti ini. Kalau daunnya diambil nanti, dipatahkan dengan cabangnya supaya mudah tumbuh lagi.
- Bisa jadi campuran omelet, bubur manado, hingga nasi goreng. Seorang teman mengatakan, mau masak apa saja, dia campur dengan daun kelor. Nah iya, baru ingat kenapa tak saya campur ketika masak telur dadar ya. Paling asyik memang kelor ini karena rasanya tak tajam jadi bisa saja menyaru masuk ke berbagai jenis makanan.
Masya Allah, ya, tentang daun
kelor saja bisa jadi satu tulisan sepanjang hampir 700 kata ini. Saat tulisan
ini dibuat, saya masih menunggu kapan waktu yang pas sehingga suami bisa
menebangnya, beliau sendiri yang akan menebangnya. Tadinya mau saya minta ke penjual
sayur untuk menebangnya tapi kalau pak suami bersedia, lebih baik lagi. Kenangan
daun kelor ini istimewa, seumur hidup, saya akan selalu mengaitkan sayur kelor
dan Papa.
Makassar,
3 November 2021
Share :
0 Response to "Sayur Kelor dan Ingatan Tentang Ayah"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^