Siapa Sangka Melotot Bisa Menyelesaikan Masalah – Mau tak mau, selama bersekolah kita dulu mengalami bukan hanya hal-hal menyenangkan. Ada masanya di mana kita menghadapi persoalah khas anak seusia kita. Bisa jadi, persoalan datang dari teman atau pengajar yang karakternya tak terduga.
Karakter Tak
Tertebak atau Aneh Ada di Mana-Mana
Saya beruntung, saat masih
sekolah hingga kuliah berada dalam circle pertemanan yang baik-baik
saja. Nah, putri saya sejak SD sudah mengalami konflik dengan beberapa teman
dengan “karakter yang tidak tertebak”. Suatu kali saya pernah dituduh berbohong oleh seorang temannya
yang memiliki sifat manipulatif. Sejak itu saya minta dia untuk menjaga jarak
dengan temannya.
“Dalam dunia ini, ada sahabat, ada teman, dan ada kenalan. Ketika ada orang yang kau anggap teman atau sahabat dan mengecewakan, turunkan saja level-nya menjadi kenalan,” ucap saya pada Athifah suatu ketika agar dia bisa membawa diri ketika terkoneksi dengan orang lain.
Rasa kecewa bisa muncul
ketika seseorang yang kita anggap sahabat ternyata mengkhianati kepercayaan
kita, bukan? Saya pikir, ketika kita bisa dengan fleksibel melakukan switch
antara sahabat – teman – kenalan, mungkin saja kekecewaan itu lebih mudah untuk
diturunkan tingkatannya atau bahkan dihapus.
Sesekali kita memerlukan
kemampuan switching ini agar mampu memilah mana yang penting dan tak
penting, lalu mengatasi masalah yang terjadi di antara teman atau seseorang
yang kita anggap sahabat.
Mengamati putri saya,
Athifah hingga saat ini, beberapa kali dia mengalami hal-hal yang tak pernah
saya alami dulu. Dinamika pertemanannya lebih “riuh”. Dia pernah mendapat bully
di grup WA oleh orang-orang yang dia pikir mereka temannya. Dia pernah diperlakukan
berbeda karena tidak ikut les pada wali kelas semasa SD.
Masalah Bisa
Mendewasakan
Di SMP,
Athifah pernah di-bully juga dua kali sehingga saya dan suami turun
tangan, menghadap wali kelas. Dalam keseharian, dinamikanya juga lumayan
beriak. Semisal dalam penugasan berkelompok, ada saja yang terjadi. Ada kelompok
yang tiba-tiba bubar dan para anggotanya mencari/membuat kelompok lain/sendiri.
Suatu ketika, Athifah
bercerita bahwa dia memasukkan salah satu temannya ke dalam kelompoknya, atas
permintaan ibu si teman. “Saya kasih tugas temanku, Ma dan dia mengerjakan,”
ucapannya. Kisah ini mengingatkan masa lalu, di mana tidak pernah ada dinamika
kelompok sebagaimana yang dialaminya.
Biasanya, para siswa
bekerja sesuai dengan kelompok yang ditugaskan oleh guru. Tidak ada yang
kemudian membuat kelompok sendiri. “Itulah Allah, ya, dunia pertemanan saya
lempeng-lempeng saja. Allah Maha Tahu, saya bisa stres jika menghadapi teman
yang macam-macam ulahnya,” ujar saya kepada suami, saat kami membincang dinamika
pertemanan Athifah.
Alhamdulillah, Athifah cukup terbuka kepada saya dalam menceritakan permasalahannya, jadi saya bisa memberikan pandangan bagaimana menghadapinya. Contohnya dalam mengategorikan orang-orang di sekelilingnya sebagai sahabat, teman, atau hanya kenalan biasa.
Secara tak langsung,
hal-hal semacam ini yang dihadapinya mengajarkannya banyak hal, di antaranya
menata perasaan/pikiran, bernegosiasi, mengambil keputusan atau menentukan
pilihan, dan sebagainya. Masalah tak selamanya negatif, dari sisi lain, masalah
akan mendewasakan.
Saya dulu sangat tertutup,
tidak bisa terbuka pada orang tua karena takut. Di samping itu saya memiliki
ketakutan-ketakutan lain dan hanya menyimpannya sendiri. Dasar introvert. Berbeda
dengan Athifah yang jauh lebih ekspresif. Masih menjadi tugas saya mengamati
caranya berekspresi atau berargumen.
“In syaa Allah, nanti Athifah tahu bagaimana menghadapi orang-orang aneh karena sudah pernah ketemu orang aneh sejak SD. Nanti tahu menyikapi mereka dan tahu bahwa mereka tidak perlu menyita waktumu dengan membuatmu stres,” kurang lebih seperti itu yang saya katakan kepada Athifah.
Mencubit dan Melotot
Bisa Menyelesaikan Masalah?
Di samping hal-hal yang
saya ceritakan di atas, satu lagi yang tiba-tiba teringat, mengenai bagaimana
saya menghadapi teman-teman yang saya anggap menyebalkan dulu. Kalian yang
mengenal saya mungkin berpikir tak mungkin saya melakukan hal yang akan saya
sebutkan ini tapi memang seperti ini kenyataannya.
Saya dulu pernah lho mencubit
anak laki-laki kalau geregetan, semisal mereka mengambil barang saya
tanpa izin atau meminjam tapi tak mengembalikannya. Hukuman berupa cubitan ini
saya lakukan sejak kelas 2 SD hingga kelas 1 SMA.
Caranya dengan mencubit lalu memutar bagian kulit yang dicubit hingga anak laki-laki itu meringis sambil saya pelototi dia. Kalau dipikir-pikir sekarang, berani juga saya ya, untungnya tak ada yang membalas sewaktu saya melakukannya. 🙈
Semasa SMA saya pernah melabrak seorang cowok yang membuat teman cewek saya sakit hati hingga menangis di depan saya. Saya datangi dia dengan melotot dan mengatakan, “Hei, tidak begitu caranya kalau suka sama orang!” Sayangnya saya lupa, waktu itu saya cubit dia atau tidak, ya. Saya harap saya mencubitnya. 😂
Semasa kuliah, beberapa
masalah yang saya alami tidak membuat saya mencubit lagi. Saya kapok dan tidak
mau menyentuh yang bukan mahram. Suatu kali, saya menyelesaikan masalah
dengan melotot sekitar 15 – 20 detik, tanpa berkata apa-apa. Waktu itu
kejengkelan saya sudah memuncak sebenarnya. Saking jengkelnya, saya jadi speechless
dan hanya melotot lalu saya tinggal pergi.
Ceritanya begini, sudah
berbulan-bulan, terjadi beberapa kali sekelompok cowok suit-suit memanggil nama
saya. Ketika saya menoleh, mereka hanya berkata, “Salamnya si X.” Lalu mereka
tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang lucu. Si X-nya sendiri hanya mesem-mesem.
Entah kenapa, sejak SMP, saya paling jengkel dapat perlakuan seperti ini. Sewaktu SMP, kalau ada yang berulah seperti ini, saya datangi lalu membentak, “Kenapa? Ada masalah? Ada utang?” Yang terjadi kemudian, si cowok bengong lalu senyum-senyum bego saat saya meninggalkannya. 😆
Nah, si cowok di kampus
ini dan teman-temannya beberapa kali bikin saya jengkel. Kok rasanya terhina ya
disuit-suiti seperti itu. Datang dong kalau berani. Sampai suatu ketika, saya
jalan sendiri menuju sebuah ruangan. Eh kenapa juga si cowok itu lagi duduk
sendiri pula di depan sebuah ruangan yang harus saya lewati.
Begitu langkah saya
mendekat, si cowok senyum-senyum dan menyapa nama saya, “Niar.”
Spontan langkah kaki saya
terhenti. Saya tatap dia. Dia masih senyum-senyum. Mata saya melotot, mulut
terkunci rapat. Sekitar puas memelototi dia selama 15-20 detik, dengan santainya
saya lanjutkan perjalanan ke arah ruangan yang saya tuju.
Sejak saat itu, tak ada
lagi suit-suit menjengkelkan dari sekelompok cowok. Alhamdulillah, masalah
selesai …. Setidaknya versi saya. 😁 Kalau diingat-ingat, lucu juga sih tapi itu bagian dari
proses yang saya lalui dalam mengatasi masalah dengan cara saya. Kalian pernah
menyelesaikan masalah dengan melotot?
Makassar, 28 Maret 2022
Share :
Wah jadi ingat jaman SD kelas dua
ReplyDeletesaya dituduh mencuri oleh yang yang mencuri, rasanya itu dendam banget
pencurinya cewek pula
kadang masalah harus diselesaikan dengan konflik hehehe
saya pernah bawa golok ke rumah seseorang, dan akhirnya masalah jadi selesai :D
Waduh ... sampai sekarang kalau ketemu orang yang nuduh mencuri itu, gimana rasanya, Mas?
DeleteMemarahi cowok yg suka sama kita atau teman kita itu seakan-akan kita lagi di atas awan ya, Mbak. XD
ReplyDeleteAku bahkan pernah siram kepala teman cowokku pakai es kelapa muda karena dihalang-halangin pas mau masuk kelas. Karena.. Hei.. kalau memang suka bukan begitu cara mainnya :')
Alhamdulillah silaturrahmi masih terjaga dengan baik, tapi kalau kadang saling sapa gitu jadi malu sendiri kalau diingat-ingat ^^
Kalau daku karena dasar matanya agak Belo, jadi nggak melotot aja udah dibilang melotot sama horang² 😁😁
ReplyDeleteMenanggapi bullying ya mbak, dlu saja jg di bully sama 1 geng di sekolah sd. Hmmm saya dijauhi semua anak pr karena semua anak pr diancam bakal diperlakukan kaya saya. Sebabny sih gatau apa, untungnya ibuk selalu menguatkan mbak. Alhamdulillahh bisa bertahan sampai sekarang.
ReplyDeleteWah Mbak, kamu melewatkan seseorang yang menyukaimu gara2 melotot itu. Wkwkwkk
ReplyDeleteKalau dilema anak sekolah, si nomor dua ini sudah terlalu sering sehingga karakternya sangat berubah. Dari anak yang suka bergaul menjadi sama sekali tidak. Dunia sudah sedemikian mengecewakannya. Tapi saya ga mau bahas karena hanya akan membuat dia jadi makin terluka.
Melotot biasanya saya lakukan ke anak nih mbak. Kalo ke temen-temen cowok khususnya.. biasanya langsung main tangan aja hahahahaha
ReplyDeletekalau saya menyelesaikan masalah dengan merepet mbak.. ntah mungkin saya orang batak apa gimana ya? hehe.
ReplyDeleteWah, kak Niar tegas sekali...
ReplyDeleteGak salah kalau menjadi anak Teknik. Aku gak berani kalo sama anak cowo yang nakal gitu.. Mendingan gak cari masalah alias lari. Huhuu~
Semoga anak-anak senantiasa diberikan kemudahan dan keberkahan dalam bersosialisasi bersama sahabat-sahabatnya.
Sekarang bersuit² begitu katanya termasuk pelecehan seksual ya?
ReplyDelete