Drama Ojek Online: Petanya Berbeda? – Memesan jasa ojek online untuk mengirim barang sudah sering saya lakukan. Biasanya kalau pengendara motornya pandai membaca peta, dengan cepat dia menemukan lokasi rumah kami. Waktu awal-awal ojek daring ada di Makassar, masih banyak pengemudi yang tidak tahu baca peta. Terlihat dari sulitnya dia menemukan rumah kami.
Kalau misalnya letak rumah
yang amburadul … saking berantakannya sampai susah ditemukan dari peta (saya
lagi membayangkan, yang seperti apa lokasi seperti ini 😳), mungkin semua driver tidak akan mampu menemukannya
sampai kapan pun tapi pada kenyataannya kan tidak demikian.
Banyak juga kok pengemudi yang dengan mudah menemukan rumah kami hanya dengan melihat maps. Gembira sekali rasanya ketika pengemudi bisa menemukan rumah kami tanpa perlu saya jadi cerewet, memberikan instruksi melalui panggilan telepon ataupun chat di aplikasi.
Akhir-akhir ini, rata-rata pengemudi ojek online, baik motor maupun mobil pandai membaca peta. Sudah lama saya tak menemukan pengemudi yang bikin gemas karena setengah mati diberi arahan ke rumah kami. Suatu kesyukuran hidup di jaman now. 😃
Sampai suatu hari di pekan
lalu. Saya hendak mengirim barang lepas magrib. Saya sebenarnya lebih suka
memudahkan kurir dengan mengirim barang di saat matahari masih menerangi bumi.
Sore hari sebenarnya saya mendapat pesan untuk segera mengirim barang namun
karena masih tidak enak body, saya tangguhkan setelah magrib.
Kurir Ojol
yang … Bingung?
Kalau tak urgent, saya
takkan mengirim saat malam hari namun benda ini harus segera dikirim. Apa boleh
buat, jadilah saya memesan kurir pengantar barang di sebuah aplikasi ojek online.
Tidak menunggu lama, aplikasi di handphone saya menunjukkan si kurir sudah dekat. Saya perkirakan dalam hitungan kurang dari 5 menit dia sudah ada di depan rumah. Masih mengenakan mukena usai shalat maghrib, gegas saya menuju pagar rumah ketika aplikasi menunjukkan si driver sudah berada di lorong kecil di sisi kanan rumah.
Saya menunggu dia nge-chat
karena biasanya dalam posisi demikian, si pengemudi akan bertanya karena
bingung arah padahal sebenarnya dia sudah dekat sekali dari rumah, hanya
sekitar semeter saja dari pagar. Nah, dalam posisi ini biasanya si pengemudi
akan mengirim pesan, “Saya sudah di titiknya. Di mana rumah ta’?”
Ealah, apa yang saya perkirakan
tak terjadi. Si kurir malah maju terus pantang
mundur, menuju bagian belakang rumah. Di situ ada jalan, dia berbelok lalu
berhenti. Spontan saya chat karena takut dia makin menjauh, “Makin jauh ki’.
Balik. Saya lihat titik ta’ ada di belakang rumah.”
No answer tapi motornya berhenti
sekian menit.
Saya telepon, tak
diangkat.
Lalu … koordinat pengemudi
di maps saya makin jauh. Saya mulai panik. Titiknya bergerak, makin jauh
dari rumah. Saya menelepon, tak diangkat. Saya kirim pesan. Tak dibalas. Saya kembali
mengirimkan chat dan memberikan arahan.
Apakah dia tak tahu baca
peta? Saya mengamati profil sang pengemudi. Bintang lima. Berarti performanya
bagus maka saya yakin ada alasan kelemotannya malam ini.
Malah Menjauh
Lagi …
Tak lama kemudian, peta
memperlihatkan titik si pengemudi berbalik arah. Saya merasa senang, sepertinya
dia sudah “sadar”. Makin lama titiknya semakin mendekat … makin dekat. Ah … tak
lama lagi.
Eh … tapi kenapa dia berbalik arah lagi? Padahal seharusnya dia lurus saja sedikit. Tinggal sedikit lagi momen pertemuan kami akan terjadi. Halah. 😒
Saya telepon lagi. Saya
bombardir dengan pesan.
Lagi-lagi tak berbalas.
Apa yang terjadi?
Kembali saya mengamati
profilnya.
Bintang 5! Berarti ada
alasan yang menyebabkannya seperti ini. Mungkin HP-nya sudah lowbat jadi
dia sedang berhemat? Saya ber-husnuzhon.
Peta saya menunjukkan si driver
menjauh. Kali ini ke arah timur. Lalu dia berhenti agak lama di sana. Saya
bombardir terus dengan chat.
“Halooo. Kenapa makin
jauh?” tanya saya.
“Sabar. Saya ke sana,”
jawabnya pendek.
Saya kembali memberi
arahan, dari titiknya dia harus ngapain. Saya ragu memberikan instruksi
terlalu mendetail karena pengalaman menunjukkan, pergerakan di maps tidak
selalu real time dan tak selalu akurat. Beberapa kali gadget saya
menunjukkan titik saya adanya lebih 100 meter dari rumah kami padahal saya
hanya di dalam rumah saja seharian. Atau memperlihatkan kurir masih jauh
padahal sudah dekat.
Jadi kepada si kurir saya
memberi arahan secara garis besar. Bahwa dia sudah dekat, tinggal mencari nama
lorong terdekat dari tempatnya dan bergerak lurus ke arah rumah kami. Saya
memintanya bertanya kepada orang di sekitar situ.
Usai magrib, lingkungan
kami tidak serta-merta sepi. Masih ada “kehidupan”. Masih ada orang yang
lalu-lalang atau sekadar duduk-duduk di depan rumah. Masih ada juga yang pintu
rumahnya terbuka. Dia masih bisa bertanya pada siapa saja.
Rasanya waktu berjalan
lambat saat menunggunya bergerak. Ya ampun lelet sekali!
Dan …
Pertemuan yang Ditunggu-Tunggu Itu Terjadi!
Pelan sekali pergerakannya
dan alhamdulillah, menuju kepastian bahwa setiap yang bermula pasti akan
berakhir. Penantian saya di depan pagar rumah selama sekira 20 menit hampir
berakhir. DUA PULUH MENIT, menunggu di depan pagar rumah memandu si driver
di bawah rintik hujan, saudara-saudara!
Selama itu, saya istighfar
terus. Saya tak mau membatalkan orderan karena saya tahu perjuangan driver
ojol itu tak ringan apalagi dalam gelap malam dan hujan rintik seperti ini.
Saya masih yakin dia punya alasan kuat – apapun itu yang membuatnya sedemikian
lelet. Jujur, saya gondok tapi saya tak bisa marah.
Dua puluh menit saya tak
ada artinya dibandingkan waktu yang dia habiskan untuk mencari nafkah. Tak akan
saya batalkan, juga takkan memberikan bintang 1 karena perjuangan menemukan
rumah kami merupakan rangkaian perjuangan panjangnya hari itu.
Jika sudah terpenuhi
target, pasti dia sudah di rumah bersama keluarganya tapi malam itu dia masih
memenuhi orderan ojol. Berati dia masih butuh sesi ini untuk melengkapi kinerjanya
hari itu. Akan berakibat tak baik baginya (mungkin juga bagi keluarganya) jika
saya cancel atau memberinya bintang 1.
“Dua puluh menit yang saya
habiskan tak ada artinya. Saya sedang belajar sabar. Ini ujian,” saya membatin.
Melihat wajah pengemudi
itu, hati gondok saya merasa luluh. Saya perkirakan usianya sekitar 50 tahunan.
Sepertinya minimal 53 atau 55 tahun. Sudah cukup tua. Dia mencoba menjelaskan
kepada saya bahwa titik alamat rumah kami di petanya berbeda dengan yang tampak di
layar gadget saya makanya dia kesulitan menemukan rumah kami.
Entahlah, apakah yang
dikatakannya itu mungkin terjadi atau tidak karena memang maps yang
digunakan tidak selalu akurat. Saya menjelaskan padanya bahwa saya sudah
menetapkan titik yang pas dengan lokasi saya di peta. Saya yakin itu. Biasanya
pula, titik yang sudah dipatok “tak akan lari-lari”, atau saya yang kudet karena
bisa saja “titik yang sudah dipatok lari-lari”?
Dia mencoba membuktikannya
di hadapan saya. Ketika layar HP dia hadapkan ke arah saya, terdengar suara
dari maps, “Anda sudah sampai di tujuan.”
“Ah sudahlah. Mana
barangnya, Bu?” ujarnya pasrah, melewatkan ajang pembuktian diri.
Hm, bisa jadi HP-nya on-off
untuk berhemat baterai atau ada kendala lain di HP-nya. Suara itu tak
terdengar sejak tadi dan baru terdengar ketika dia hendak menunjukkan kepada
saya.
Saya percaya si bapak
punya kesulitan yang dia sembunyikan. Entah itu dari HP-nya, dari kegaptekannya,
atau dari kemampuannya membaca peta. Eh tapi performanya bintang 5, lho … yang
bintang 5 biasanya sudah mahir baca peta ... Entahlah. Pokoknya begitulah
ceritanya.
Akhirnya benda itu sampai
juga kepada penerimanya. Untungnya penerimanya maklum keterlambatan sampainya
barang setelah saya ceritakan kejadian terputar-putarnya ojol ketika
mencari rumah. Eh, kalian punya kisah drama ojol serupa ini? Cerita di
kolom komentar, ya!
Makassar,
20 Januari 2022
Share :
Eh, ada yang gitu ternyata iya sih kadang ada yang kayak gini sih sampai penerimaan jadi lamban. Lucu juga kalau ojol ga bisa baca peta, harus sabar-sabar dah.
ReplyDeleteAnggap sebagai bumbu kehidupan ya Mbak Nisa :D
Delete